Wednesday, February 1, 2012

[Kolom] Yang Terbang dengan Sayap Kepercayaan

SAYA membaca buku Stephen M.R. Covey alias Stephen Covey Jr.  di kursi  27 E Garuda dalam penerbangan nomor GA 151 dari Batam ke Jakarta, Minggu lalu, diiringi lamat-lamat irama lagu-lagu nusantara gubahan Addie M.S. Buku yang sudah diterjemahkan dalam 22 bahasa itu  judulnya  “The Speed of Trust”, adalah buku yang ikut andil menyelamatkan Garuda!

Pada kurun waktu 1995-2005, maskapai penerbangan plat merah itu sama sekali tak punya marwah.  Prestasi keuangannya buruk. Selama dekade itu hanya tiga tahun mencatat laba. Selebihnya tekor. Padahal BUMN penerbangan ini dimanjakan oleh berbagai peraturan pemerintah, misalnya, hanya merekalah yang boleh mengoperasikan pesawat jet. Tapi, reputasinya awut-awutan.  Konsumen menjauh karena pelayanan buruk. Jadwal penerbangan sering telat tanpa pemberitahuan. Intinya adalah: Garuda salah urus dan kehilangan kepercayaan.

 
Ketika ditunjuk menjadi Dirut Garuda pada tahun 2005, Emirsyah Satar pada awalnya menolak. Tapi, Rayuan maut Robby Djohan tak bisa ia tolak. Apa yang dilakukan oleh pria kelahiran Jakarta ini? Ia membeli 200 buku “The Speed of Trust” lalu membagikannya kepada seluruh direksi hingga ke vice president.

Emirsyah – kawan seangkatan Barack Obama di SD Menteng itu -  tahu persis, masalah besar di jajaran manajeman Garuda saat itu adalah krisis kepercayaan. Semua pihak saling mencurigai. Maka berteriaklah Emirsyah! Garuda, ujarnya, tak akan pernah maju kalau orang-orangnya sibuk saling berprasangka. Ketika masalah pokok itu diatasi, maka sisanya adalah catatan prestasi. Sebagaimana burung yang gagah, prestasi  Garuda membubung tinggi. Prestasinya moncer. Sebuah lembaga pemeringkat mutu layanan maskapai penerbangan bergengsi di dunia member ganjaran bintang empat.  Pada tahun 2011 lalu, Garuda membukukan pendapatan Rp25,5 triliun, dengan laba bersih Rp627 miliar. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa memimpin perusahaan dengan laba sebesar itu.

*

Bagaimana Covey Jr. mengulas “trust” atau “kepercayaan” dalam bukunya itu? Inilah hal yang mampu mengubah segalanya, katanya.  Dan ini berlaku sama bagi siapa saja, tim mana saja, organisasi apa saja, bangsa yang mana saja.  Seandainya “kepercayaan” itu hilang, maka apapun yang telah dibangun akan hancur dan runtuh.

“Kepercayaan adalah bagian penting yang membuat pasar bekerja dan dunia berputar,” kata putra dari Stephen Covey penulis buku “7 Habits of Highly Effective People” dalam satu wawancara di majalah Fortune edisi Indonesia.  Covey Jr. menjadi sosok sehebat ayahnya, antara lain juga berkat ia dibesarkan dengan kepercayaan ayahnya.

Inilah yang dengan mudah kita lihat telah dan sedang terjadi di Indonesia.  Bangsa ini terus memelihara kecurigaan. Sulit sekali membangun rasa saling percaya. Orang kaya curiga kepada orang miskin. Orang miskin marah pada yang kaya. Partai melupakan pendukungnya. Rakyat kecewa pada pemerintah. Pemerintah menulikan kuping dari kritik rakyat. Wakil Rakyat yang terhormat berperilaku yang justru menginjak-injak kehormatannya sendiri.  Apa yang dalam garis besar kita sebutkan di atas itu akhirnya mengarah pada satu hal: tidak ada kepercayaan. Itu sebabnya bangsa kita lambat keluar dari masalah-masalah kita.

Bagaimana membangun kepercayaan di tengah kecurigaan yang masih pekat ini? “Caranya sederhana tapi tidak mudah,” kata Covey Jr, “mulailah dari diri kita sendiri.” Ya, Anda betul, Tuan, itu sederhana tapi memang sulit.  Mulailah untuk percaya, maka itu adalah awal kontribusi kita memulai siklus kepercayaan, sebab kepercayaan itu memang timbale balik.

“Ketika kita percaya orang lain, mereka cenderung mempercayai kita pula,” kata Covey Jr.,  “Apa yang dibutuhkan adalah pertama orang, pemimpin dan organisasi yang tahu bagaimana menginspirasi kepercayaan.”

Kedua, bagaimana memperluas kepercayaan dengan cara cerdas di lingkungan yang rendah kepercayaannya. Jika orang lain dapat menerima, maka kita bisa mulai membuat lingkaran kepercayaan, lalu meluaskan lingkaran itu.  “Tapi kita harus cerdas. Para pemimpin terbaik tahu bagaimana tingkat kepercayaan di lingkungannya, dan kapan harus menaruh kepercayaan dan kapan tidak. Dan kita perlu belajar dari mereka,” kata Covey Jr.

