Sunday, May 6, 2007

[Ruang Renung # 202] Enambelas Jurus Taufiq: Puisi Narasi Berkabar

 Taufiq Ismail (lahir 1935) adalah salah seorang penyair yang kuat karakter puisinya, serta tegas dan jelas sikapnya terhadap puisi itu sendiri. Ia berhasil menyapukan warna lain yang memperindah dan memperkaya khazanah perpuisian Indonesia. Ia adalah sosok teramat penting dalam jagad puisi Indonesia. Tiliklah enambelas butir berikut yang saya sarikan --- dan saya nomori berurutan agar lebih mudah diikuti --- dari kata penutup buku puisinya "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia".

  • 1. Demikianlah saya ingin berkabar. Saya mau menyampaikan berita, mendalang dan berkisah lewat puisi saya, kepada pendengar dan pembaca saya. Ketika menuliskan buram pertama puisi saya, sudah terbayang oleh pendengar saya acara baca puisi yang akan berbagi nikmat. Puisi saya terbanyak ditulis dengan kesadaran seperti itu.

  • 2. Saya menyokong pendapat bahwa puisi akan memperoleh seperangkat tubuh lengkap bila ditambahkan kepadanya suatu unsur lagi, yaitu suara lewat pembacaannya.

  • 3. Saya menolak atau lebih tepat tidak menerima penuh bahwa puisi mesti padat, harus sedikit kata-kata. Daripada dia memenuhi syarat padat dan minimum kata tapi tak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi banyak kata tapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif.

  • 4. Puisi saya wajib musikal. Kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata itu mengalami ketatnya seleksi.

  • 5. Puisi saya adalah puisi berkabar. Dalam merebut komunikasi, puisi saya harus ada substansinya sebagai kabar, mesti cerdas dan musikal sedap didengar.

  • 6. Substansi puisi saya adalah angan-angan, kenyataan, kepekaan, kepekakan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta, keasyikan, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kebebalan, tekad, ketidakpastikan, kelahiran, maut, kefanaan, ke-Yang Gaiban ---- semua berbaur di balik lensa luarbiasa lebar tempat kita bersama membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat sudut pandang berbeda.

  • 7. Karena pembaca saya cerdas, puisi saya tak layak bebal agar tiada mubazir sia-sia.

  • 8. Eufoni senantiasa dicari dan diraih, yaitu kesedapan bunyi kata-kata yang mengalir lancar, mudah dilafaskan dan enak diterima telinga. Dia pintuk musikalitas ----- bermakna, di sini penyair dites kemampuannya mengorganisasi bunyi.

  • 9. Disonansi, lawan sejati eufoni, terdapat terutama ada sajak gelap. Ada sajak gelap yang jujur tapi egois, ada sajak gelap yang culas memperdaya pembaca dan keduanya sama gagunya, serupa gagap komunikasinya. Sajak gelap yang cenderung diskordan itu wajar tak perduli eufoni.

  • 10. Eufoni tak hanya hasil dari pilihan bunyi, tapi juga dari cara penyusunan bunyi. Repetisi bunyi yang sama atau mirip, penting sekali. Saya menggunakannya secara sadar, dengan teknik tapi juga bersumberkan intuisi, baik dalam anafora aalagi dalam amplifikasi.

  • 11. Perasaan, pikiran dan pengalaman, diraup dari lanskap kehidupan, disimpan-simpan dalam fail ingatan, terperanjat oleh suatu rangsangan, dan kemudian dituliskan. Tensi tinggi menulis puisi, selalu saya rasakan seperti ketegangan adegan menangkap capung di sela rerumputan liar ketika masa kanak dulu.

  • 12. Kenikmatan rohani besar terasa selepas sebuah puisi dituliskan, kenikmatan jasmani besar terasa selepas sebuah acara baca puisi dipentaskan.

  • 13. Agar pembaca yakin, maka asasi sekali membangun suasana narasi. Suasana itu dibangun dari luar (faktor dan detil eksternal) dan juga dari dalam (pengembangan karakter serta peristiwa). Satu per satu batu itu disusun, seperempat jalan diruntuhkan, diatur lagi, setengah jalan dibongkar pula di sana-sini, diintai dengan pas-air dan benang tegaklurus lalu disusun terus sampai selesai.

  • 14. Ritma dan rima, aliterasi dan asonansi bukan lagi keterampilan pertukangan, tapi sudah jiwa dan eufoni kadangkala seperti bisa dipanggil dengan jentikan jari.

  • 15. Dalam rentang waktu yang sama diharapkan ruh dari esensi masalah itu bertumbuh meyakinkan dan bila dibaca ulang ada rasa musikalitasnya. Saya selalu tes lebih dahulu apakah sebagai pembaca paling pertama saya tidak merasa dibodohi puisi saya sendiri.

  • 16. Puisi saya puisi berkabar. Sebagai narasi dia menyerap dering crek-crek, gesekan rebab dan dengung salung di dalamnya sebagai musikalitas kata tersendiri, dengan sentuhan jenaka di sana-sini.
*  Disalin dari 'Kata Penutup, Akhir Kalam" (Oktober 1998) oleh Taufiq Ismail dalam seratus puisi m hbbvhbvb"Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", Yayasan Indonesia, Jakarta, 2004.