Wednesday, May 20, 2009

Aku dan Sapardi (1) -- Sebuah Pertemuan

CATATAN: Selalu ada hal-hal yang pertama yang terjadi pada kita, bukan? Tidak semuanya penting, tapi mungkin ada juga harganya. Tidak semuanya menarik, tapi mungkin perlu juga untuk diceritakan. Perkenankan saya bercerita tentang dia: Sapardi Djoko Damono.

BEGITULAH akhirnya pertemuanku dengan dia. Kedai Salihara, Senin (18/5) malam. Dia duduk di kursi menghadap ke jalan. Dari belakang aku mengenali dia dari topi petnya, yang belakangan --- aku lihat di foto-foto terbarunya --- sering dia pakai. Aku mendekat. Sedikit grogi. Aku lihat dia sedang menyeruput sup jagung. Ada segelas tinggi jus tomat di samping mangkok supnya.


"Pak Sapardi?" Saya ulurkan tangan. Dia menoleh padaku, dengan gerakan yang tak tangkas. Mulutnya terus mengunyah. Lahap sekali makannya. Aku langsung memperhatikan alis matanya yang lebat dan telah memutih. Seperti awan, hal yang kerap ia sajakkan. Aku segera saja sudah ada di sampingnya duduk di kursi panjang - kursi yang sama ia duduki. "Saya Hasan Aspahani, Pak..."

Dia sambut jabatan tanganku. "Oh, ya, Hasan. Makan yuk. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Pak. Silakan, dilanjutkan. Saya nanti yang membahas buku Pak Sapardi," saya berbasa-basi. Ini semacam minta izin padanya. Dia pasti sudah tahu. Buku yang dikirim panitia pada saya dimintakan langsung dari dia. Ada otograf dia dan nama saya dia tuliskan di buku itu.

"Ya. Ya..."

"Sudah baca makalahnya, Pak?"

"Belum..." Ah, entah kenapa, saya agak lega.

"Pak Sapardi sering ke sini (Salihara), Pak?"

"Gak. Ini pertama kali saya ke sini."

***

Balikpapan, 1988. Di sebuah toko buku yang sering saya kunjungi. Saya melihat buku itu terselip di rak sastra. DukaMu Abadi. Sapardi Djoko Damono. Namanya sudah sering saya baca di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tak berpikir dua kali. Buku itu saya bawa ke kasir. Harga Rp800 saya bayar. Kali ini saya tidak mencuri. Dia toko buku yang sama saya pernah mengambil buku Pamusuk Eneste, tanpa singgah di kasir. Tapi kali ini tidak. Biarlah arwah Chairil mengutuk!

Demi Sapardi! Sejak itu, saya tak pernah lepas dari buku puisi pertamanya, dan itu juga buku puisi pertama yang saya beli. Kepada teman-teman SMA saya waktu itu, saya selalu bilang bahwa sajak-sajak di buku itu adalah sajak yang bagus, tanpa saya sendiri bisa menjelaskan dimana kebagusannya.(bersambung)