
IA yang tekun, berbagi sisi sila dengan mufasir, di depan
sebuah kitab besar, sabar, menafsir lembar demi lembar.
IA yang tabah, menyejajarkan langkah di sebelah musafir,
menunjuk puncak paksi, menuju ke kehendak kedua kaki.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
* gambar sampul dicomot dari blog Jokpin
/1/
Penyair Joko Pinurbo, Jumat 25 Mei 2007, meluncurkan sebuah buku penting di Toko Buku Aksara, Jakarta. Tentu saja itu sebuah buku sajak. Judulnya "Celana Pacar Kecilku di bawah Kibaran Sarung". Ini memang sebuah buku yang merangkum tiga buku yang pernah terbit: "Celana" (1999), "Di bawah Kibaran Sarung" (2001), dan "Pacar Kecilku" (2002). Padahal Februari sebelumnya ia baru saja melahirkan kumpulan sajak terbarunya "Kepada Cium".
Penerbitan ulang ini menggembirakan, bahwa buku puisi ternyata bisa laku.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pasti mempertimbangkan pasar. Konon, tiga buku sulung Joko ini semakin banyak dicari tapi semakin susah dicari. Konon pula, penerbit lama tidak punya daya untuk menerbitkan ulang, maka penerbit baru pun mengambil kesempatan. Sebenarnya buku puisi memang bisa laku, kok. Tengoklah buku-buku Rendra, dan Chairil Anwar. Cetaknya pun telah banyak berulang-ulang. Lantas kenapa banyak buku puisi tidak laku? Jangan-jangan memang puisinya yang kurang "nendang".
Adakah hal lain yang bisa ditinjau dari terbit ulang ini? Mungkin banyak. Saya hanya ingin meninjau dari satu jurusan: penyuntingan puisi. Ya, penyuntingan puisi. Karena belum melihat buku baru maka bahan saya adalah satu dari sembilan sajak Jokpin yang muncul dalam dua buku berturut-turut. Sajak itu adalah "Gambar Porno di Tembok Kota" yang muncul di buku "Celana" dan "Gadis Malam di Tembok Kota" dari buku "Di bawah Kibaran Sarung". Kedua sajak itu adalah sajak yang sama. Perubahan semata-mata karena sang penyair sengaja menyuntingnya. Itu dilakukan dengan sesadar-sadarnya, penuh pertimbangan dan mungkin juga sedikit keisengan.
Di pengantar buku "Di bawah Kibaran Sarung" sang penyair menulis pengakuannya. Katanya, "Hampir semua puisi yang telah diterbitkan, yang kemudian saya rekrut ke dalam buku ini, telah mengalami revisi, re-kreasi, dengan kadar bervariasi. Entahlah, ketika membaca-ulang (sampai kesekian kali) puisi-puisi yang telah "selesai" saya tulis, saya kerap digoda oleh berbagai "salah cetak" dan "salah gubah", sehingga tangan yang oh tidak suci ini sering gatal juga".
/2/
Sekarang marilah kita tengok dua sajak eh satu sajak itu dan mari kita telurusi revisi, re-kreasi yang dihasilkan oleh kegatalan tangan penyair yang oh tidak suci ini. Supaya penelurusan kita mulus maka pada bait saya beri angka Romawi, dan pada baris saya terakan nomor.
Judul Buku: Celana
Judul Sajak: Gambar Porno di Tembok Kota
I
1. Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
2. Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
3. Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
4. Seperti *angin* memamerkan *kecantiakan*:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan dunia
6. .... leher jenjang yang menyimpan beribu jeritan
7. .... dada montok yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang
9. .... dirimbuni semak berduri.
II
10. Dan malam itu datang seorang pangeran dengan celana
11. komprang, baju kedodoran, rambut acak-acakan.
12. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.
III.
13. "Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
14. yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot bergoyang-
15. goyang, yang jalannya sedikit goyang tapi gagah juga.
16. Selamat malam Alwy."
IV.
17. "Selamat malam Kitty. Aku datang membawa puisi.
18. Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
19. yang penuh pekik dan basa-basi.
