Monday, July 27, 2009

Tentang Adikku Muhammad Sadli (2)

AKU pernah memukul beberapa orang sepupu karena mereka membuat Ali kecil menangis. Mungkin itulah tindakan paling heroik yang pernah kulakukan untuk membela Ali. Tapi, setelah itu tak banyak lagi yang bisa kulakukan. Ali tumbuh menjadi dirinya sendiri.


***

AKU waktu itu sudah bekerja di Tarakan. Lewat telepon, Ali mengabarkan dia ada di Yogyakarta, cari kuliah di sana. Ada guru SMA-nya yang pindah ke sana. Aku sangat gembira dengan keputusannya itu. Setamat SMA Ali menganggur setahun. Ini pasti ada kaitannya dengan ekonomi orangtua kami yang belum cukup kuat untuk mengongkosi kuliah beberapa orang anak. Aku belum lulus, Dani juga belum bekerja tetap.

Setahun tidak kuliah, aku dengar Ali menjadi pelatih pramuka, bahkan sampai ke Ujungpandang. Aku sebetulnya merasa bersalah. Jangan-jangan ini salahku. Aku tahu Ali sangat suka dengan buku cerita serial Balada Si Roy - Gola Gong yang aku hadiahkan padanya. Juga komik bisu - sama sekali tanpa teks - Gong. Ini komik Jepang. Tokohnya seekor dinosaurus kecil yang bertahan hidup sampai ke zaman modern. Gong, tidak seperti leluhurnya yang punah. Ia dinosaurus cerdas dan bertenaga amat kuat. Gong adalah metafora dari perjuangan mempertahankan diri dan membangun kehidupan.

Belakangan dia mengabadikan kesukaannya pada kedua cerita itu dalam namanya: Ali Gong Shadlle.

Setahun tidak kuliah, Ali memuaskan petualangannya. Membayangkan jadi kedua Gong tokoh idoalnya. Dia suka bercerita padaku bagaimana dia menyemangati kawan-kawannya. Dia melatih teater, membina anak pramuka, bikin perkara macam-macam. Dia melanjutkan apa yang dia lakukan waktu SMA. Saya tahu, mama sangat bangga ketika Ali di SMA. Dia jadi Ketua OSIS, menggairahkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, dia sering dijemput kepala sekolah ke rumah, dan dia juga jadi anggota Paskibra di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Dia suka bercerita tentang Rusdi, kawannya yang meninggal dalam masa latihan Paskibraka. Rusdi jatuh saat memanjat tiang bendera. Tiangnya patah. Rusdi tewas di tengah kawan-kawannya. Ali sering mengulang cerita itu. Aku kira perisitiwa-peristiwa itu membuat Ali tumbuh menjadi orang yang dicintai kawan-kawannya. Setahuku, Ali tidak pernah punya musuh. Sejak kecil ia suka mengalah, dan menyelesaikan masalah pertemanan tidak dengan otot.

Ali juga amat peduli pada orangtua. Dialah yang banyak merawat Julak Sata - paman tertua dari pihak Ibu - yang di akhir hayatnya lumpuh sampai beberapa saat kemudian meninggal. Ali yang mengangkat julak ke kamar mandi. Itu mungkin karena, badan Ali besar, paling besar di antara kami. Dia juga paling hitam kulitnya. Sepupu-sepupu kecil kami memanggil Ali dengan panggilan "Gajah".

Oh ya, Ali juga paling kuat makan. Ini meneruskan kecenderungannya sejak bayi itu. Nah, maka hati-hatilah dengan makanan. Nenek kami - tinggal di rumah bersebelahan dengan rumah kami - suka menyembunyikan makanan. "Nanti habis dimakan Ali," kata Nenek.

Tapi, kalau ada makanan yang tak habis, makanan sisa, Nenek selalu mencari-cari Ali. "Mana Ali Si Gajah? Ini ada makanan, sayang sekali tak habis. Kalau ada Ali, tak ada makanan mubazir," kata Nenek. Ali tidak pernah makan hati. Dia hanya tertawa ngakak dan meneruskan kebiasaannya: menghabiskan makanan nenek.

