Thursday, May 21, 2009

Aku dan Sapardi (3) --- Anak-anak dan Pertapa

DIA menulis sebuah catatan pendek untuk buku puisinya Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Indonesiatera, 2002). Dia bilang, “Tiba-tiba saja malam ini saya merasa buku kumpulan sajak ini, yang semuanya ditulis tahun 2001, adalah yang terakhir”.


Ia merasa cengeng karena perasaan itu, ia seperti merasa setelah itu tidak perlu menulis puisi lagi. Tapi, buru-buru ia menolak. “Moga-moga keduanya tidak,” katanya.

Nyatanya memang tidak. Tahun ini Sapardi Djoko Damono, penyair kita itu, menerbitkan buku puisi terbarunya. Sudah dipastikan judulnya adalah Kolam. Apakah memang ada yang “perlu” ia tuliskan sehingga ia masih menulis puisi? Setelah hampir tujuh tahun yang lalu ia pernah merasa telah menerbitkan buku puisi terakhirnya? Kita tunggu saja buku itu. Sementara itu mari kita telusuri jejak buku-buku puisinya agar dapat memungut apa-apa yang bisa kita pelajari darinya dan padanya.

Secara umum kita bisa melihat sajak-sajak Sapardi sebagai kesetiaan pada dua kutub sikap menyairnya yaitu tidak ingin menjadi nabi (yang dengan sadar bersabda di depan ‘umat’, mengatakan sesuatu yang mengandung kebenaran dan itu mesti ditaati ) dan di kutub lain menolak untuk tetap menjadi kanak-kanak (yang kata-katanya tak masuk akal, tak dimengerti, tapi ingin dimaklumi dan diterima sebagai permainan saja dan karena itu ia berharap untuk tidak diganggu).

Sikap itu ada ia dijelaskan dalam esai yang baik, juga ia isyaratkan lewat dua sajak terakhir dalam buku Perahu Kertas:

1. di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. / “Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.” ("Di Tangan Anak-anak")

2. … kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna – masih beranikah kau menyapaku, Saudara? ("Pertapa")

Ia ingin dimaklumi, bahwa penyair – seperti anak-anak - boleh saja mengatakan yang di luar keumuman logika, tetapi dia tidak ingin kepenyairannya itu menjadikan dia seperti pertama yang terasing ‘dililit akar’, meski dengan begitu dia sadar telah mencapai makna. Tetapi (lagi) dia takut ‘kepertapaan’ atau ‘kenabian’ itu membuat orang tak berani menyapanya.(bersambung)