V.
20. Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar mencecar
21. bunga-bunga layu yang bersolek di bawah cahaya merkuri.
22. Dan bila situasi politik memingkinkan, tentu akan
23. semakin banyak yang gencar bercinta tanpa merasa
24. was-was akan ditahan dan diamankan.
VI.
25. "Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
26. Ledakkan puisimu di nyeri dadaku."
VII.
27. "Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
28. Aku tak pandai meradang, menerjang."
VIII.
29. Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
30. leher hangat dan bibir lezat yang terancam kelu.
31. Dan dengan cinta yang agak *berangsan* diterkamnya
32. dada beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
33. yang menyerahkan diri pada sembilu.
IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya *beringsat* tapi
35. ada teduhnya, yang cintanya ganas tapi ada lembutnya,
36. yang jidatnya licin dan luas tempat segala kelakar
37. dan kesakitan begadang semalaman."
X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, mesti
39. kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar di puncak risau.
40. Maaf, aku tak punya banyak waktu buat bercinta.
41. Aku mesti lebih jauh mengembara di papan-papan iklan.
42. Tragis bukan, jauh-jauh datang dari Amerika cuma untuk
43. jadi penghibur di negeri orang-orang kesepian?"
XI.
44. "Terima kasih, gadisku"
45. "Peduli amat, penyairku."
Judul Buku: Di bawah Kibaran Sarung
Judul Sajak: Gadis Malam di Tembok Kota
I.
3. Tapi enak saja ia /nampang/, mengangkang
4. Seperti /ingin/ memamerkan /kecantiakan/:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan /derita/ dunia
6. .... leher /langsat/ yang menyimpan beribu jeritan/;/
7. .... dada /segar/ yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, / /
9. .... /yang/ dirimbuni semak berduri.
VIII.
31. Dan dengan cinta yang agak /beringas/ diterkamnya
33. yang menyerahkan diri /ke/pada sembilu.
IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya /beringas/
35. /tapi/ teduh /juga/, yang cintanya ganas tapi lembut /juga/,
X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, / /
39. /mesti/ kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar / /
40. /di puncak risau./ Maaf, aku tak punya banyak waktu / /
41. /buat bercinta./ Aku mesti lebih jauh mengembara / /
42. /di /poster-poster/ iklan/.Tragis bukan, jauh-jauh datang / /
43. /dari Amerika cuma untuk/ jadi penghibur / /
44. /di negeri orang-orang kesepian?"/
1. Sajak ini terdiri atas sebelas bait dan 45 baris di versi pertama tetapi menjadi 46 baris di versi kedua. Penambahan satu baris terjadi di bait ke-10 yang semua barisnya dipenggal ulang.
2. Ada empat salah cetak yang ditemukan dan kemudian dibenarcetakkan.
- di baris ke- 4: "angin" dan "kecantiakan" dibenarkan menjadi "ingin" dan "kecantikan"
- di baris ke-31: "berangsan" diluruskan menjadi "berangasan"
- di baris ke-34: "beringsat dikembalikan menjadi "beringas"
3. Sejumlah baris di-reshuffle kata-katanya.
- di baris ke-3: "nongkrong" diganti dengan "nampang"
- di baris ke-6: "jenjang" ditukar dengan "langsat"
- di baris ke-7: "montok" ditendang oleh kata "segar"
- di baris ke-33: "pada" disundul oleh kata "kepada"
- di baris ke-41: "papan-papan" ditimpa dengan "poster-poster"
4. Ada kata yang ditambahkan.
- di baris ke-5: ditambahkan kata "derita" di depan kata "dunia"
5. Ada pula frasa yang digubah ulang:
- baris ke-35:
"ada teduhnya" menjadi "tapi teduh juga",
"ada lembutnya" menjadi "tapi lembut juga",
6. Yang terakhir yang mestinya disebut sejak awal: judul sajak ini berubah dari "gambar porno" menjadi "gadis malam". Pilihan terakhir itu terasa lebih santun memang. Penyair kita tampaknya rikuh juga dengan judul pertama yang terasa lebih vulgar itu.
