Tuesday, March 1, 2011

Mengemban Amanah dengan “Sebaik-baiknya”


GUBERNUR Kepri  Drs H.M. Sani meminta Walikota Drs H Ahmad Dahlan dan Wakilnya H Rudi SE MM untuk mengulangi frasa itu, karena mereka mengucapkannya  tidak serempak. “Ulangi, ‘sebaik-baiknya’…!”  Pasangan pemimpin Batam yang akan mengemban amanah kepemimpinan 2011-2016 itu pun mengulangi:  “Sebaik-baiknya!”  Dari balkon kanan atas, saya menyaksikan prosesi pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan di ruang sidang utama DPRD Kota Batam itu. Selasa (1/3),  ini sidang paripurna ketiga yang pernah saya ikuti di gedung itu. Yang pertama Pelantikan Dahlan-Ria oleh Gubernur Kepri Ismeth Abdullah; yang kedua serah terima Ketua DPRD dari Soeryo Respationo ke Surya Sardi.






Tata Bahasa Indonesia mempunyai satu  proses morfologis unik terhadap kata sifat.  Kata “baik”, misalnya, jika diulang, lalu ditambah imbuhan “se” dan “nya”, maka tercipta sebuah kata bentukan baru: “sebaik-baiknya”. Kata baru ini bermakna superlatif: mengupayakan, mengerjakan atau mencapai sesuatu yang diemban dengan hasil  terbaik yang  mungkin bisa dicapai.   Se +kata ulang +nya, kata guru Bahasa Indonesia saya di SD dulu, bisa jadi alat untuk menguji apakah sebuah kata itu kata sifat atau bukan.  Ucapkan “sebangku-bangkunya”.  Tidak morfologis bukan?  Berarti “bangku” bukan kata sifat. Dan memang itu adalah kata benda.

Dalam teks proklamasi kita temukan juga morfologi kata seperti itu: “…diselengarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Sesingkat-singkatnya berarti sesingkat mungkin, atau tempo tersingkat yang bisa ditempuh.

“Sesingkat-singkatnya”,  “sebaik-baiknya”, - atau dalam sajak Sutardji pernah dia mengulang-ulang kata  “sedap” menjadi “sesedap-sedapnya”, adalah kata dengan kandungan makna kualitatif, bukan kuantitatif.  Tidak ada ukurannya, tapi dia bisa diukur dan dirasakan.

Kita hingga lima tahun nanti, mulai saat pasangan pemimpin baru kita itu memimpin  pada hari dia dilantik dan diambil sumpah, bisa menilai dan merasakan apakah mereka berdua sudah memimpin dan mengemban amanah dengan “sebaik-baiknya”.  Dan itu tidak mudah! Mengucapkannya saja bisa bikin gugup dan harus berulang-ulang sampai terdengar fasih, yakin, dan mantap.

*
    Bagaimana kita melihat kepemimpinan duet Dahlan-Rudi  ini?  Sebagai orang biasa, bersama sejuta lebih rakyat Batam lainnya, pada dasarnya saya pada posisi “konsumen” dari apapun kebijakan yang dihasilkan oleh kepemimpinan mereka.  Merekalah “produsen” kebijakan tersebut.  Produksi kebijakan itu tentu tidak lahir dari ruang steril. Ada kelompok-kelompok pembisik dan penekan. Ada orang dan kelompok oportunis yang datang dengan  kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ini lumrah dalam politik sekuno dan semodern apapun.

Kenapa?  Karena keikhlasan adalah barang mahal. Tak banyak orang seperti Chairul Tanjung yang menolak ditawari jabatan menteri , dan memilih pelesiran keluar negeri saat presiden terpilih yang ia bantu – “saya menanam ‘saham’ di semua parpol,” katanya -  sedang sibuk menyusun kabinet.  Tak selalu lahir pemimpin yang tegas seperti Barack Obama yang ketika memulai kampanyenya dengan lantang berteriak, “hei kelompok pelobi  jangan dekati saya!” . Lalu tim Obama – yang sebagian besar adalah relawan yang digerakkan oleh hati karena mereka dipersatukan oleh satu kepentingan: Perubahan - bergerak dari pintu ke pintu warga pemilih.

Pilwako di Batam tidak berjalan seperti Pilpres di Amerika yang dimenangkan Obama itu. Dan itu tidak buruk. Kita hanya harus memakluminya.  Sebagian dari kita mungkin sudah tidak puas dan kecewa. Usulan kenaikan beberapa pajak daerah  oleh asosiasi pengusaha ditolak. Walikota diingatkan soal janji lisan – yang kemudian dibantah, ah, tentu saja kita tak perlu habiskan energi dengan saling bantah – tidak akan menaikkan pajak selama dua tahun ke depan.

