Wednesday, February 22, 2012

[Kolom] Jepit Rambut dan Rantai Jam

O. Henry
 SAYA akan mengisahkan ulang sebuah cerita. Tokoh kita adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi. Masih muda. Belum punya anak. Mereka orang biasa dari kalangan orang kebanyakan.

Della, istrinya, perempuan berambut panjang berwarna perak yang indah. Jim, suaminya, orang dari keturunan terpandang, mewarisi rumah, yang karena kesulitan ekonomi, maka satu kamar di rumahnya  itu disewakan. Tapi upaya itu tak seberapa banyak menyumbang pendapatan. Jim sangat bangga dengan satu jam kantong tanpa rantai, warisan dari kakeknya. Ia sangat menyukai jam bermodel klasik itu.



Satu hari menjelang natal, keduanya diam-diam gelisah karena tak punya uang lebih untuk membeli hadiah. Hadiah kejutan, tentu saja. Sebagai pasangan yang saling mencintai, memberi hadiah natal menjadi semacam keharusan.

Apa yang dilakukan Della? Ia menjual rambut panjangnya yang indah itu ke sebuah salon yang membeli rambut untuk wig. Toh nanti akan tumbuh lagi, pikirnya. Dengan uang hasil penjualan rambut itu dia membelikan rantai emas putih untuk suaminya. Ia bayangkan betapa indahnya jam klasik itu dipadukan dengan rantai mengilap-ngilap itu. Jim pasti suka, ia menebak dengan yakin.

Della menyambut kedatangan Jim petang itu dengan senyum penuh rahasia. Kotak hadiah ia serahkan pada Jim. Jim sendiri semula kaget melihat istrinya tak lagi berambut panjang, rambut yang sejak dulu ia sukai. Della mengemukakan alasan yang sama ketika ia menimbang-nimbang hendak menjual rambutnya itu. "Nanti ‘kan tumbuh lagi, sayang," kata Della.

Meski dengan enggan, Jim membuka hadiah yang diberikan istrinya. Ia tampak makin kecewa. "Kamu tidak suka?" tanya Della. Sekali lagi Jim menjawab bahwa dia sangat suka dengan hadiah rantai jam emas putih itu. Della benar-benar mengerti kekecewaan Jim ketika ia membuka hadiah yang diberikan Jim: satu set jepit rambut untuk merapikan rambut yang panjang di bagian samping dan belakang. Hadiah yang sudah lama diidam-idamkan Della.

Sampai di situ, cerita pendek ini sudah amat menyesaki perasaan saya sebagai pembaca. William Sydney Porter si pengarang kita - ya, dia memakai nama samaran O. Henry - memang master untuk cerita pendek dengan akhir penuh kejutan. Kisah-kisahnya, sebagian besar dibangun dengan plot yang berakhir dengan ledakan, kata Arswendo Atmowiloto. 

Kehebatan O. Henry adalah ia menulis cerita dengan tokoh-tokoh orang sederhana, yang ia temui di kota New York, kota di mana ia tinggal, pada awal Abad ke-20.  Tokoh-tokohnya adalah pemain drama yang masih berjuang keras agar terkenal, juru tulis, perempuan tua penjaga rumah sewa, polisi, pelayan, pelukis yang belum punya nama, atau pemain musik idealis yang belum diperhitungkan. Karena itu, ceritanya dekat dengan pembaca.

Cerita demikian hanya lahir dari orang yang dengan tekun mengamati kehidupan orang-orang di sekitarnya, bergaul dengan mereka, mendengarkan kisah mereka.

Sejak kecil, pengarang kita ini amat gemar membaca. Ini memang modal penting seseoang yang ingin menjadi penulis yang baik. Sejak bisa membaca dia sudah membaca terjemahan Kisah Seribu Satu Malam.  Duh, siapakah sekarang yang memperkenalkan bacaan-bacaan bagus seperti kisah klasik itu kepada anak-anaknya?

