Tuesday, July 24, 2007

Gerakan Simbolisme dan Bunyi Sajak

SIMBOLISME tumbuh di Prancis. Penyair yang paling berpengaruh menggerakkan estetika ini adalah Charles Baudelaire (1821-1867). Nama-nama penyair lain, kawan sejawat Baudelaire yang mengikut dan menguatkan pengaruh simbolisme, adalah Stéphane Mallarmé (1842-1898) , Paul Verlaine (18-44-1896), dan Arthur Rimbaud (1854-1891). Mereka menyebut kelompok mereka sebagai The Decadents. Mereka hidup tak beraturan, luntang-lantung, bohemian.

Ada pula affair antara Verlaine dan Rimbaud yang menjadi mata air lahirnya legenda dan dramatisasi kisah-kisah kelompok. Kisah yang tak berhubungan langsung dengan gerakan simbolis tapi membuat gerakan itu menjadi lebih menarik perhatian.

Simbolisme dianggap sebagai penghubung antara gerakan Romantisme yang mendahului mereka, dan Surealisme yang tumbuh kemudian. Para kritikus kala itu hingga kini bersepakat pada satu hal: pengaruh gerakan ini dan para penyair penggeraknya tidak terbantahkan. Sadar atau tidak, saat ini kita menulis sajak ada memakai apa yang dirumuskan oleh para penggerak gerakan simbolisme.

Rahmat Djoko Pradopo dalam buku "Pengkajian Puisi" (Gajah Mada University Press, Cet. 9, 2005) pada saat menjelaskan ihwal "Bunyi" ada menjelaskan soal gerakan Simbolisme, karena gerakan ini memang mengagung-agungkan bunyi.

"Musiklah yang paling utama dalam puisi," kata Paul Verlaine. Maka, sebagaimana penyair Romantik, pada penyair Simbolis menciptakan puisi yang mendekati musik, merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara. Bahkan, mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka. Ini tentu saja berlebihan. Suara, dalam sajak, tidak akan pernah bisa menyamai suara dalam seni musik. Sumbangan terpenting bagi gerakan Simbolisme, bagi kita saat ini adalah perhatian pada bunyi, yang tentu bisa dimanfaatkan menguatkan makna, memperindah pengucapan sajak.

Kata "simbol" dari mana gerakan ini diberi nama berarti lambang dari dunia nyata. Maka, gerakan ini menyusun sebuah teori bahwa tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Jalannya ialah dengan mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Maka, dalam sajak-sajak simbolis, narasi absen, dan tak ada penyebutan lokasi. Apa yang bisa ditangkap panca indera hanyalah lambang atau simbol atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Benda-benda hanya dapat memberi saran kepada manusia tentang kenyataan yang sebenarnya.

Jadi menurut para Simbolis, tugas puisi adalah mendekati kenyataan, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Telah disebutkan tadi, bahwa simbolisme adalah penguhubung antara gerakan Romantik yang mendahuluinya, dan gerakan Surealis yang mengemudianinya. Kesamaan gerakan romantik dan simbolisme adalah pengagungan pada bunyi. Arti kata terdesak oleh bunyi.

Para penyair Pujangga Baru menulis sajak-sajak yang amat menaruh perhatian pada bunyi. Apakah ini pengaruh dari gerakan Simbolisme? Bukan. Menurut Rahmat Djoko Pradopo para penyair Pujangga Baru mengambil pengaruh dari gerakan Romantisme, tepatnya sebuah angkatan di negeri Belanda yang bernama Gerakan '80. Itu pula yang disebut Chairil Anwar dalam kartu posnya bertanggal 11 Maret 1944, kepada Jassin. "...orang "Pujangga Baru" kebanyakan epigones dari '80...," katanya.

Tulisan terkait:
- Sejarah Ringkas Imajisme
- Futurisme, Dada, Puisi Konkret