Wednesday, July 28, 2010

[KOLOM] “Saya Ikhlas Masuk Neraka,” kata Ciputra

Ir Ciputra

Dengan surga, Tuhan ingin memanjakan kita. Dengan dunia, Tuhan tak ingin kita malas.

DI Hotel Ciputra, Jakarta, pekan lalu, saya bertemu dengan Ciputra. Dia bicara di depan Forum Pemimpin Redaksi Grup Jawa Pos. Dia menghasut kami tentang entrepreunership, suatu kata yang ia rumuskan dengan sederhana sebagai upaya mengubah rongsokan menjadi emas.

 Saya menjadi pemandu diskusi dengannya, pagi itu. Pagi ketika, ia harus mengorbankan kebiasaannya, sehingga hari itu ia harus bangun pagi, agar tak terjebak macet dalam perjalanan dari rumahnya di Bukit Golf, Pondok Indah, menemui kami.

Di panggung rendah kami duduk berdua. Tapi, sofa empuk yang disediakan tak ia duduki. Terlalu rendah tampaknya. Ia tak nyaman duduk dengan menekuk lutut dalam sudut sempit. Ia minta kursi biasa yang lebih tinggi, dan duduk di sana, kakinya bisa selonjor.

“Saya ikhlas masuk neraka. Asal jangan disiksa. Kenapa? Karena banyak yang bisa saya kerjakan di sana,” kata Ciputra. Ini kalimat mengejutkan, secara khusus saya mencatat kalimat itu.



Apa arti kalimat itu? Bagi Ciputra, hidup adalah kerja keras. Ia pernah hidup amat kekurangan. Karena itu ia tak ingin bangsa ini miskin.

Selama dua tahun saat usia enam hingga delapan tahun, ia dititipkan pada tante-tantenya. Ia diperlakukan “kejam”. Ia harus membersihkan tempat ludah, dan mengerjakan hal-hal lain yang berat dan kotor.

Pada saat Ciputra berusia 12 tahun, ayahnya Tjie Siem Poe, ditangkap oleh tentara Jepang, tuduhannya: menjadi mata-mata Belanda, lalu wafat di dalam penjara di Manado. Hanya kabar kematiannya yang sampai, di mana jenazah itu dimakamkan tak pernah diketahui. Ingatan saat ayahnya melambai, dan tangisan ibunya, tak pernah terhapus dari benak Ciputra.

Tanpa kepala keluarga, keluarga itu menghadapi hidup berat. Mereka bertahan hidup dengan hasil dagang kue. Ciputra kecil, mengurus sapi piaraan, sebelum ke sekolah, jalan kaki 7 km. Toko kelontong yang jadi andalan hidup keluarga itu sudah ditutup paksa oleh Jepang, saat sang kepala keluarga diciduk.

Ciputra adalah optimisme. Ia – dengan bahasa sendiri – mengatakan, yakin bisa mengubah penderitaan menjadi kemakmuran. “Untuk menuju ke sana, saya menempuh perjalanan sulit: terjal, berbatu-batu, dan berduri,” katanya.

Ciputra yang akrab disapa dengan nama Pak Ci, lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan.

Setamat SMA, bungsu dari tiga saudara itu merantau ke Jawa. Ini adalah langkah besar yang mengubah kehidupannya. Dengan kerja keras ibunya, ia masuk Jurusan Arsitektur ITB, Bandung. Belum lulus, dia sudah buka biro konsultan arsitektur. Itu harus ia lakukan, karena itulah satu-satunya cara ia bertahan. Sejak tingkat dua, ibunya tak lagi kirim biaya kuliah.

Setelah lulus, ia hijrah ke Jakarta. Tahun itu, 1960, ia setengah menggelandang, bersama istrinya yang sudah ia kenal sejak SMA di Manado, dari losmen murah satu ke losmen lain.