***

Ali mengakhiri petualangannya. Dia akhirnya ikut kata kami. Dia kuliah di Balikpapan. Aku waktu itu sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di Balikpapan, jadi reporter di Manuntung (sekarang Kaltim Post). Tapi, kuliah D1 di Balikpapan tak membahagiakan dia. Ali lulus tapi ijazahnya tak pernah dia ambil. Di akhir kuliahnya yang cuma setahun dia berselisih dengan dosen-dosennya, soal majalah kampus. Aku tak tahu persisnya seperti apa. Dia mungkin hanya ingin membahagiakan Ayah dan Ibu. Ali ikut wisuda - mungkin hanya supaya ada juga foto dia pakai toga didampingi Ayah dan Ibu kami.

***

Tiga bulan setelah teleponnya dari Yogya, aku tak dapat kabar lagi. Tiba-tiba saja dia bilang dia kuliah di UMS Solo. Ini kejutan kesekian dari Ali untukku.

Setelah itu, hidup membawa kami ke nasib masing-masing. Aku menikah dengan kekasihku Dhiana Daharimanoza - perempuan amat baik, teman kuliah, yang kubayangkan akan jadi istriku sejak tingkat II kuliah - dan pindah ke Batam.

Beberapa kali Ali minta kirimi uang tambahan kuliah dan sebisanya aku bantu. Dia Solo dia bertahan sebisanya. Ia tinggal di Asrama Kaltim - yang pasti lebih murah - dan sering mengirim kabar tentang macam-macam kegiatan ekstra kuliahnya. Dia bikin naskah teater, menyutradarai pementasan, dan pernah terlibat produksi film.

Dia juga bercerita mulai menjalin hubungan dengan Septiana Sofa yang kelak hubungan itu mereka jaga keberlanjutannya sampai akhirnya mereka menikah. Ali bertahan di Solo lama, karena kemudian adik bungsu kami Heni Mariani menyusulnya, kuliah di sana, di kampus yang sama.

Aku bangga, sekaligus cemas. Kecemasan itu terbukti kelak, Ali berselisih lagi dengan dosen pembimbingnya, dan ia tinggalkan saja kuliahnya yang tinggal skripsi.

***

Kabar tentang rencana pernikahan Ali dan Sofa sudah kuterima jauh hari. Ini titik balik kesekian kali dalam hidup Ali.

Pertanyaan pertama sebagai abangnya: apa dia bisa mencari nafkah untuk keluarganya? Tapi, pertanyaan itu saya simpan saja. Ini hanya pertanyaan orang yang terlalu cemas. Saya sudah sangat percaya, bahwa Ali bisa. Dia selalu punya jalan keluar yang terbaik buat dia, jalan yang orang lain tak terpikirkan. Dia bukan lagi lelaki kecil yang dulu saya harus jaga, saya bela dari gangguan teman-temannya. Ini mungkin hanya melankoli seorang Abang saja.

Aku tak bisa datang ke pernikahan Ali di Pekalongan, kota tempat keluarga istrinya. Ayah dan Ibu, serta Heni Mariani saja yang menghadiri walimah dan resepsi pernikahan itu. Bersamaan dengan hari bahagian itu, Dani - abang sulung kami - juga dianugerahi anak pertama.

Aku bolak-balik menelepon ke Solo dan Samarinda. Dani menikah agak lambat. Dani lewat telepon meminta aku memberi nama buat anak lelaki pertamanya itu. "Nanti kalau orang tanya, siapa yang menamai, jawabnya enak: pamannya, penyair nasional," kata Dani. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar alasan Dani, geli sekaligus senang.

Setelah mengusulkan beberapa nama, Dani akhirnya sepakat: Kavi Aunurrafi. "Kalau Kak Dani tak mau pakai nama itu, biar anakku saja tahun depan pakai nama itu," kata Ali. Ha ha ha, di tempat masing-masing: di Pekalongan, Samarinda, Batam, kami tertawa. Mungkin seperti dulu, kami tertawa bersama, di ruang keluarga rumah kami di Sei Raden sana.

Batam, Juli 2009
:: Hadiah perkawinan untuk Muhammad Sadli dan Septiana Sofa.