Tuesday, February 14, 2012

Ayu Utami: Saya Akan Terus Menggugat

Sampul Muka
AYU  Utami menerbitkan karya barunya 'Cerita Cinta Enrico" (KPG, Februari 2012). Ini adalah karya sastranya ke sekian setelah "Saman", "Larung", "Bilangan Fu", "Manjali dan Cakrabirawa", serta satu kumpulan esai "Parasit Lajang". Ayu bukan penulis yang amat produktif, tapi ia ketat menjaga mutu sastra karya-karyanya. Beberapa bukunya sangat laris dan diterjemahkan ke bahasa asing. Bagaimana dia mempertahankan etos kepenulisannya? Saya mewawancarainya untuk blog ini. Berikut hasil tanya jawab dengan penulis yang menggambar sendiri ilustrasi untuk sampul buku terbarunya itu.

HASAN ASPAHANI (HA): Saya lihat, ada hal yang terus Anda lawan dan gugat dalam dan dengan karya-karya Anda: lembaga agama yang kaku, institusi negara yang tak beres, militer yang tak manusiawi, bangunan kultural kita yang tak adil menempatkan wanita dan laki-laki. Sampai kapan anda menggugat dan melawan itu? Merasa lelahkah Anda?
AYU UTAMI (AU): Sampai kapan? Sampai hal-hal itu tidak sewenang-wenang lagi. Jadi, mungkin saya akan terus menggugat sampai akhir hayat. Sebagai manusia, saya kadang lelah, tetapi juga selalu mendapat tenaga baru. Tenaga itu saya dapat dari teman-teman seperjuangan, juga dari harapan bahwa hari
esok harus lebih baik. Sebetulnya, selain mengguggat, ada tiga hal yang tanpa saya sadari di awal selalu muncul dalam tulisan saya: Tuhan, seks, dan irasionalitas. Ini bukan gugatan, tetapi tampaknya tiga hal yang menakjubkan dan menggelisahkan saya karena tidak bisa dijelaskan oleh logika. Baru belakangan saya sadar bahwa ketiganya selalu muncul.

Ayu Utami (Foto dari Toak)




HA: Ketika menulis karya Anda, siapa mereka yang Anda bayangkan membaca karya-karya Anda? Atau Anda tidak peduli?
AU: Pada saat menulis Saman, yang saya bayangkan akan membaca adalah teman-teman dekat sendiri. Setelah itu, saya tidak terlalu peduli betul. Pembaca bisa siapa saja. Tetapi saya juga menimbang kapasitas
pembaca. Misalnya, saya tahu pembaca itu ada kelas kekuatannya seperti olahragawan. Ada orang yang kelas lari marathon, ada yang kelas lari 10km, ada yang cuma 1km itu pun sambil jalan dan tersengal-sengal. Pembaca juga seperti pencicip makanan. Ada yang, seperti anak-anak, sukanya yang gurih dan manis. Ada yang bisa mengapresiasi rasa pahit, asam, dan serat keras seperti daun pepaya. Buku saya berbeda-beda kelas dan jenisnya. Parasit Lajang, misalnya, buat kelas ringan dan manis. Saman dan Manjali, manis. Larung, gelap Bilangan Fu buat kelas berat dan pahit-sepat. Saya ingin pembaca ringan suatu saat bisa naik kelas. Tapi kalau tidak bisa, ya tidak apa.


HA Saya kira Anda adalah paduan bakat yg besar, kerja keras, dan lingkungan yang mendukung. Setelah melahirkan sejumlah karya hebat, apa tantangan Anda menulis saat ini? Apa kesulitan-kesulitan Anda untuk terus berkarya?
AU: Saya merasa kurang waktu untuk menulis. Sebab, saya tidak boleh mengandalkan uang dapur dari novel. Itu berbahaya. Meskipun beberapa buku saya bestseller, saya tetap tidak boleh mengandalkan ekonomi dasar dari sana. Menjadikan novel sumber penghasilan utama akan membuat saya kehilangan kebebasan dalam menulis. Nanti saya hanya berusaha agar buku saya laku, sehingga kompromi dengan selera pasar. Saya ingin jujur dengan pencarian estetik saya. Kejujuran itu ada harganyaa. Jadi, saya harus punya pekerjaan lain untuk mendukung karya saya. Nah, kadang-kadang pekerjaan itu mengurangi waktu berkarya. Kadang, saya juga suka ragu, untuk apa sebetulnya saya menulis. Apalagi ada ribuan judul buku setiap bulan. Tapi, setiap kali keraguan dan rasa sia-sia itu muncul, saya bilang pada diri sendiri:
setidaknya, saya mencoba menulis sebaik mungkin untuk mematok standar kesusastraan Indonesia.


