Tuesday, March 29, 2011

Di Matamu, Pejamku Berlabuh

               : M Aan Mansyur

PADA secawan coto itu,
kita dengar lidah bersabda:
Tuntutlah rasa sampai ke
negeri Mangkasara.

Lalu, kita saling suap,
dengan satu sendok yang
sama, dan saling memejam,
menebak apa yang akan
terjadi di lidah kita, oleh
panas, pedas, kental, dan
keruh kuah.

"Ini sendok yang keberapa?"
kita saling tanya. Aku
berkali-kali menyayangi
sebilah sendok, lalu patah
atau hilang begitu saja.

Sendok itu, di suatu hati
yang membentang laut sendiri,
menjadi pengayuh di tangan
seorang  pelayar yang asing.

*

Pada secawan soto itu,
kita tebak yang tertakung,
di sendok cekung: babat,
usus, paru, hati, dan limpa,
atau jantung? Segalanya
serba sepotong, dan api
di dapur belum padam,
telah menyala berjam-jam.

Engkau sejak semula telah
bilang, "nanti aku akan
menangis," dengan air
mata pedis yang membuat
mataku memar, sememar serai,
hijau seperti taburan daun
seledri, yang semalaman kau
iris tipis-tipis, sangat tipis.

Kita bisa saja lupa pada
kecap, atau perasan jeruk
nipis, pada ayat di kitab,
atau petikan riwayat hadis,
atau pura-pura tak tahu
pada ruap uap lengkuas,
tapi pada saat-saat manis,
setelah bergundah seperti
ini, bisakah kita saling
meniadakan? Menghapus yang
begitu saja ada di sana?

Nama yang membaca kita?
 
*

Rawan, bimbang, mengapung
bagai iris-irisan dari
sebatang: panjang daun bawang,
sendok kita, mengaduk,
seperti dayung perlahan
mengelak rumpun kiambang


Genangan yang mendanaukan
gerimis, sepasang airmata kita.

Di mulutmu, mulutku menepi
Di lidahmu, lidahku bertambat
Di matamu, pejamku berlabuh.