Monday, July 16, 2007



Goenawan Mohamad:
Informasi Membuat Kita Lebih Sabar

Oleh Hasan Aspahani

Kesenian dan jurnalistik. Goenawan Mohamad tak bisa lepas dari dua lapangan itu, kemanapun ia menjejakkan kaki. Bila kini dia memilih memaksimalkan diri di satu bidang itu, maka bukan berarti bidang yang lain sama sekali ia tinggalkan.

“Sekarang saya memilih kesenian,” kata tokoh kelahiran Batang, 26 Juli 1941 itu. Kenapa memilih bidang itu? “Karena ketika Tempo dibredel, pembelaan yang paling besar justru datang dari kalangan seniman,” katanya di depan para pemimpin redaksi dan pimpinan perusahaan surat kabar Jawa Pos Grup, Minggu (15/7) di markas besar kelompok surat kabar paling luas di Indonesia Graha Pena, Surabaya.

Itu sebabnya ia pun merintis sebuah sebuah wadah kesenian Komunitas Utan Kayu yang kini semakin berkembang organisasinya, semakin kuat posisinya, semakin luas pengaruhnya, dan semakin besar sumbangan bagi kesemarakan kesenian di Indonesia.

Minggu petang itu, di Graha Pena, Goenawan tentu lebih banyak bercerita soal jurnalistik. Ia menegaskan pentingnya organisasi redaksi. Satu hal yang sering diabaikan oleh investor yang kini ramai tanam modal bikin surat kabar.

“Waktu mendirikan Tempo dulu, kami sama sekali tidak mengerti bagaimana organisasi redaksi diatur. Rapat saja tidak tahu,” katanya. Baru pada tahun 1980-an, Goenawan berkunjung ke Time dan belajar menata organisasi redaksi di sana. Alhasil, Goenawan berkesimpulan, bagi pemimpin redaksi, katanya, kerja yang paling utama bukanlah mengurus berita, tapi mengurus orang-orang.

“Hidup saya membangun Tempo adalah membangun sistem organisasi,” katanya tegas. Itu artinya mengelola orang. Pelatihan-pelatihan yang baik tidak akan ada kalau organisasinya tidak dibangun lebih dahulu.

Saya ingat, kisah mantan wartawan Tempo yang menulis tentang seseorang awak redaksi majalah itu pernah melempar gelas kopi ke arah Goenawan. Lemparan itu tak kena. Gelas pecah dan kopi mengotori dinding. Saya tanyakan itu padanya.

“Saya sudah dua tahun hampir jadi Pemred. Syukurlah, saya tak pernah atau belum dilempar gelas kopi,” kata saya. Saya bertanya, itukah contoh sulitnya mengelola orang-orang di redaksi Tempo? Pernahkah ia dilempar dengan benda lain selan gelas kopi?

Pertanyaan itu tak dijawab, sebelum diingatkan oleh Pemred Jawa Pos Rohman Budijanto yang menjadi pemandu diskusi. “Tak perlu dijawab ya,” kata Goenawan. “Soalnya nanti jawaban saya hanya menjelek-jelekkan orang yang tidak pandai melempar”.

Tapi, toh dia akhirnya menambahkan juga. “Bila wartawan Anda galak, maka pertama Anda harus menulis lebih hebat dari mereka supaya dihormati. Kedua Anda harus belajar silat,” katanya. Silat? Tentu maksudnya agar bisa mengelak kalau dilempar.

***

Pers saat Indonesia saat ini, kata Goenawan, sedang menikmati kebebasan. Dan itu baik. Ia menyebut Malaysia dan Singapura punya sistem pers yang buruk: tidak bebas. Filipina punya pers yang bebas, tapi mutu pers di negara itu juga buruk, katanya. “Kolomnis-kolomnis di sana banyak yang dibeli oleh politikus,” katanya.

Pers memang berkelindan dengan kondisi negara. Karena itu, katanya, pers harus menyadari bahwa sekarang ada sebuah revolusi diam-diam di Indonesia. Revolusi itu bernama Otonomi Daerah. Apakah ini lebih baik? “Tiap erah ada baik dan ada buruknya,” kata dia. Pers harus mengawal hal-hal yang baik dalam revolusi diam-diam ini. Pers di era ini, katanya, harus membiasakan keterbukaan pada orang-orang yang berbeda. “Tak ada negara yang selesai dirumuskan. Itulah kekuatan negara itu. Selalu ada yang bisa diperbaiki dengan damai,” katanya.

Goenawan adalah orang optimistis. Ia tidak suka bila disebut Indonesia sedang terpuruk. Pers jangan ikut menyebut-nyebut hal itu. “Kalau itu yang selalu disebut-sebut terus, itu bisa jadi seperti ramalan yang seolah-olah diinginkan dan menjadi ramalan yang benar,” katanya.
Memang, katanya, ini adalah sebuah proses belajar yang sakit. “Tapi pers tidak boleh tidak, harus menciptakan harapan,” katanya. Pers yang bekerja mengolah dan menyajikan informasi harus sadar bahwa informasi yang benar itu membuat kita lebih sabar. Tapi sabar, tegasnya, bukan berarti kita memberi konsesi pada kezaliman.

“Kita harus bersyukur karena bekerja di bidang informasi, karena kita bisa membantu membuat yang mutlak itu menjadi tidak mutlak, memberi kesempatan pada nalar untuk bekerja,” katanya.[]