Dalam kurun waktu pengalaman saya memimpin organisasi redaksi dan bisnis surat kabar, yang masih seumur semaian jagung, saya membuktikan apa yang dijelaskan oleh Covey Jr.  Satu-satunya alasan yang  bagi saya sendiri bisa menjelaskan kenapa saya diberi amanah untuk memimpin adalah “Kepercayaan”. Si pemberi kepercayaan, percaya saya akan mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan.  Dan itulah yang saya jaga.  Saya harus siap kapan saja kepercayaan itu diambil dari pundak saya.  Tentu saya tahu bahwa ada orang lain juga mencurigai saya, artinya tidak menaruh percaya pada saya.  Sepanjang saya bisa membuktikan – cepat atau lambat - bahwa kecurigaan itu tak berdasar, saya tak peduli.

Saya ingat, ketika SMA kelas satu saya sudah mulai bekerja. Almarhum Ibu saya  waktu itu gembira dan sekaligus cemas. Anak SMA yang bekerja, begitu beliau dengar dari orang,  sudah tahu rasa uang, maka biasanya akan anjlok prestasi akademiknya.  

Saya yakinkan Ibu saya, “kalau nanti nilai-nilai di rapot saya jelek, saya akan berhenti bekerja! Lagi pula uang honor dari kerja saya saya belikan buku dan majalah, tidak saya gunakan untuk hal-hal lain yang tak benar.” 

Saya bisa bertanggung-jawab pada janji itu, dan sejak itu Ibu saya percaya. Kepercayaan itulah yang rasanya memuluskan banyak hal-hal dalam hidup saya berikutnya.

Dalam skala yang amat kecil, saya meneladani Rasulullah. Dua dari tiga sifat seorang Rasulullah adalah “Benar” dan “Terpercaya”.  Keduanya berkaitan sangat erat.  Jika seorang tidak benar dalam berkata-kata dan berperilaku tak mungkin dia dipercaya oleh orang lain. Kita tak akan pernah percaya pada seorang pendusta, bukan?

*
 Covey Jr. menguraikan dalam bukunya bagaimana kepercayaan itu memuat siklus, membesar, sebagaimana ia sebutkan dalam wawancaranya, dan di dalam bukunya ia sebutkan hal itu sebagai metafora “efek berantai”.  “Kuncinya adalah memahami dan belajar bernavigasi dalam apa yang saya sebut sebagai 5 Gelombang Kepercayaan,” katanya.

GELOMBANG PERTAMA:  Kepercayaan Diri.  Ya. Segalanya harus dimulai dari dalam diri sendiri, dimulai dengan mempercayai diri sendiri. Kita percaya bahwa kita mampu menetapkan dan mencapai sasaran, menjaga komitmen, dan yakin bahwa kita mampu menginspirasikan kepercayaan kepada orang lain. Yang terakhir ini penting.  Dalam bahasa Dahlan Iskan, dia tak percaya  pada orang yang “ingin masuk surga sendirian.”

GELOMBANG KEDUA: Kepercayaan dalam Hubungan. Setelah selesai dengan percaya pada diri sendiri, apakah dengan serta-merta orang lain percaya? Tidak! Maka kita harus membuka “rekening kepercayaan” kita pada orang lain, lalu dengan pasti kita memperbesar isi rekening itu. Sebagai mana rekening bank, ini bisa terkuras habis, kalau kita tak cermat membelanjakannya, curang, atau culas.

GELOMBANG KETIGA: Kepercayaan dalam Organisasi. Setelah hubungan antarorang, maka kepercayaan itu harus terbangun di dalam sebuah organisasi, apapun bentuknya, sekecil apapun ukurannya, sependek apapun rentang waktu kerjanya.  Nabi membangun kepercayaan itu pada sebuah umat besar dalam kurun waktu hingga akhir zaman.   Seorang manajer menjaga kepercayaan sepanjang dia masih dipercaya hingga dipromosi (jika rekeningnya meningkat) atau dipecat (jika rekeningnya terkuras habis).

GELOMBANG KEEMPAT:  Kepercayaan Pasar. Dengan satu kata, Covey Jr memadankan tingkat ini sebagai: Reputasi. Contoh paling mudah tentu saja perusahaan barang konsumsi. Apapun jenis barangnya, tanpa kepercayaan pasar, konsumen akan meninggalkannya. Garuda pernah mengalami itu. Ketika jadwal penerbangan tak tentu arah, penumpangpun berpindah ke maskapai lain.

GELOMBANG KELIMA: Kepercayaan Masyarakat. Apa beda pasar “konsumen” dengan masyarakat? Pada akhirnya sebuah bisnis harus mengembalikan apa yang ia peroleh – setelah memberikan kewajibannya pada mereka yang sudah berkontribusi pada bisnis tersebut – kepada masyarakat luas. Siapapun masyarakat itu, yang tentu tak semuanya adalah konsumen pemakai produknya. Dengan cara itu justru kepercayaan akan semakin besar isi rekeningnya.

Seperti Garuda, dengan lima gelombang, kita bisa menumbuhkan sayap kepercayaan di diri kita, lalu terbanglah tinggi dengan sayap kita itu.[]