taksis: o, samudera, o samudera. Ombak-ombak tuamu, masih bijak
menandai musim pelayaranku, walau layar sepenggal tinggal,
walau peta selipat dapat. Bukankah janji di selasar itu masih
kubaca seperti mantra? "Tak ada badai bisa membatasi tualang
kita, para lelaki laut, lelaki kapal, lelaki nakoda."
takma: telah terjalin tali kapal, sekuat badai paling khayal. Kelak,
dalam pelayaran yang tak pernah kekal, ada saatnya kita
mengakar jangkar, menambat penat, menabah gelabah. Bukankah
singgah tak berarti lalai apalagi kalah? " Tak pernah tersisa ada,
kusut ombak dipuntal amuk badai, di pantai kita segala terjuntai..."
takung: tapi siapa yang dulu mendongengkan dusta. Tapi, dusta itu
tak pernah sepenuh bisa kita tolakkan saja. "Laut adalah tabah
tangis langit yang tak dapat tak kecuali terbiar terendap,
terdiam terdekap, terendam terselinap."
tajalli: o, samudera, o samudera. Badai itu, pintu yang menutup
ataukah kunci yang menyingkap membuka? Lelah cuma jawab entah.
Di layar sepenggal tinggal, di peta selipat dapat, kisah tualang kita catat.
Maka sianglah siang, maka teranglah teranglah,
maka mataharilah matahari, maka lelakilah lelaki.