Ciputra tidak mencari kerja. Ia bisa yakinkan Pemerintah DKI untuk membuka perusahaan daerah. Awalnya, PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang kini punya 20 anak perusahaan dan 14.000 karyawan itu, hanya diurus lima orang, termasuk Ciputra yang menjadi direktur, hingga kelak menjadi direktur utamanya. Inilah perusahaan yang berhasil mengubah daerah seram Ancol menjadi kawasan pelancongan kelas dunia.  Lalu, selebihnya adalah sejarah, Ciputra sukses mengembangkan tiga kelompok usaha besar.  

“Saya tak tahu di mana ijazah sarjana saya,” kata Pak Ci. Ia sendiri, menantang lulusan Universitas Ciputra – sekolah yang ia dirikan dan tahun ini akan meluluskan angkatan pertama – untuk melaminating saja ijazah sarjana, membingkainya lalu gantung di dinding. Tak usah dipakai untuk melamar kerja. Jadikan kenang-kenangan saja bahwa mereka pernah kuliah.

“Saya tantang mereka menjadi entrepreuneur,” kata Ciputra. Ini bukan tantangan kosong, sebab si penantang adalah orang yang 50 tahun yang lalu, telah melakukan hal yang sama.

Ada kisah lucu soal ijazah itu. Suatu hari Dian Sumeler, istrinya, menemukan ijazah itu dan mengingatkan Ciputra, betapa itu benar-benar tak pernah dipakai untuk mencari kerja. Bukan ijazah itu hal yang paling penting . “Hal terpenting yang saya dapat dari ITB adalah kreativitas,” katanya. Kreativitas di bidang arsitektur itulah yang melengkapi kemampuannya menjadi entrepreneur. Bukan ijazahnya.

Ciputra yakin, bangsa ini bisa diselamatkan dengan semangat entrepreunership. Ia kerap mengutip David McClelland, suatu yang ia yakini benar bahwa suatu bangsa akan makmur jika mempunyai entrepreneur sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduk. Indonesia? Sekarang hanya ada 400 ribu pengusaha yang bisa dikelaskan sebagai entrepreneur, hanya 0,18 persen. Harusnya kita punya 4 juta lebih! Sangat kurang.

Seperti sering diakuinya, ia tak pernah merasa sukses. Ia yakin, jika ia sudah merasa berhasil, maka kreativitas akan mandek. Itulah mungkin penjelasan dari kalimatnya soal surga dan neraka yang saya kutip di atas.

Jika surga ibarat kursi nyaman, duduk menikmati hasil, dan neraka adalah tantangan yang harus dijawab dengan kerja, Ciputra memilih neraka. “Asal jangan disiksa, dan banyak yang bisa saya kerjakan di sama,” kata kakek sembilan cucu itu.

Ya, bagi Ciputra kerja adalah kemuliaan. Bekerja baginya jauh lebih mulia daripada duduk menikmati kenyamanan.  "Bangkitkan kepercayaan. Tidak boleh larut dalam keputusasaan. Inilah pentingnya punya integritas, punya karakter, punya mental juara," kata Ciputra.

Dan etos kerja itu ia tularkan. Ia ajarkan, secara langsung, juga lewat sekolah dan universitas formal. “Kalian adalah cicit murid saya,” katanya.

Chairman Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan - orang yang dengan gagasannya dulu tentang jaringan koran lokal - memungkinkan kami, para pemimin redaksi Koran di grup ini berkumpul di Jakarta, di Hotel Ciputra, di hadapan Ciputra,  pernah berkata begini, “Etos kerja keras itu di Jawa Pos grup ditularkan oleh Eric Samola kepada saya. Pak Eric mendapatkannya dari Ciputra.”

“Kalian adalah entrepreneur. Orang-orang yang berpikir dengan entrepreneurship. Kalau tidak, tak mungkin jaringan koran ini jadi sebesar sekarang,” kata Pak Ci.

Dan itu adalah proses yang terus-menerus dan makan waktu. “Saya mendidik Eric selama sepuluh tahun. Dahlan dididik Eric juga sepuluh tahun,” katanya. []