Wednesday, May 9, 2007

[Ruang Renung # 202] Tantangan dan Kenyataan Penyair Indonesia

 Penyair Indonesia menulis dalam Bahasa Indonesia. Ia berpikir dengan Bahasa Indonesia. Ia menulis --- meski tidak selalu, dan tidak selalu langsung --- tentang masalah-masalah kehidupan manusia di Indonesia. Di manakah posisi penyair Indonesia dalam sebuah lingkungan bernama Indonesia itu? Apakah bahasa Indonesia cukup untuk melayani daya mencipta penyair Indonesia?

Saya menyarikan lima kenyataan dan sekaligus tantangan bagi penyair Indonesia. Saya menyarikan dari dua tulisan Goenawan Mohamad. Saya menyebutnya kenyataan, karena lima butir itu memang terasa ada benarnya. Kita sulit untuk berkata tidak pada kenyataan-kenyataan itu. Kita merasakan bahwa itulah kenyataan yang dihadapi penyair Indonesia.
Saya juga menyebutnya tantangan, sebab kenyataan itu bisa dianggap pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya, bisa dianggap jalan putus yang harus dirintis jalan baru untuk melanjutkannya. Tidak ada jawaban yang pasti dan tunggal, tidak ada peta yang menunjukkan ke arah mana jalan baru itu harus ditujukan.

Menyair pada keadaan itu bisa jadi jalan untuk menyelamatkan Bahasa Indonesia dari ancaman pemiskinan. Seperti apa yang dikatakan oleh Salman Rushdie. Kerja seorang penyair, katanya, adalah memberi nama kepada yang takternamakan, memberi tanda pada yang lancung tak semestinya, menampakkan sisi-sisi lain, mengajukan kilah, menata dunia, dan menggugah ia yang mulai terlelap. Dengan kata lain, memperkaya bahasa itu. Tidak persis seperti itu memang, silakan membuat peta masalah sendiri, silakan menemukan kenyataan-kenyataan lain, lalu mengambil sikap atas masalah dan kenyataan itu.

Berikut ini lima hal yang tersarikan dari "Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang", dan "Kesusastraan, Pasemon", dalam buku "Kesusastraan & Kekuasaan", Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993:

  • 1. Seorang penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya, ketika ia sampai pada posisi yang sadar, bahwa ia adalah seorang penyair.

  • 2. Di Indonesia, di mana pedusunan terbendang seperti laut dan kota-kota hanya pulau yang berserak-serak --- titik-titik merah yang ganjil pada peta --- penyair justru tidak datang ke desa-desa dan desa-desa tidak datang kepada penyair. Kepenyairan hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.

  • 3. Penyair Indonesia menulis di dalam lingkungan bahasa yang telah ambruk. Bahasa ibunya dibikin gagap oleh sejarah, dan ia menulis dalam satu-satunya bahasa yang mungkin jadi pilihan yaitu Bahasa Indonesia.

  • 4. Bahasa Indonesia terus-menerus berada dalam ancaman pemiskinan. Ia membatasi kemungkinan lahirnya keragaman dari permainan yang ramai antara pelbagai bahasa, ia lebih sering bergerak di lingkungan resmi.

  • 5. Bahasa Indonesia tidak bisa dengan meyakinkan mempertontonkan "narsisme linguistik", yaitu menunjukkan bahwa bahasa mengandung makna yang berlimpah-limpah. Bahasa Indonesia adalah dusun datar yang baru dibuka, ia bukan sebuah kota yang ramai. []