Saturday, January 29, 2005

[Ruang Renung # 105] Jujur, Jelas, Jernih, Jenaka pun Bisa

Sajak Anwar JIMPE Rahman

PEREMPUAN DALAM HUJAN



- kepada Aslan Abidin



pukul delapan pagi yang hujan, dua perempuan

dari sajak-sajakmu cekikikan di bawah payung hitam

terbungkus daster tembus pandang

lalu hilang dalam hujan.

kubayangkan engkau tertawa terbatuk hingga terbungkuk

hilang di balik pintu kamar mandi. onani, barangkali.

tapi tidakkah engkau tahu, onani seperti sajak, tidaklah

menggemukkan?

perempuan dari sajakmu sudah kembali, menenteng

sekantong penganan untuk sarapan. sesampai di kamar

kontrakan, kantong plastik dicampak ke tong buangan.

kita yang dikutuk menjadi kecoak, menghambur saling tindih

demi ampas dan kerat yang kelak dirawat jadi sajak

engkau kecoak nanar yang mabuk sudut-sudut kamarku

sedang aku kecoak yang pening, mabuk apek dan pesing

bandar dan terminalmu

setelah berebut dan saling tindih

aku kembali ke sudut kamarku

engkau ke bandar dan terminalmu

sambil merawat sakit atau memelihara genit

karena hujan segera turun lagi.



[01.2005]


SAYA serta merta teringat motto sebuah majalah ketika membaca sajak ini. Apalagi ketika saya hendak membuat coret-coret lepas untuk puisi ini. Ya, saya kira ini sajak lahir karena ada kejujuran, imajinya jelas, diksinya jernih dan - sebagai bonus - ada kejenakaan dalam sajak ini. Karena itu saya suka.



JUJUR. Puisi yang baik, selalu saya lihat, lahir dari kejujuran penyairnya. Kejujuran untuk membuka sesuatu yang kalau tidak dipuisikan, sesuatu itu akan tetap terahasiakan dalam kenangan, hingga kelak direbut oleh lupa. Kejujuran dan kerendahan hati pula yang diperlukan untuk mengolah bahan di seputar kamar kontrakan, kecoak, apek, dan bau pesing. Kejujuran pula yang diperlukan untuk secara enteng menyamakan onani dan sajak.



JELAS. Sajak di atas tak memumetkan saya pada tahap pertama pembacaan saya. Saya gambar-gambar yang ditampilkan begitu jelas. Saya merasa ikut kedinginan karena hujan yang menjadi pengikat seluruh gambar dalam sajak ini dari awal hingga akhir. Hujan seperti menjadi bingkai. Dan saya jadi nyaman menonton gambar-gambar lain di dalam bingkai itu. Berulang-ulang.



JERNIH. Kejelasan imaji di atas, terbentuk karena kata-kata yang dipilih secara jernih. Tidak tumpang tindih. Tidak saling mengaburkan. Tidak saling berebut tempat. Saya keasyikan mengikuti aliran imajinasi dari kata-kata benda: Dua perempuan, payung hitam, daster tembus pandang, pintu kamar mandi, kamar kontrakan,sekantong penganan, ampas den kerat, kecoak, bandar dan terminal.



JENAKA. Saya sudah tersenyum sejak bertemu kejenakaan dalam "dua perempuan yang cekikian", dan terutama pada "onani dan sajak yang tidak menggemukkan", lalu "kita yang dikutuk jadi kecoak", dan terakhir senyum saya makin lebar pada "sambil merawat sakit atau memelihara genit".



JADI sajak ini sebenarnya bicara tentang apa? Dia bicara tentang banyak hal. Dia bisa disimpulkan bicara tentang apa saja. Mungkin tentang sebuah negeri dengan sistem yang tidak pernah adil. Mungkin tentang hubungan lelaki dan perempuan yang tak pernah bisa sepenuhnay dimengerti. Mungkin tentang kerasnya jalan hidup seorang lelaki. Mungkin tentang persahabatan yang hendak dijaga meskipun simpangan-simpangan yang dipilih justru menjauhkan jarak persahabatan.



JUGA, sebagaimana berita yang baik, dia harus memberi informasi dan pengalaman. Informasi dalam sajak, bukan seperti informasi dalam berita. Pengalamannya mungkin bisa sama. Dari sajak ini saya dapat keduanya. Informasi dan terutama pengalaman.