: M Aan Mansyur
PADA secawan coto itu, 
kita dengar lidah bersabda: 
Tuntutlah rasa sampai ke 
negeri Mangkasara. 
Lalu, kita saling suap, 
dengan satu sendok yang 
sama, dan saling memejam, 
menebak apa yang akan 
terjadi di lidah kita, oleh 
panas, pedas, kental, dan 
keruh kuah. 
"Ini sendok yang keberapa?" 
kita saling tanya. Aku 
berkali-kali menyayangi 
sebilah sendok, lalu patah 
atau hilang begitu saja.
Sendok itu, di suatu hati
yang membentang laut sendiri,
menjadi pengayuh di tangan
seorang  pelayar yang asing.
*
Pada secawan soto itu, 
kita tebak yang tertakung,
di sendok cekung: babat, 
usus, paru, hati, dan limpa,
atau jantung? Segalanya
serba sepotong, dan api
di dapur belum padam, 
telah menyala berjam-jam.
Engkau sejak semula telah
bilang, "nanti aku akan
menangis," dengan air 
mata pedis yang membuat 
mataku memar, sememar serai, 
hijau seperti taburan daun 
seledri, yang semalaman kau 
iris tipis-tipis, sangat tipis. 
Kita bisa saja lupa pada 
kecap, atau perasan jeruk 
nipis, pada ayat di kitab,
atau petikan riwayat hadis,
atau pura-pura tak tahu
pada ruap uap lengkuas, 
tapi pada saat-saat manis, 
setelah bergundah seperti 
ini, bisakah kita saling
meniadakan? Menghapus yang
begitu saja ada di sana?
Nama yang membaca kita? 
 
*
Rawan, bimbang, mengapung
bagai iris-irisan dari 
sebatang: panjang daun bawang, 
sendok kita, mengaduk,
seperti dayung perlahan
mengelak rumpun kiambang
Genangan yang mendanaukan
gerimis, sepasang airmata kita.
Di mulutmu, mulutku menepi
Di lidahmu, lidahku bertambat 
Di matamu, pejamku berlabuh.