Saturday, May 19, 2007

[Ruang Renung # 207] Sejumlah Catatan dari Hasif

A. Tantangan Puisi atas Bahasa Biasa

Berhadapan dengan puisi kita menjadi pembaca yang terusik untuk mempertanyakan atau mempedulikan makna, makna puisi dan dengan demikian juga pada makna bahasa itu sendiri. Inilah, kata Hasif Amini, tantangan paling ganjil yang diajukan puisi terhadap kebiasaan berbahasa kita sehari-hari. Hasif, redaktur puisi di Kompas itu, menulis sebuah pengantar yang amat bernas untuk sejumlah puisi dalam buku "Puisi Tak Pernah Pergi", Penerbit Buku Kompas, 2003.

1. Membaca sebuah sajak yang baik adalah menghirup setiap partikel atau gelombang yang tersusun dalam sebangun komposisi kata-kata: segenap bunyi, irama, barik dan sunyi juga.

2. Dalam dunia puisi segenap anasir renik-pelik bahasa justru kerap hadir mencolok sebagai pokok yang menyokong kembangnya kesedapan sebuah karya.

3. Tindak apresiasi adalah proses bergelut atau bermain menggerai pelbagai citra atau lambang yang terangkai dalam suatu sajak.

4. Pada puisi, terutama persoalan makna - sesuatu yang seakan terang tapi tak pernah gampang - sering, dengan atau tanpa sadar, terusik secara mendasar.

5. Bahasa puisi hadir sebagai suatu gejala yang nyaris pejal: sebangun artifak: sebentuk gubahan yang terdiri dari kata-kata (dan tanda baca, dan jeda dan ruang kosong di sekitarnya), yang menyosok bagaikan suatu zat yang telah disuling atau dipadatkan, atau bahkan sewujud organisme yang berdenyut dan berwatak.

6. Makna tak selalu merupakan pokok yang utama dalam tubuh teks, melainkan terserap bersama unsur-unsur lain. Kadang makna bahkan menjadi semacam akibat akisdental dari komposisi bunyi-kata tertentu, misalnya kombinasi pilihan kata yang berirama.



B. Puisi, Kembimbangan Antara Bunyi dan Arti

Ada bunyi dan ada arti. Antara keduanyalah puisi menjadi punya alasan untuk dinikmati. Di antara keduanya - dengan kesadaran penuh atau setengah sadar - penyair mempertaruhkan harkat sajaknya. Ini serangkum kedua butir-butir yang bisa saya himpun dari tulisan Hasif Amini dari buku yang sama. Puisi, kata Hasif, dengan majas dan musiknya, bekerja mengirimkan mimpi sekaligus mengusik tidur panjang kita dalam kebiasaan sehari-hari.

1. Puisi tak jarang tampak sebagai bimbang yang berlarut antara bunyi dan arti. Ada tarik menarik yang bisa tak putus-putus antara arah-arah yang berlainan itu.

2. Makna muncul dari teks, atau dari pertemuan antara pembaca dan teks - bukan sesuatu yang ada lebih dahulu yang lalu coba ditangkap, disingkap, diungkap oleh tanda-tanda yang terjalin dalam teks.

3. Makna dan bunyi - di tengahnya bekerja asosiasi yang merupakan proses silang-seluk antara keduanya.

4. Kekayaan resonansi bunyi dan makna kata-kata dalam puisi mengundang pembaca untuk menghubungkan pelbagai wilayah pengalaman yang mungkin tersembunyi di tengah hingar-bingar keseharian, dan dari pertemuan (atau penemuan) itu terkuak atau terbangunlah sebidang dunia yang tak terduga.



C. Berkah dan Petaka Sajak Bebas

Puisi Indonesia tidak dibangun atas dasar disiplin yang kokoh. Ini bisa jadi berkah, bisa jadi sumber petaka. Sajak bebas menjadi pilihan utama, dan pegangan satu-satunya adalah licentia poetica. Berikut rangkuman ketika berisi sembilan butir yang saya petik dari Hasif Amini dalam tulisan dan buku yang sama.

1. Perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh.

2. Hukum tertinggi yang dipeluk erat-erat dan tak dapat diganggu-gugat adalah licentia poetica: hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang lazim bila perlu.

3. Bergantung pada gairah dan bakat (maupun kenaifan) masing-masing penyair, puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya.

4. Puisi Indonesia berjalan hampir tanpa mengenal prosodi, misalnya disiplin yang mendalami anatomi puisi menurut metrum, ritme, rima itu.

5. Ketiadaan pendalaman atas anatomi puisi, bisa dilihat sebagai hikmah yang mungkin menyelamatkan penyair dari kesibukan berlebih terhadap tetek-bengek yang terlalu teknis dalam merangkai karya.

6. Semenjak sajak bebas muncul pada abad ke-19, metrum menjadi sesuatu yang tampak kian mengekang dan merepotkan dan karenanya disingkiri jauh-jauh.

7. Tanpa metrum, sajak bebas seharusnya melahirkan musiknya sendiri-sendiri. Sajak-sajak bebas yang unggul telah membuktikan hal itu.

8. Tapi tanpa metrum, sajak bebas juga kemungkinan bisa celaka akibat miskinnya latar pemahaman dan penguasaan akan kompleksitas puisi, dan yang lahir adalah sajak yang tak mempertimbangkan kekuatan setiap unsurnya sebagai pembangun sebuah komposisi yang mantap.

9. Puisi yang tak memiliki kesadaran bentuk yang memadai, dan hanya meluncur ringan tanpa beban (selain beban pesan), tapi juga tanpa kekokohan, hanya gairah yang menggebu-gebu tapi bisa tanpa arah.

Demikianlah. Tentu, cara terbaik untuk memahami catatan pendapat Hasif adalah membaca apa yang dia tulis di buku itu. Saya merangkum, menghimpun dengan sebuah risiko, yaitu hilanglah detil-detil penjelasan Hasif dalam tulisannya itu.

Atau bila ada kesempatan bertanyalah langsung padanya. Atau Anda pun tentu boleh mengamati sendiri perjalanan puisi Indonesia dan membuat kesimpulan lain yang memberi gambaran yang lain.

* Bacaan: "Puisi tak Pernah Pergi, Sajak-sajak Bentara 2003", Penerbit Buku Kompas, 2003.