Monday, May 21, 2012

Ke Ruang Ganti Rossoneri dan Nerrazuri

Berkunjung ke Stadion San Siro, Milan, Italia.

Stadion yang jadi markas dua klub sekota AC Milan dan Inter Milan  dan yang menjadi saksi final Piala Dunia 1990 antara Jerman Barat dan Argentina ini, dibangun, dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota Milan.

Di Ruang Jumpa Pers AC Milan, Stadion San Siro, Milan, Italia.





Oleh Hasan Aspahani

"Tur berikutnya setengah jam lagi. Silakan melihat-lihat museum dulu," kata pemandu tur di Stadion San Siro, Milan, Italia. Dua pekan lalu saya berkunjung ke sana. Yang disebut museum adalah ruang-ruang yang memajang piala-piala kemenangan, foto-foto pemain legendaris, seragam klub, dan foto besar pendiri kedua klub.

Di tribun utama dengan latar belakangan tribun biru tempat khusus suporter Inter.


Sebuah stadion, seperti Stadion San Siro, adalah saksi dari perjalanan prestasi, persaingan, sportivitas, dan bukti betapa pemerintah sebuah kota bekerja untuk warga kotanya.  Pemerintah Kota Milan mulai membangun stadion ini pada tahun 1925, dan dibuka secara resmi pada 19 September 1926.

Sambil menelusuri museum, saya berpikir bagaimana sebuah kota bisa punya dua klub yang sama hebatnya, dan bermarkas di satu stadion yang sama? Sampai tahun 1908, di Milan hanya ada satu klub, cikal bakalnya Associazione Calcio Milan Italia yang kini terkenal sebagai AC Milan. Klub ini berdiri pada 16 Desember1899 dan hanya dua bulan setelah berdiri meraih gelar pertamanya.

Nama Milan adalah ejaan Inggris. Kenapa tidak pakai Milano? Ini adalah penghormatan untuk Alfred Edward, seorang ekspatriat Inggris yang mendirikan klub tersebut. 

Lalu sekelompok pembangkang keluar, dan mendirikan Inter Milan, pada 9 Maret 1908. Nama lengkap klub ini adalah Football Club Internazionale Milano.  Inter bisa disebut sebagai AC Milan perjuangan. Pada saat-saat Inter berdiri, Milan punya kebijakan tak memakai pemain asing. Dari situlah nama Internazionale dipakai oleh Inter Milan.

Pemerintah Kota Milan akhirnya sekarang memetik apa yang mereka tanam. Kini tur ke Stadion San Siro boleh dibilang menjadi agenda wajib turis yang datang ke Italia, khususnya Milan.  Ongkos tiket masuk untuk tur kira-kira setengah jam adalah 11 Euro.

Bersamaan dengan kami, ada lima kelompok turis lain yang datang silih berganti. Ada tiga pemandu yang bergantian membawa pengunjung masuk, melintas tribun utama, lalu ke ruang ganti masing-masing klub, ruang jumpa pers dengan latar belakang logo-logo sponsor klub, dan berakhir ke ruang VVIP, yang bila pertandingan berlangsung hanya ditempati oleh kerabat dekat pemain dan petinggi klub.  Dan tak lengkap kunjungan ke Stadion San Siro jika tak berbelanja membeli pernak-pernik klub asli di  San Siro Store.

Di ruang ganti AC Milan. Pemandu tur (polo hitam) sedang beraksi.

"Ini kursi khusus untuk David Beckham, ketika dia masih bermain di sini," kata pemandu kami, seorang lelaki muda Italia dengan wajah bercambang yang amat layak jadi aktor. 

Ruang ganti AC Milan dan Inter berbeda bak langit dan bumi. Inter hanya berupa bangku panjang putih yang menyatu ke dinding ruangan. Siapa saja boleh duduk di mana saja.  Ruangan didominasi warna biru, khas Inter. "Inter ingin membangun kebersamaan tim sejak dari ruang ganti ini," kata pemandu tur kami.