1. Mengubah puisi yang sudah dianggap selesai bukanlah dosa. Ia bisa menawarkan kerisauan dan (karena itu juga menjanjikan sebuah) keasyikan yang harus kita sambut tawarannya itu./5/
2. Perubahan-perubahan di atas menunjukkan bahwa diksi adalah salah satu hal pokok dalam puisi. Sebuah kata di dalam puisi bisa bergantin menempati tempat yang sama dengan kata lain dan pergantian itu menawarkan sebuah permainan yang asyik: permainan makna dan permainan bunyi, juga permainan rasa. Tengoklah rasa yang berubah ketika kata "nongkrong" menjadi "nampang", atau ketika "dada montok" menjadi "dada segar".
3. Frasa bisa dipolkan tarikan gasnya untuk memaksimalkan kualitas sajak. Tengoklah, hanya dengan menambahkan kata "derita" di depan "dunia" yang sudah nangkring lebih dahulu, lalu menjadi frasa "derita dunia", maka baris sajak menjadi lebih dahsyat efek maknanya.
4. Sajak, selain olah rasa, terutama adalah olah pikir. Mengutak-atik kalimat adalah permainan yang menuntut kemampuan pikiran yang tekun, teliti, usil, nakal, jeli, dan sekaligus jernih.
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walapun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya.
Larto,
Suatu psikose menjalar kini di seluruh nusantara: bila persis PKI mau coup? Aidit boleh seribu kali membantah, rakyat dan AB kita makin teringat pada Madiun. Dan Aidit secara seratus prosen - Aidit sudah pula menggertak.
Bila di tahun 1948 PKI dengan anggotanya yang cuma 100.000 orang bisa bikin korban begitu banyak sudah, maka bagaimana dengan PKI sekarang yang sudah punya anggota tiga juga (resmi)? Secara aljabar kelas 1 SMP: tentu seramnya bakal tiga puluh kali! Jadi, mayat yang bakal bergelimpangan akan berjumlah tiga puluh kali; darah kering di gedung-gedung pembantaian (yang mungkin juga nantinya bakal mereka sebut Marx House) tebalnya tiga puluh kali dari darah kering yang ditemukan di ubin Marx House di Madiun tempo hari.
Semua gambaran seperti ini memang seram, Larto! dan memang, bukan tak punya alasan rakyat kita untuk mengenangkan kembali Madiun di tingkat pergolakan politik seperti kini ini di tanah air kita...
Syahdan, jika sahabat hendak bermain-main satu waktu, coba panggil
seorang orang Melayu yang pandai bersyair, suruh baca dengan lagunya yaitu
seperti nyanyi, maka lebih terang lagi maknanya. Demikianlah adanya.
[Surat Raja Ali Haji kepada Von De Wall, 6 Juli 1858/14 Zulkaidah 1274]
1. "Kamar mandi" muncul dalam 1 sajak.
2. "Telepon genggam" nongol dalam 2 sajak.
3. "Ranjang" menampakkan diri dalam 4 sajak.
4. "Tubuh" hadir dalam 9 sajak.
5. "Bulan" datang dalam 5 sajak.
6. "Celana" dipakai dalam 8 sajak.
7. "Mata" terlihat dalam 6 sajak.
8. "Kuburan" ada dalam 5 sajak.
Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa,
kau rajin keluar masuk telepon genggam,
melacak jejak suara tak dikenal yang mengajakmu
kencan di kuburan pada malam purnama:
Aku pakai celana merah. Lekas datang ya.
kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku.
menjadi telepon genggam raksasa.
Kita baru dapat memastikan bahwa ia adalah "pengubah" besar dalam soal bahasa. Dengan dirinya sempurnalah perebutan bahasa dari tangan guru-guru, dan mulai saat itu bahasa Indonesia kembali ke tangan penyair. Mulai saat itu puisi bukan lagi hasil percobaan tata bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya, tapi pengucapan perasaan dan pikiran.Saya lantas ditumbuk oleh sejumlah pertanyaan:
1. Seberapa hebatkah perebutan bahasa itu dulu dari antara guru-guru dan penyair? Adakah kajin soal ini? Dan bagaimana jadinya bahasa dan puisi Indonesia saat ini jika perebutan itu tidak pernah ada?