HA: Setahu saya Anda pernah jadi wartawan. Seberapa membantu pengalaman itu dalam kerja Anda sebagai penulis fiksi?
AU: Sangat membantu. Dunia pers mengajari saya disiplin dengan tengat waktu. Dunia pers juga melatih saya melakukan riset dan wawancara--yang sangat penting dalam novel-novel saya.

HA: Seberapa besar karya-karya Anda mengubah diri Anda? Mengubah hidup Anda?
AU: Setelah melihat kembali wawancara-wawancara saya sejak Saman, rupanya memang satu hal yang betul-betul saya inginkan dalam hidup ini: saya ingin jujur. Saya ingin bisa mengemukakan pertanyaan dengan jujur. Tentang apapun. Termasuk tentang Tuhan, agama, lelaki-perempuan, tanah air, orangtua, diri sendiri, apapun. Saya mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang final. Tapi setidaknya saya ingin mengajukan pertanyaan dengan jujur. Karya-karya saya, saya kira, adalah bagian penting dalam proses itu. Artinya, saya merasa proses penulisan itu sendiri mendewasakan saya, selain memberi saya sarana untuk mengajukan pertanyaan dengan jujur sekaligus estetik. Secara finansial, karya saya membantu saya untuk lebih bebas memilih jenis kehidupan saya. Relatif bebas dibanding kebanyakan orang. Saya bisa memilih pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu atau tenggelam dalam rutinitas. Saya bisa memilih untuk tidak semata-mata mencari uang.


HA: Saya yakin karya Anda tak akan lahir tanpa riset. Seberapa ketat Anda melakukan itu untuk karya-karya Anda. Taruh kata Enrico, seberapa lama karya itu ditulis? Berapa lama risetnya?


AU: Semua pakai riset. Sedikitnya wawancara dan riset pustaka. Jika mungkin dengan perjalanan. Masing-masing novel berbeda. Saman ditulis delapan bulan, sambil riset pustaka. Larung tiga tahun, dengan perjalanan juga. Bilangan Fu, dengan riset, perjalanan, dan perombakan cara penulisan berulang-kali, makan waktu empat setengah tahun. Cerita Cinta Enrico hanya saya tulis dalam dua setengah bulan--karena itu kisah nyata yang sudah saya hafal sebagai fragmen-fragmen selama sebelas tahun mengenal Enrico. Tinggal memaknai ulang dan memberi tulang-punggung pada fragmen-fragmen itu. Saya senang novel itu karena Enrico sendiri surprise dan melihat kembali hidupnya dengan kacamata makna yang baru.


HA: Terakhir, soal remeh-temeh, sebagai penulis, Anda punya kebiasaan khusus ketika menulis? Waktu khusus? Suasana khusus?
AU: Jika tidak ada kegiatan lain, saya menulis sepanjang hari. Jika harus rapat dan lain-lain, saya biasanya menulis pagi hari (sekitar jam 6 sd 9), lalu ke kantor atau lainnya, dan menulis lagi sepulang dari urusan itu sampai kira-kira tengah malam. Saya tidak suka begadang, karena saya butuh tidur cukup untuk punya energi. Saya tidak bisa menulis dengan iringan musik. Saya sangat peka dengan musik dan tidak bisa mengabaikannya. Jadi, musik akan mengganggu mood saya. (Jika sedang lari pun saya tidak suka ada musik, sebab musik akan mengubah denyut jantung saya). Saya senang musik tapi mendengarkannya dalam waktu khusus atau sambil menyetir mobil. Setelah beberapa hari menulis terus biasanya saya merasa energi habis. Saya butuh olahraga untuk mengembalikan energi. Olahraga saya minimal lari dua atau tiga kali seminggu. Olahraga membersihkan mood jelek dan memberi tenaga positif. Hal lain yang sangat penting. Untuk menulis saya harus banyak membaca. Anehnya, saya suka membaca sambil berlatih musik. Sekarang saya sedang belajar musik India.***