Wednesday, June 20, 2012

[Kolom] Samudera Biru Fast Company


BELAKANGAN saya banyak membaca buku-buku dan majalah bisnis dan entrepreneurship. Selain Fortune yang sejak dua tahun lalu sudah terbit dalam edisi Indonesia, saya membaca Fast Company, Inc., dan Entrepreneur. Tiga yang terakhir ini agak susah mendapatkannya tapi kebetulan dalam beberapa bulan terakhir saya sering bepergian, dan menemukan ketiganya di toko buku Periplus yang jaringannya ada di Bandara Soekarno Hatta.  Saya agak boros belanja di situ.






Majalah-majalah tersebut seperti diatur jenjang kebutuhannya. Mula-mula, Entrepreneur. Ini adalah majalah untuk para wirausaha pemula. Laporan-laporan utamanya antara lain: Berbisnis Mandiri: Bagaimana Caranya Sukses Membangun Bisnis Anda Sendiri; Besarkan Merekmu - Rahasia Keberhasilan 10 Merek yang Paling Terpercaya di Dunia;  Ciptakan Peluang:  Tinggalkan Pekerjaanmu, Langgar Aturan, Luncurkan Merekmu!  Dan pada yang terbaru, edisi Juni lalu laporan utamanya adalah bagaimana Richard Branson membangun Imperium Bisnis. Branson adalah pebisnis yang memulai usaha sejak SMA, dan kini meraksasa dengan mereka Virgin. Usahanya membentang jauh dari perusahaan rekaman, maskapai VirginAir, dan dalam laporan itu juga dijelaskan bagaimana dia menawarkan plesiran ke luar angkasa, jauh sejauh ini masih konsep yang terus-terang saja masih setengah matang, tapi Anda tahu, orang sudah antre bayar di depan untuk jadi turis wisata ‘nyeleneh’ tersebut.

Lalu, majalah Inc.. Ini tentu singkatan dari Incorporation atau Incorporated. Majalah ini kira-kira melayani pengusaha yang sudah jalan dan tentu mereka perlu banyak inspirasi terus-menerus bagaimana cara bertahan dan tumbuh. Laporan-laporannya antara lain:  Kenapa Tokoh Ini tak pernah Berhenti Berinovasi?; Bagaimana Menjadi Bos yang Hebat; Bagaimana Mempertahankan Bisnis yang Sudah Dimulai; Pelajaran dari Persaingan Bisnis yang Paling Keras; Inilah Perusahaan-perusahaan Periklanan Paling Keren;  Segala Hal yang Anda Perlukan untuk Menyempurnakan Penawaran Bisnis Anda!

Adapun majalah Fortune, adalah majalah yang laporan-laporannya adalah tentang bagaimana perusahaan-perusahaan besar dikelola. Wawancaranya selalu dengan para CEO terpilih. Sebagai pembaca yang belum lama, saya menemukan CEO Coca-Cola, Google, Amazon, Microsoft.  Pada edisi Indonesia pun yang tampil di sana adalah CEO perusahaan ternama seperti Garuda, Bank Mandiri, Telkom, Unilever, P&G, dan di edisi terbaru laporan utamanya adalah hasil wawancara Sukanto Tanoto, raja pulp Indonesia, yang sekian tahun lamanya tak pernah mau ditemui wartawan.

Tingkat majalah. Tiga tingkat perkembangan usaha. Dengan kata lain semua level kebutuhan informasi wirausaha terpenuhi.  Lalu majalah seperti apa lagi yang dibutuhkan? Ada banyak majalah bisnis lain dari Amerika.  Tapi, saya tertarik dan belakangan juga rutin membeli majalah Fast Company. Majalah ini dengan jeli menawarkan satu hal lain yang jika tidak ditawarkan olehnya, maka kita tidak tahu bahwa kita perlukan itu. Fast Company tampil dengan semangat yang sama sekali lain: bisnis adalah seni. Strategi bisnis adalah jurus-jurus yang bisa dilakukan dengan sangat indah.

Fast Company, misalnya dengan penuh percaya diri bisa saja membuat laporan utama tentang rekaman wawancara dengan Steve Jobs dua puluh lima tahun yang lalu, dan selama ini tak pernah disiarkan. Apa menariknya rekaman “basi”  yang sudah dianggap hilang itu? Setelah pendiri Apple Inc. itu meninggal, apapun yang berkaitan dengannya menjadi sangat menarik.  Pada kali lain majalah ini melaporkan tentang segala hal ihwal di dalam tubuh Facebook menjelang penjualan saham perdanya.  Pada edisi lain dengan otoritas penuh tim redaksi Fast Company menentukan 100 Orang Paling Kreatif di bidang bisnis masing-masing. Bukan hanya orangnya, mereka juga yang menentukan sendiri apa bidang bisnisnya, yang tentu tak pernah terpikir oleh media lain, atau mungkin juga oleh sosok yang terpilih itu sendiri.

