Wednesday, December 10, 2008

Linda, Linda, Linda: Kau Tahu Siapa Juaranya?

(Tanggapan atas Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008)

Oleh Hasan Aspahani

PELAJARAN penting kartografi: dalam sebuah peta wajib ada tanda utara dan skala. Tanpa tanda arah utara, secarik peta tak ada gunanya, tak bisa menunjuk ke arah lain-lainnya. Tanpa skala, maka jarak tak tertebak.



Saya suka bilang, tulisan-tulisan akhir tahun tentang sastra, pada beberapa tahun belakangan yang saya ikuti seperti peta yang tak lengkap. Selalu begitu. Padahal, orang seperti saya amat memerlukan peta itu. Orang lain - di negeri sastra ini - mungkin saja tak peduli, tapi saya tidak. Bila peta yang saya dapatkan mengecewakan, maka saya pintar-pintar sendiri membuat peta sendiri. Tentu itu untuk perjalanan saya saja. Saya bukanlah seorang juru peta itu.

Bagaimana dengan tulisan Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008? Buat saya sama saja, peta itu tidak lengkap, skalanya terlalu kecil, bahkan ini kali sepertinya tanpa arah utara, terutama ketika ia membahas puisi - ini ranah yang paling menggairahkan saya. Saya tidak perlu minta maaf pada siapa-siapa bukan bila tak terlalu mengikuti perkembangan prosa.

Linda menulis begini: Bagaimana dengan puisi? Penyair Joko Pinurbo, dalam sebuah perbincangan kami, berujar bahwa masa depan puisi kita suram. Penyair bagai kehabisan ide kreatif. Pola berulang. Epigonisme masih terjadi.

Dari mana konteks ini dan hendak dibawa kemana? Kenapa Linda meminjam mulut Joko Pinurbo? Saya kira, sebagai pemeta dia kurang survei lapangan. Sebagai sarjana sastra mungkin dia sudah punya bekal peta dasar yang baik. Tapi, untuk menghasilkan sebuah peta baru yang lebih baik survei lapangan adalah mutlak. Sebab bentang alam itu dinamis. Ada lembah yang dikeruk, sungai yang berubah belokan, bukit yang runtuh, hutan yang jadi sawah, sawah jadi jalan tol, perumahan, pabrik. Dan semua perubahan itu harus dipetakan.

Saya meng-SMS Joko Pinurbo dan mengajak diskusi soal kesuraman itu. Dia bilang, konteks ucapannya itu adalah untuk sajak-sajak yang dia nilai sebagai juri Anugerah Pena Kencana. Bersama Linda, dan Sitok Srengenge, Joko Pinurbo tahun ini menjadi juri (lagi). Juri, katanya dan juga kata Sitok kesulitan mendapatkan 100 puisi terbaik sebagai mana ditargetkan panitia. "Mungkin hanya 66 sajak saja yang pantas hingga akhir penjurian," kata Joko Pinurbo.

Nah, kenapa Linda tidak memaparkan saja secara baik hasil penjurian itu? Kenapa dia mengutip Joko Pinurbo? Setujukah dia dengan Pinurbo? Lalu kenapa pula di akhir tulisannya ia bilang: kesusasteraan kita justru mengyisaratkan masa depan yang lebih baik, unik, segar dan bermutu? Saya sampai di sini mulai menyimpulkan peta Linda kehilangan arah utara.

Saya mencoba melupakan hal itu, dan ingin mendapatkan pelajaran dari hasil bacaannya atas Afrizal, satu dari empat nama yang ia bilang bersinar sepanjang tahun ini. Tentang sajak Afrizal Linda mengatakan: ... Dulu saya tak berminat pada sajak-sajaknya. Seperti ada lubang gelap di situ. Barangkali disengaja. Barangkali akibat kegagalan berbahasa.

Lantas dia bilang, "belum lama ini saya membaca buku puisinya, "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Lihat kalimat itu, "belum lama ini...." Dia surveyor yang sambil lalu rupanya. Jangan-jangan dia membaca Afrizal cuma karena dia menjadi juri Khatulistiwa Literary Award 2008 di tahap kedua. Artinya dia hanya membaca lima buku puisi yang masuk short list.

Bila di matanya tahun ini sajak Afrizal bersinar, dan dia bisa memahami (tidak lagi gelap, atau gagal berbahasa) maka Linda percaya bahwa itu bukan karena sajak-sajak Afrizal kini semakin mudah. "... tetapi karena pengalaman hidup saya kini berdekatan dengan sajak-sajak itu" Aha, Linda, Linda, Linda (Eros Chandra, saya pinjam plesetkan judul lagumu, ya), kenapa kekuatan struktur teks tidak menjadi faktor utama penilaianmu? Kenapa justru perubahan dalam dirimu yang menjadikan karya seorang penyair berubah menjadi bermutu?

Bila Linda membaca buku M Aan Mansyur "Aku Hendak Pindah Rumah" (maaf, ini bukan karena saya editornya) maka masihkah Linda bertahan pada empat nama itu? Aan, sayangnya tertahan di sepuluh besar, dan besar curiga saya Linda belum membaca buku itu. Padahal menurut saya dia amat berhasil menyederhanakan pengucapan seraya memerdalam pemaknaan. Ini kerja menyair yang luar biasa menurut saya, di tengah kecenderungan lama yang masih dilanjutkan banyak penyair yakni merumit-rumitkan pengucapan dan menggelapkan makna.

Atau sudahkah Linda membaca sajak-sajak TS Pinang? Beberapa sajaknya yang di Horison, Kompas, dan Jurnal Nasional (ah, semuanya ada di "tempat sampah" bernama situs www.titiknol.com, sebelum terbit di koran-koran itu) menunjukkan sebuah perkembangan baru: subyek sajak adalah kami - dua orang yang baru saja menikah - dan karena itu caranya merenungi dunia dan menghayati hidup menjadi amat unik.

Saya kira saya belum pernah melihat ada tendensi semacam itu di peta kepenyairan Indonesia sebelumnya. Hmm, jangan-jangan pengalaman hidup Linda belum mendekat ke sana. Entahlah. Jadi, (meminjam judul lagu Dee) tak seperti malaikat, Linda saya kira tidak tahu persis siapa juaranya. Maaf. Tentu saja, dia berhak menawarkan peta seperti itu. Dia juga bisa bilang, kertas gambar yang disediakan Kompas ya cuma sesobek itu. Dan, tak apalah kalau begitu, saya tidak bisa ambil manfaat banyak dari peta karyanya tersebut.

Permisi, saya ditunggu Chairil Anwar. Kami mau berpetualang lagi.[]