2. Bila Chairil berhasil memenangkan penyair dalam perebutan itu, lantas apa tanggung jawab penyair sekarang untuk mengisi kemenangan itu? Masihkah ada artinya kemenangan itu?
3. Puisi saat ini memang tak pernah dilihat sebagai percobaan tata-bahasa yang telah ditetapkan hukum-hukumnya. Saat ini kita bahkan tak tahu bahwa cara memandang puisi yang seperti itu pernah ada dulu. Tapi sungguh tidak adakah semacam hukum-hukum dasar puisi yang bisa diajarkan di luar urusan pengucapan perasaan dan pikiran? Banyak sekali pertanyaan mendasar yang berulang diajukan oleh orang yang baru menggelut puisi yang mestinya tidak perlu diajukan lagi apabila tersedia semacam hukum dasar itu.
4. Lalu sekarang dikeluhkanlah minimnya porsi pengajaran sastra di sekolah-sekolah dan terbatasnya minat guru-guru bahasa untuk mengajarkan sastra. Saya berpikir, apakah ini semacam balas dendam guru-guru itu kepada penyair yang dulu merebut bahasa dari tangan mereka?
Waktu
Sajak W.S. Rendra
Waktu seperti burung tanpa hinggapan
melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan
sayap-sayap mu'jizat terkebar dengan cekatan
Waktu seperti butir-butir air
dengan nyanyi dan tangis angin silir
berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.
Dan waktu juga seperti pawang tua
menunjuk arah cinta dan arah keranda.
Penjelasan: Ini nasihat yang berat. Tapi mutak dijalani kalau ingin menghasilkan karangan-karangan yang hebat. Banyak pengarang yang sampai pada suatu waktu berhenti mengarang. Berhenti mengarang memang bukan dosa. Tetapi hasil puncak yang tak terduga-duga mungkin akan bisa tercapai bila si pengarang itu terus-menerus menghasikan karangan. Kontinyuitas yang tak terputus-putus bisa diartikan sendiri oleh pengarang paruh waktu - yang masih bekerja di bidang lain sebagai penopang nafkah - atau pengarang yang sepenuh waktunya dicurahkan untuk mengarang.
Penjelasan: Pertanyaan adalah pelumas dari kepengarangan. Pertanyaan adalah pendorong ke pencarian. Pencarian pengarang mungkin tidak selalu sampai pada jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan itu. Tetapi pertanyaannya yang baik, yang mewakili pertanyaan dan kerisauan orang banyak, bisa mendorong orang banyak bersama-sama atau bersendirian, mencari jawaban masing-masing.
Penjelasan: Perjalanan tidak harus dilakukan oleh jasmani pengarang saja. Perjalanan batin pun bisa menggerakkan pengarang ke wilayah-wilayah kreatif yang tak terduga. Perjalanan jasmani yang tak diikuti oleh batin yang siap mengembara pun akan sia-sia. Batin yang tidak siap akan luput mengamati pernik-pernik penting dan menarik sepanjang perjalanan itu.
Penjelasan: Yang hakiki pada kebiasaan menulis buku harian adalah membiasakan kebiasaan menulis itu sendiri. Buku harian memaksa pengarang untuk memegang pena dan membuka buku, menghidupkan komputer atau laptop. Dalam hidup yang dilewati sehari pasti banyak hal terjadi, di buku harian apa yang banyak itu dipilih yang paling menarik untuk dicatat.
Penjelasan: Membaca dengan teliti dan disiplin, bukan membaca yang asal lewat. Membaca adalah sebuah pekerjaan kreatif yang aktif, bukan pasif. Apa yang ditemukan selama membaca sebuah karangan adalah sah milik si pembaca. Maka ia sebaiknya mencatat penemuannya itu. Tinjauan cerita bisa berisi sikap, penilaian pembaca atas apa yang ia baca. Pembaca harus mengambil pelajaran dari apa yang ia baca.