Saya menyimpulkan satu hal yang sama: para penggagas, pendiri, dan pengelola majalah-majalah bisnis di atas adalah pebisnis yang hebat.  Saya kira memang begitulah seharusnya seorang pebisnis: dia harus tahu apa yang dibutuhkan oleh konsumennya, dan dia harus piawai membuat produk yang memenuhi kebutuhan itu. Pebisnis hebat, bagi saya, dekat dengan kejeniusan dalam bentuk yang lain.

Kisah bagaimana Fast Company lahir harus saya kutip dalam kolom ini untuk mendukung kesimpulan saya di atas.  Adalah Allan Webber yang pada suatu titik  berada di puncak kariernya  dan juga di puncak kejenuhan.   Dia bergaji tinggi, disegani, dan memimpin majalah bisnis akademi yang paling berwibawa Harvard Business Review.   Pembuktian kemampuan, kesuksesan, ternyata tak lagi bisa dinikmati oleh Alan.

Jims Collins, penulis buku legendaris “Good to Great”, menggambarkan keadaan Webber saat itu kira-kira begini: semakin lama bertahan, semakin sukses dia. Semakin sukses, semakin besar harga yang harus ia bayar untuk meninggalkan pekerjaannya. Semakin besar harga yang harus ia bayar untuk meninggalkan pekerjaan, maka kesuksesannya semakin terasa menjadi seperti penjara!

Alan Webber kira-kira sedang berada dalam kawasan ‘samudera merah’ karirnya sendiri. Samudera merah adalah istilah bisnis yang menjadi sangat popular setelah diperkenalkan konsepnya oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne.  Bacalah buku “Blue Ocean Strategy”, yang di Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Serambi.  Istilah ini diperkenalkan dengan jeli untuk menggambarkan kondisi pasar, dan persaingan untuk menguasai pasar tersebut.

Dalam samudera merah, kata Kim dan Mauborgne, batasan-batasan sudah tertakrif dan diterima, aturan-aturan persaingan sudah diketahui. Siapa lawan sudah jelas. Jika ingin menang, kalahkanlah lawanmu. Siapapun kita yang ada di pasar merah tersebut, pada pihak yang kuat ataukah yang lemah, kebosanan bisa menyergap. Saya bayangkan itlah yang dirasakan oleh Allan Webber.

Dia lalu tinggalkan pekerjaannya yang sedang ada di puncak itu, dan membuat majalah baru dengan konsep yang kuat. Itu terjadi di tahun 1995. Mula-mula ia menyimpulkan tiga tren besar yang sedang terjadi di dunia, dan dengan demikian juga dalam bisnis, yaitu: digitalisasi, globalisasi dan demokratisasi. Dengan kejelian membaca tren itulah Fast Company lahir, dan sukses besar.

Dengan demikian, kira-kira, lagi-lagi merujuk ke konsep Kim dan Mauborgne, Alan dan --- oh ya dia dalam persiapan didorong dengan mitra yang sama-sama menjadi editor di HBR dan ‘sintingnya’, yang lebih dahulu berhenti  --- (yaitu)  Bill Taylor, menciptakan ‘samudera biru’-nya sendiri.  

Samudera biru – tulis Kim dan Mauborgne – adalah ruang pasar yang belum terjelajahi, penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan.

Fast Company, disebutkan  oleh Collins dalam pengantar buku yang merangkum artikel-artikel terbaik dalam sepuluh tahun majalah itu, disejajarkan dengan majalah ‘Rolling Stones’. Yang terakhir ini berhasil menangkap spirit rock ‘n Roll, tidak hanya sebagai satu aliran musik, tapi terlebih sebagai budaya tanding kaum muda, semangat perlawanan pada budaya yang mapan dan itu membosankan, alias kawasan samudera merah kebudayaan.  

Apapun samudera birunya, majalah-majalah bisnis yang saya sebutkan sekilas di atas menyenaraikan satu pesan yang sama: bisnis itu keren!  Menjadi entrepreneur adalah pilihan yang hebat. Atau dengan kalimat Jim Collins yang menjelaskan hal lain, tapi izinkan saya pinjam untuk saya pakai seabgai kesimpulan  atas empat majalah di atas, yaitu: entrepreneur adalah sebuah konsep hidup, bukan sekadar konsep bisnis.

Kelahiran Fast Company adalah contohnya. Kejenuhan pada kerja, pada keberhasilan yang makin terasa bagai penjara, adalah personal, soal hidup dan kehidupan seseorang yang kebetulan bernama Alan Webber. Keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai upaya mencari kesegaran semangat baru, melahirkan satu ‘samudera biru’, satu bisnis baru. Bukan hanya bisnis yang cemerlang, tapi Fast Company juga melahirkan pemikiran gagasan-gagasan bisnis hebat sejak ia mulai diterbitkan.***