Monday, July 27, 2009

Tentang Adikku Muhammad Sadli (1)

ADA titik balik dalam diri seseorang. Aku melihat itu beberapa kali terjadi pada dirinya. Pada diri adik kandungku, Muhamad Sadli. Senin (20/7) lalu ia menikahi kekasihnya Septiana Sofa. Dia adik yang meskipun beberapa waktu sempat agak susah kupahami, tapi dia selalu membuat aku bangga, dengan banyak kejutan yang dia ciptakan.


***

AKU berjalan mengikutinya saja malam itu. Malam mulai larut. Kami sudah melewati dua kampung. Lebih dari dua kilometer dari rumah. Lengang sekali. Kecuali sesekali ada suara jengkerik yang ketika berkrik-krik seperti tepat di lubang telinga. Dia tahu aku mengikutinya. Dia lalu tiba-tiba berpaling, menatap ke arahku.

"Ayo, kita pulang," kataku. Dia menangis. Aku tak bertanya apa-apa. Sebentar aku tepuk dan peluk pundaknya. Kami lalu berjalan bersisian, ke arah rumah, ke arah pulang. Ia menceritakan kenapa malam itu ia ingin minggat dari rumah. Cerita yang akan tetap tinggal sebagai rahasia kami.

Waktu itu, dia masih SD. Aku sudah SMA. Kami empat bersaudara. Aku anak kedua. Ali - begitulah kami memanggilnya - lahir sesudahku diselangi Zulhaidir, adikku yang meninggal saat belum genap 40 hari usia hidupnya. Aku dan abangku berselisih tahun ganda. Mudah bagiku mengingat jarak umur aku dan dua adikku. Ketika aku masuk SD, Ali lahir. Ketika Ali masuk SD, Heni Mariani adik perempuan bungsu kami lahir.

Ali lahir saat keluarga kami sudah punya rumah sendiri. Tahun 1978. Saya ingat saat kenduri tasmiyah - ritual religius pemberian nama untuk bayi - Ayah menyiapkan tiga nama: Sazli Rais, Muhamad Sadli, dan Sofyan Hadi.

Kyai Guru yang mencabut satu di antara tiga kertas bertulisan nama-nama itu - begitulah kami mempercayai bahwa itulah nama yang dikehendaki Allah untuk si bayi. Bayi itu, sejak malam itu bernama Muhamad Sadli, itulah nama yang terpilih untuknya.

Aku selalu berusaha menjadi abang yang baik bagi adik-adikku. Rasanya, orang kedua setelah Ibu yang menggendong adik-adikku di rumah adalah aku. Kalau ibu ke kebun, dan aku tidak sekolah maka akulah yang menjaga adik-adikku di rumah. Aku terampil mengganti popok, menceboki, mencuci kain lampin, membuat susu, dan menyuapi adik-adikku makan bubur.

Aku punya banyak jurus jitu supaya mereka betah beberapa jam menunggu sampai Ayah dan Ibu kami pulang nanti tepat di waktu salat Zuhur. Salah satunya, aku punya pertunjukan wayang kertas. Wayangnya aku buat dari karton bekas kotak rokok. Tokohnya macam-macam binatang yang kuberi nama tiga huruf. Ada kucing yang mungkin dulu kuberi nama Si Uki, Si Iku Tikus, Si Ook Ayam, dan berbagai binatang lain.

Layarnya adalah kain putih bekas yang aku pakukan di bingkai kayu. Nah, dengan penerangan lampu teplok maka dari bayang-bayang wayang kertas tadi mengalirlah berbagai cerita yang aku karang sendiri. Di kampung kami, pada tahun-tahun itu belum ada listrik.

Aku juga terampil membuat berbagai macam mainan lain. Kitiran dari kaleng sabun colek merek B29. Topeng-topeng yang kubuat sendiri meniru wajah tokoh film boneka Si Unyil. Dan, ah, rasanya saya tak pernah kehabisan akal untuk membuat betah adik-adikku.

Meski begitu, sesekali saya bisa lengah juga. Ali, misalnya, suatu kali pernah menangkap tabuan, sejenis serangga penyengat besar yang racunnya lebih ganas daripada tawon biasa. "Nyup, nyup!" kata Ali. Maksudnya nyamuk. Tabuan yang terperangkap di kaca depan rumah kami itu pun dia tangkap. Dia menangis melawan nyeri. Bengkak jarinya untuk beberapa waktu.

Tapi, Ali bukanlah anak lelaki yang cengeng. Sejak bayi Ali tidak pernah kurus. Ia bayi yang lahap makan. Gemuk dan jarang sakit. Dalam pertumbuhannya kemudian, dia saya kira beberapa waktu hanya bingung bagaimana menempatkan diri di bawah dua abang lelakinya, Dani dan Aku. Tapi, dari kebingungan itulah dia menemukan pijakan untuk menentukan titik baliknya sendiri.(bersambung)