Penjelasan: Membaca karya dalam bahasa asing, kemudian menerjemahkannya, mendorong pengarang untuk menggauli karya asing yang ia baca itu lebih intim. Tabir perbedaan bahasa yang dikuak selembar-selembar, sekata demi sekata menawarkan ketegangan dan pengalaman yang mengasah kepekaan si pengarang. Kelak, si pengarang akan terlaltih memilih kata untuk menerjemahkan ide yang ada di kepalanya. []
Penjelasan: Ruang dalam adalah ruang pribadi, ruang luar adalah ruang publik. Ruang dalam dibangun sendiri dengan pengertian yang bebas. Ruang luar terbangun bersama sehingga di ruang itu pengertian kata dipahami oleh semua orang yang bersama-sama berada ruang luar itu, tanpa merusak ruang dalam yang terbangun di dalam diri masing-masing.
Penjelasan: Bila disebut kata "rumah", maka di ruang luar kata itu yang terlihat adalah rumah dalam pengertian umum. Rumah yang dimengerti bersama oleh orang-orang yang berada di ruang luar kata yang sama. Padahal orang-orang itu menyimpan pengertian kata rumah yang berbeda yang mereka bangun di ruang dalam masing-masing itu.
Penjelasan: Rumah bagi A, bisa jadi adalah rumah sederhana yang pernah ia tempati, yang harus ia tinggalkan karena ada trauma yang mengusirnya jauh dari rumah itu. Rumah bagi B, adalah rumah yang berat ia tinggalkan karena rumah itu selalu membuatnya nyaman. Rumah bagi A dan B yang berbeda itu tersimpan di dalam ruang dalam kata itu yang mereka bangun sendiri.
Penjelasan: Karena itulah puisi itu personal sekali. Orang yang merasa nyaman berada di ruang luar alias ruang bersama punya dua pilihan. Ketika melongok ke puisi - jendela yang membuka ruang dalam itu: Pertama, orang bisa tidak betah karena aneh melihat ruang kata yang berbeda dari ruang luar tempat ia biasa berada dan berbeda pula dengan ruang dalam kata yang ada dalam dirinya; Kedua, orang menjadi sangat tertarik karena ruang dalam yang ia longok di jendela puisi itu ternyata banyak serupanya dengan ruang dalam yang ia simpan yang diam-diam ia rahasiakan.
Penjelasan: Ada ketegangan antara ruang luar dan ruang dalam kata. Ruang luar kata bisa jatuh menjadi membosankan. Ruang dalam kata sesekali harus dibuka dan diajak keluar agar ketegangan itu mencair dan ruang luar kata disegarkan kembali oleh kehadiran ruang dalam.
Penjelasan: Inilah yang disebut kredo. Kredo dirumuskan bukan untuk sekadar menunjukkan beda gaya atau sekadar ingin menunjukkan bahwa si penyair adalah orang yang paling tahu sajak-sajaknya. Kredo dirumuskan dengan dua tujuan: kedalam agar si penyair memungkinkan menyajak dengan kreatif dan keluar agar terbuka gerbang pemahaman atas karya-karyanya.
Penjelasan: Ini adalah sikap tegas. Daripada kita tidak bisa menyair dengan serius, atau bertekad mempertahankan sebutan penyair sampai mati padahal tak bisa menghasilkan karya yang bagus lagi, lebih baik kita tinggalkan saja kepenyairan kita.
Penjelasan: Inilah keseriusan itu. Bukan penemuan bahasa yang utama tapi usaha untuk mencari dan menemukan bahasa itulah yang terpenting. Tiap pencarian tidak akan sia-sia. Bila tidak menemkan, kita pasti akan bisa menciptakan bahasa sendiri.
Penjelasan: Inilah hakikat pencarian itu. Apakah yang sudah kita temukan harus kita anggap selesai sampai di situ. Kita harus mencari lagi hal-hal baru lainnya. Tak pernah berhenti.Pasal 5. Yang tidak menemukan bahasa tak akan pernah disebut penyair.