Sementara di ruang ganti AC Milan, setiap pemain dapat kursi empuk dan khusus. Di atas setiap kursi ada monitor yang menayangkan nama dan nomor pemain. Misalnya kursi untuk Beckam tadi, ada di urutan nomor tiga dari kiri pintu masuk. Di tengah ruang ganti meja bulat yang merupakan lambang klub. Di langit-langit tepat di atas meja itu juga terpampang lambang yang sama. Warna merah menyala membuat suasana ruang ganti terasa mewah, gagah.

Dari tribun utama, tepat di seberang, adalah kursi untuk penonton netral. Kursi khusus suporter Milan ada di kanan, dan Inter di kiri. Warna kursi sesuai dengan warna klub, merah dan biru.  Inilah stadion dengan kapasitas 80 ribu penonton lebih.

"Rumput di tengah itu asli. Yang di sekeliling lapangan rumput sintesis," kata pemandu tur kami. Saya memandangi lapangan yang bersih terawat, padahal putaran Lega Calcio baru saja tuntas.  Di situlah, beberapa hari sebelumnya, Inter yang kala itu menjadi tuan rumah menjamu Milan mengandaskan ambisi klub tamunya meraih scudetto yang akhirnya diraih oleh Juventus. Milan harus puas mengakhiri musim tahun ini sebagai runner-up. 

San Siro dibangun atas gagasan Pierro Pirelli, presiden AC Milan kala itu. Yang khas pada stadion ini adalah tak ada trek atletik, sebagaimana layaknya sarana olahraga yang dibangun dengan dana publik di Italia.  Pada dasarnya San Siro dianggap "milik" Milan. Inter hanya penyewa. Tapi sejak awal dibuka San Siro sudah jadi saksi rivalitas keras antara kedua klub. Pada pertandingan perdana antara Milan dan Inter, 39 ribu penonton jadi saksi bagaimana Milan jadi bulab-bulanan Inter dengan skor 6-3.

Perebutan pengaruh juga sampai ke soal nama. Pada tahun 1980, nama stadion ini secara resmi diganti menjadi  Stadio Guiseppe Meazza, sebagai penghargaan pada pemain besar itu yang berhasi membawa Italia dua kali juara dunia. Kebetulan Meazza adalah pemain Inter, pencetak gol terbanyak beberapa kali pada musimnya merumput, dan berkali-kali membawa klubnya menjadi juara. Nama itu tentu saja ditolak oleh suporter Milan, meskipun Meazza pernah juga merumput untuk klub itu.

Tur berawal dan berakhir di pintu masuk, melewati lorong yang sengaja dinding-dindingnya dipenuhi oleh grafiti. Ada tanda semacam kelompok seniman grafiti tertera pada setiap segmen gambar yang berbeda.

Saya bayangkan jika saya menjadi penonton yang datang untuk menyaksikan pertandingan penting di situ, saya akan tersemangati luar biasa oleh gambar-gambar liar dalam grafiti di dinding itu.

"Anda dukung siapa? Inter atau Milan?" tanya turis Belanda yang ikut tur bersamaan dengan kami. Ini pertanyaan berat. Mendukung satu klub atau tim satu negara seperti ideologi yang tak mudah berganti.  Seperti agama. Saya terus terang saja tak terlalu menggilai sepakbola. Dalam hal sepakbola saya atheis.  Tapi setelah tur itu saya mungkin punya alasan untuk  memilih dan mendukung salah satu klub tersebut. "Saya suka Inter," kata saya. Dan itu saya buktikan, ketika belanja di toko stadion saya membeli kaos bola asli Inter untuk anak saya Ikra.

Inter Milan, 23 Mei besok hingga tanggal 26 nanti akan menuntaskan kerinduan para fansnya yang jumlahnya diperkirakan 15 juta orang di Indonesia. Mereka mengelar serangkaian pertandingan eksebisi. Klub lagi-lagi dapat masukan penghasilan dari tur semacam ini.  Sungguh tak sia-sia, Pemerintah Kota Milan membangun stadion, sejak di perempat awal abad 20 lalu, bukan? ***