 Tapi, begitulah seharusnya komunikasi antara “produsen kebijakan” dan “konsumen kebijakan“  terjadi.  Ada tawar-menawar.  Perda bukanlah titah raja.  Inilah sisi indah dari demokrasi. Ya, demokrasi.  Sistem ini baik, dan harus disadari sesadar-sadarnya bahwa ini bukan jalan terbaik. Kita tidak boleh meyakini sistem ini sempurna, karena itu selalu ada ikhtiar untuk memperbaikinya.  Dan itu bisa sangat melelahkan dan bikin putus asa.

Buat saya, setiap proses politik memilih pemimpin daerah adalah sebuah eksperimen. Segala perlakuan dicobakan di situ. Ada yang gagal dan berhasil.  Yang berhasil pun sebenarnya hanya melanjutkan serangkaian percobaan, serangkaian pengujian lain, sampai kelak masa bekuasanya habis. Ini sisi indah lain dari demokrasi:  kekuasaan yang diberikan lewat pemilihan kepada siapapun,  terbatas dan dibatasi  oleh waktu.  Kalau si penerima kekuasaan ternyata lancung,c ara paling nyaman untuk menyikapinya adalah dengan mengatakan: jangan pilih dia lagi. Ya, demokrasi membutuhkan kedewasaan dan kewarasan seperti itu.

*
     Sehari sebelum pelantikan, Ahmad Dahlan mengatakan dia ingin agar orang Batam menjadikan Batam sebagai kampung halaman pertama.  Saya ingin mengembalikan seruan itu ke beliau. Suatu tempat – buat saya - akan menjadi “kampung halaman” saya kalau tempat itu membuat saya “nyaman” dan “bangga”.  Apa yang disampaikan Huzrin Hood, di malam pengantar tugas, di Hotel Pacific adalah contoh nyata bagaimana sebuah kota bisa membuat warganya nyaman dan bangga.

    “Batam ini seperti Makassar, kampung leluhur Pak Walikota kita ini. Jumlah penduduknya dan APBD-nya hampir sama. Tapi, di sana pemerintahnya punya program bagus, orang melahirkan bisa gratis, orang berobat murah. Batam harus bisa buat program seperti itu,” kata Huzrin. Dan jika itu terjadi, inilah salah satu jalan untuk menciptakan rasa nyaman dan bangga itu.  Banyak program hebat dan menyentuh orang banyak yang bisa dibuat dengan APBD  Rp1,4 triliun. 

    Ada walikota yang dibanggakan warganya karena dia punya cara berbudaya ketika memindahkan pedangan kakilima, sementara pemimpin di kota lain mengerahkan satpol PP dengan pentungan dan kekerasan. Ada walikota yang dicintai warganya karena mencadangkan ruang terbuka hijau, fasilitas umum yang cukup dan nyaman buat warganya, sementara pemimpin lain jor-joran membangun pusat belanja dan “membiarkan” anak-anak bermain di kolam-kolam liar dan tewas tenggelam.  Ada walikota yang disebut-sebut dengan takzim oleh warganya  karena dengan tegas mengharamkan peritel besar  berdiri  di kota itu.  Dan, sementara itu, ada ratusan walikota dan bupati yang bermasalah dengan hukum akibat pengelolaan keuangan yang tak beres. Ada yang sudah menjalani hukuman penjara, ada yang sudah menyerempet  pintu penjara.

“Demokrasi sudah gagal!” kata kawan saya yang percaya ada sistem alternatif yang ia yakini jauh lebih baik daripada demokrasi.  Ya, demokrasi, sebagai percobaan bisa gagal dan bisa berhasil. Haruskah sistem demokrasi diganti?  Boleh. Inilah sisi indah lain dari demokrasi: dia bahkan memungkinkan siapa saja yang hidup dan berpikir di bawah naungan sistem itu mengoreksi, memperbaiki , bahkan menggantinya dengan sistem lain.  Termasuk sistem yang diyakini oleh kawan saya itu.


Kepada pemimpin baru kita, mari kita ucapkan selamat bekerja, sebaik-baiknya. Kepada kita saya ajak mari kita awasi, ikuti, tanggapi, sikapi, kritisi dan dengan sedewasa-dewasanya. Masyarakat yang aktif, tidak pasif adalah ciri khas dari masyarakat yang madani. Masyarakat madani adalah bagian dari Bandar Dunia yang Madani, cita-cita besar yang dicanangkan dulu oleh Nyat Kadir, Walikota Batam pertama di era otonomi daerah.  Visi itu terus dipertahankan – dan itu memang sangat layak dipertahankan oleh siapapun yang kelak menjadi walikota Batam – juga  Ahmad Dahlan dalam dua masa kepemimpinannya. ***