Ia pernah bekerja sebagai tenaga pembukuan di bank, dan dipecat karena kecerobohannya. Meskipun bisa didakwa dengan kasus penggelapan uang ia tidak dilaporkan polisi, sampai ada audit dan ia pun jadi buronan. Ia lari ke Hundoras bersama istri dan anaknya. Dalam pelarian istrinya sakit, lalu pulang untuk berobat dan berharap kelak menyusulnya lagi. Tapi, nasib berkata lain, istrinya makin parah. Ia punya pirasat istrinya tak akan berumur panjang, ia pun pulang. Ia ditangkap, tapi ia tak menyesal karena sempat menemani istrinya menghadapi ajal.

Di dalam penjara yang harus ia jalani selama lima tahun - karena ia pernah belajar sebagai apoteker - pengarang kita ini bekerja di apotek penjara. Ia meneruskan bakat menulisnya dan di situlah ia mulai menggunakan nama samaran O. Henry, konon itu adalah nama sipir yang ia kenal di penjara.  Sejak itu, namanya melegenda. Bahkan kini di Amerika sebuah penghargaan tahunan diberi nama mengikut seperti namanya, diberikan kepada buku cerita pendek terbaik.

O. Henry, adalah contoh terbaik, dari nasihat bagi siapa saja yang ingin jadi penulis hebat. Nasihat itu adalah: tak ada cara terbaik untuk menjadi penulis hebat, kecuali satu: menulis dan menulislah.  Tahun 1902, ketika tinggal di New York itulah, masa-masa paling produktifnya. Sepanjang tahun itu ia menghasilkan 381 cerita pendek. Angka fantastis. Lebih dari satu cerita per minggu. Ia menulis setidaknya satu tulisan seminggu untuk satu majalah mingguan yaitu New York Sunday Magazine, yang memuat karyanya rutin.

Kita kembali ke Della dan Jim. Memang, ini hanya kisah fiksi, rekaan pengarang kita O. Henry. Tapi, selalu ada hikmat dari cerita semacam itu bukan? Cinta yang kuat, sesederhana apapun itu, diwujudkan dengan cara sederhana misalnya dengan saling memberi hadiah pada hari-hari istimewa ternyata bisa menjadi sangat mengharukan. Keharuan itu, saya yakin akan menambah kadar cinta itu. Hadiah kecil, pada hari istimewa, adalah wujud perhatian, dan cinta membutuhkan itu. Perhatian, wujud dari kepedulian, dan itulah yang menjadi pelumas yang melancarkan produksi di mesin cinta bernama hati kita.

Bagiakah Jim dengan hadiah rantai jam itu? Anda yang sudah pernah membaca ceritanya pasti tahu bagaimana O. Henry dengan amat ‘sadis’ mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Tak cukup meledakkan plot dengan memaparkan kisah bahwa Jim ternyata memberi hadiah jepit rambut pada Della istrinya, pengarang kita meninju kesadaran kita dengan satu ledakan lain yang lebih dahsyat. Jepit rambut itu, dibeli oleh Jim, dengan uang hasil penjualan jam antik yang sangat ia banggakan itu. O, ya. Cerpen yang saya kisahkan ulang tadi judulnya 'Hadiah Kejutan'.  Saya membaca versi terjemahannya, buku berjudul "Cinta Yang Hilang", diterbitkan oleh Penerbit Serambi.
 
“Jangan bermimpi jadi cerpenis kalau belum membaca O. Henry,” kata saya di twitter, sambil mencolek Eka Kurniawan, pengarang yang oleh banyak kalangan disebut sebagai penerus Pramudya Ananta Toer.  Eka – yang novelnya Cantik Itu Luka sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa itu menjawab, “kalau boleh menambahkan, baca juga (Anton) Chekov dan (Guy de) Mapaussant.” 

Saya setuju!  O. Henry (1862-1910), di kalangan sastrawan dunia dikenal dengan sebutan Mapaussant (sastrawan Prancis yang disepakati sebagai perintis genre cerita pendek modern) yang lahir di Amerika. []