Penjelasan: Tapi pentingkah mendengar orang menyebut kita sebagai penyair? Sekali lagi yang penting adalah pencarian yang terus-menerus, dan penemuan yang tidak memenjarakan kita untuk terus melakukan pencarian baru.
Penjelasan: Isi seni yang belum diberi bentuk adalah gagasan di kepala seniman yang belum dituliskan. Bentuk seni yang tak diberi isi hanyalah latihan menulis, atau karya iseng. Dulu, di zaman neoklasik Eropa, gagasan besar selalu dituliskan dalam bentuk puisi, saat itu bentuk itulah yang dianggap paling baik dan tepat. Sama halnya dulu di nusantara nasihat sebagai "isi seni" selalu disampaikan dalam "bentuk" syair atau pantun, pada masa itu itulah bentuk yang paling disukai. "Bentuk seni" berkembang, dan dikembangkan oleh seniman. Seniman ditantang untuk menawarkan, menciptakan, dan menemukan bentuk-bentuk seni baru, selain memakai dengan baik bentuk-bentuk yang, atau menghidupkan lagi bentuk yang sudah dianggap mati.
Penjelasan: W.S. Rendra adalah contoh nyata dari apa yang ia petuahkan ini. Ia menulis naskah drama, ia menyutradarai, ia menjadi pelakon, ia menulis cerita pendek, ia menulis kritik, dia menulis puisi, dia membacakan puisi. Semua ia lakoni dengan sungguh-sungguh. Keberagaman penghayatan bentuk-bentuk seni itu meluaskan pandangan dan wawasan si seniman.
Penjelasan: Dari bentuk-bentuk seni yang dikuasai seniman harus ia dapatkan inti kekuatan seni itu. Bila inti kekuatan seni itu sudah ia dapatkan, maka baginya tidak ada msalah ke dalam "bentuk" apapun "isi seni" yang hendak ia ciptakan, hasilnya adalah karya yang bertenaga. Seniman yang rohani dan pikirannya dinamis tidak akan pernah bisa menghambakan dirinya pada satu bentuk seni saja.
Penjelasan: Dengan kata lain, seniman tidak memaksakan "isi seni"-nya kepada publik penikmat karyanya. Seniman harus bisa membuat penikmat karyanya benar-benar menikmati karyanya, mula-mula tentu ia harus memikat dengan bentuk seni, karena bentuk itulah yang pertama kali ditengok oleh publik. Bentuk yang memikat tetapi isinya buruk, akan mengecewakan publik. Bentuk yang buruk meskipun isinya hebat, juga tidak akan maksimal dinikmati, atau bahkan tidak akan pernah bisa dinikmati oleh publik.
Penjelasan: Setiap karya harus unik, berbeda dari karya seniman lain, bahkan berbeda dari karya lain dari seniman sendiri. Peniruan atas nama kesengajaan atau kebetulan adalah haram. Pengulangan harus dihindari. Keunikan karya akan bertambah nilainya bila ia otentik bukan sekedar eksentrik. Eksentrik berbeda dengan otentik, karena pada yang otentik terkandung keaslian, sedangkan pada yang ekstentrik hanya mengejar keanehan.
Penjelasan: Otentisitas memang berasal dari penghayatan atas kehidupan, bukan dugaan-dugaan atau prasangka-prasangka dangkal atas kehidupan. Penghayatan atas kehidupan dilakukan terus-menerus seperti kehidupan itu sendiri terus berlangsung sampai dihentikan oleh kematian.
Penjelasan: Seniman harus sampai pada kearifan "daya seni". Seniman yang kurang penghayatan atas kehidupan, memang gampang putus asa dan membelokkan karya-karyanya pada "tipu seni". "Daya seni" yang terkandung pada karya seorang seniman dengan kuat memukau publik seni, dan senimannya sendiri diberi penghormatan yang memang pantas ia terima. Seniman yang hanya mengandalkan "tipu seni" akan ditinggalkan publik dan akhirnya dia sendiri akan terjauhkan dari seni yang sok ia geluti itu.