Thursday, May 24, 2007

Sebuah Sajak dan Selembar Surat Menjelang Darah Tumpah

Oleh Hasan Aspahani

/1/
Penyair itu bernama Mawie. Di Lampiran Kebudayaan Lentera, Bintang Timur, 21 Maret 1965, ada sebuah sajaknya terbit. Judulnya "Kunanti Bumi Memerah Darah". Enam bulan sebelum Gestapu 1965 alias G30S/PKI. Pada bait terakhir dari sajak itu tujuh bait itu terbaca:
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walapun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya.

Sajak itu dimulai dengan baris: bulan arit di langit. Baris bumi memerah darah itu adalah pengulangan dari baris yang sama di bait kedua. Enam bulan sebelum bumi Indonesia benar-benar memerah darah.

Begitulah tema dan gaya umumnya sajak-sajak penyair Lekra/PKI dan LKM/PNI yang terbit di lembar kebudayaan surat kabar kelompok itu, Harian Rakjat dan Bintang Timur (Lampiran Kebudayaan Lentera). Tema yang memanglimakan politik. Tilik judul-judulnya: Kepalaku Marxis, Diriku Leninis (Sobron Aidit), Leningrad (Setiawan Hs), Kepada Konferensi (Hersat Sudijono), Gayang Malaysia, dan Peking (Nusananta), Penerbangan Malam ke Leningrad (Verga Belan). Sajak-sajak itu terbit dalam selang waktu 1962-1965.

Adapun Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat dibentuk pada 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lembaga ini digagas oleh D.N. Aidit, M.S Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Anggota awalnya adalah para penggagas itu ditambah beberapa nama: Herman Arjuno, Henk Ngantung, dan Joebar Ajoeb. Pada awalnya Lekra punya lembaran kebudayaan tiap minggu di majalah Zaman Baru yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Iramani (alias Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Ashar. Setahun setelah berdiri, Lekra sudah punya cabang di 20 kota. Cepat dan sistematis sekali.

/2/
Iwan Simatupang, pengarang sejumlah novel dan kumpulan cerita pendek itu, ada menulis sejumlah surat politik sepanjang antara tahun 1964-1966. Akan kita kutip salah satunya yang sewaktu dengan sajak di bagian di atas. Surat itu ditulis 4 Februari 1965. Kurang lebih 7 bulan sebelum G30S/PKI.

Petikannya:
Larto,
        Suatu psikose menjalar kini di seluruh nusantara: bila persis PKI mau coup? Aidit boleh seribu kali membantah, rakyat dan AB kita makin teringat pada Madiun. Dan Aidit secara seratus prosen - Aidit sudah pula menggertak.
        Bila di tahun 1948 PKI dengan anggotanya yang cuma 100.000 orang bisa bikin korban begitu banyak sudah, maka bagaimana dengan PKI sekarang yang sudah punya anggota tiga juga (resmi)? Secara aljabar kelas 1 SMP: tentu seramnya bakal tiga puluh kali! Jadi, mayat yang bakal bergelimpangan akan berjumlah tiga puluh kali; darah kering di gedung-gedung pembantaian (yang mungkin juga nantinya bakal mereka sebut Marx House) tebalnya tiga puluh kali dari darah kering yang ditemukan di ubin Marx House di Madiun tempo hari.
        Semua gambaran seperti ini memang seram, Larto! dan memang, bukan tak punya alasan rakyat kita untuk mengenangkan kembali Madiun di tingkat pergolakan politik seperti kini ini di tanah air kita...

/3/
Apakah Marx House? Saya lupa atau mungkin tak pernah mendapatkannya dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah. Marx House adalah rumah pembantaian di Madiun, di lantainya darah kering setebal 2,5 cm! Rumah itu ada juga, di Dungus, Walikukun, Tulung Agung, Pacitan, dan nama-nama kota lain-lain.

/4/
Surat itu dtulis tujuh bulan menjelang darah tumpah. Darah yang dinanti oleh sebuah sajak lain, enam bulan sebelum benar-benar tumpahlah darah. Surat Iwan yang tinggal di Bogor ditujukan kepada sahabatnya pengarang B. Sularto (Yogya). Surat-surat pribadi yang kala itu tidak dibaca umum. Ia kelak dibukukan jauh hari, dan baru kita bisa membacanya dengan bebas. Sementara sajak itu? Ia terbit di surat kabar, yang tentu dibaca orang banyak. Bayangkanlah, semuanya terjadi enam-tujuh bulan menjelang darah tumpah. Ada sajak yang merindukan tumpahnya darah itu, ia dalam sajak itu menanti sambil memetik kecapi dan nyanyi. Dan surat itu meramalkan dengan kengerian -- tapi si penulis surat tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya, selain menulis surat untuk sahabatnya.

/5/
Selembar surat. Sebuah sajak. Dari keduanya kini kita bisa melihat banyak hal: ada penguasa yang lupa, ada partai dengan sebuah ideologi yang laku dijual dan pemimpinnya yang taktis dan jenius yang amat efektif merangkum massa dan menggerakkannya, sebuah catatan sejarah yang begitu mudah dilupakan, dan ancaman pertumpahan darah yang eh justru ada yang "merindukan".

Darah kemudian memang tidak saja tumpah, tapi mengucur dan mengalir dan merebak kemana-mana. Termasuk darah-darah mereka yang merindukan itu, juga mereka yang tidak tahu apa-apa, dan mereka yang tidak pernah tahu sajak itu.

* Sumber bacaan: Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Mizan, Cetakan ke-4, 1995.