Wednesday, January 25, 2012

[ Kolom ] Siapa Bermimpi jadi Wartawan?


Saya menyimpan (dan berpikir untuk membingkai) iklan satu halaman dari koran Singapura The Straits Times.  Itu adalah iklan perekrutan wartawan dengan cara yang unik.  Siapa yang berminat  menjadi wartawan diundang untuk hadir dalam acara  'minum teh',  namanya: SPH 'Career in Journalism Tea Season".

SPH adalah nama ringkas grup penerbitan surat kabar tersebut, singkatan dari Singapore Press Holding.
Iklannya sangat menyita perhatian saya.  Selain ukurannya yang penuh sehalaman, teksnya juga menggugah: Who in the world dreams of being a journalist? Kalimat ini ditulis dengan font amat besar, dari rumpun font sherif, lebih dari 90 point, menyita lebih dari setengah halaman.  




Lalu pertanyaan itu dijawab dengan sebaris kalimat – dengan ukuran font lebih kecil - di bawahnya: Only someone from special breed.  Are you one of them? - Hanya seseorang dengan bakat khusus.  Apakah Anda salah seorang dari mereka yang berbakat itu?

SPH Career in Journalism Tea Season adalah acara tahunan yang digelar di SPH News Centre Auditorium, 100 Toa Payoh Nort Singapore 318994. Seperti dijelaskan dalam teks iklan itu:  Here's your opportunity to find out.  Come learn about a career in journalism, from the journalist themselves.

Di acara itu, para wartawan terbaik SPH - yang membawahi banyak media cetak (antara lain TST, Berita Harian, dan The New Paper) dan media elektronik - menjelaskan seperti apa berkarir di jurnalistik.  Dari situ anak-anak muda di Singapura bisa mengukur diri, layakkah mereka bermimpi menjadi wartawan.

*

Di Batam – sebagai mana gejala di negeri ini - sekarang, sulit sekali mencari wartawan baru.  Sekali buka lamaran, Batam Pos hanya bisa menjaring dua-tiga orang calon wartawan. Jika di antaranya satu orang yang bisa bertahan, itu sudah sangat bagus. Padahal kebutuhannya tiap angkatan bisa sampai enam orang.  Saya tak tahu apakah TST juga sedang kesulitan mencari  wartawan baru, dan apakah dengan cara seperti saya ceritakan di atas, mereka bisa mengatasi kesulitan mereka.

Di Indonesia, profesi wartawan memang sedang tidak terlalu diminati.  Rasanya, tak akan terjadi lagi sebuah media besar  merekrut karyawan baru dengan pelamar belasan ribu orang dan tesnya harus menyewa stadiun seperti terjadi beberapa tahun lalu.

Dalam rapat-rapat Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup saya mendengar keluhan yang sama dari para pemred di seluruh Indonesia, setidaknya dari media yang satu grup dengan Batam Pos.  Profesi atau pekerjaan lain – misalnya menjadi pegawai negeri – sekarang jauh lebih diburu.  Batam Pos  tahun lalu kehilangan tujuh orang wartawan, semuanya memilih jadi pegawai negeri.  

Adalah satu hal yang biasa saja, pada suatu masa, sebuah profesi menjadi sangat diminati. Pada masa lain profesi  itu redup pamornya. Ini persis seperti popularitas jurusan atau fakultas di perguruan tinggi.  Di IPB tempat saya kuliah, pada masa-masa saya dulu, Fakultas Teknologi Pertanian yang punya jurusan Teknologi Industri, Teknologi Pangan dan Gizi,  dan Mekanisasi Pertanian paling diminati. Maka, selepas masa setahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) – yang waktu itu kami belum punya jurusan – berebutlah kawan-kawan memilih Fakultas tersebut. Terkumpullah mahasiswa dengan nilai-nilai terbaik di situ. Saya tentu saja harus tahu diri.

Saya memilih Fakultas Pertanian Jurusan Tanah.  Ini pilihan ideologis dan filosofis.  Serius. Filosofis karena saya saat itu, bahkan sampai hari ini masih  berpikir seperti  - eh tepatnya sebagai - seorang petani.  Apa itu? Mencintai bumi, akrab dengan alam, dan menghayati proses apapun sebagai sebuah “pertanian” – memilih benih yang baik, mengolah tanah dengan cukup, menyemai, menanam, merawat, menyiang gulma, menjaga dari hama dan penyakit, dan jika semua itu dilakukan dengan baik barulah bisa mendapatkan panen yang pantas. Semua proses itu harus melewati satu kurun waktu. Ada tanaman tertentu yang bahkan hanya akan tumbuh dan berbuah pada musim tertentu.   Saya percaya, tidak ada proses yang serta-merta.

Pada saat itu, Jurusan Tanah bukanlah jurusan favorit.  Masa jayanya sudah lewat. Jurusan kami pernah sangat berjaya ketika proyek-proyek transmigrasi dengan gencar-gencarnya digalakkan di negeri ini. Pada saat itu, mahasiswa bisa kaya mendadak, soalnya kerap diajak survei lokasi  transmigrasi.  

Pada masa lain, di kampus kami juga pernah sedemikian diminatinya Fakultas Kehutanan. Kala itu, perusahaan-perusahaan swasta sedang sangat gencar membuka hutan tanaman industri. Sektor kehutanan sedang naik daun, sebelum akhirnya sekarang juga redup, karena terbukti banyak pengusaha masuk ke bisnis kehutanan hanya akal-akalan untuk mengemplang kredit berbunga rendah bernama Dana Reboisasi – yang kemudian diputihkan.

*

Jadi memang sangat biasa, sebuah profesi, di satu bidang, bisa sangat diminati dan bergengsi pada suatu saat, tapi di saat lain meredup dan tidak dilirik lagi oleh para pencari kerja.  Apakah industri media sedang redup? Oh, sama sekali tidak. Media cetak akan bertahan, dan sebagian menyesuaikan dengan kebiasaan baru konsumen menyantap media lewat perangkat digital.  Apapun medianya, pekerjanya tetaplah wartawan.  Dan menjadi wartawan memang bukan pekerjaan musiman. Ini semacam panggilan jiwa.

 Menjadi orang media memang sempat menjadi pilihan banyak orang ketika keran kebebasan pers terbuka lebar, dan investasi di bidang ini jor-joran. Kebutuhan pekerja media melonjak.  Tapi,  tak semua media itu kemudian tumbuh menjadi lembaga bisnis yang sehat, juga tak menjadi institusi pers yang baik.  Pun  karena seleksi oleh berbagai hal, akhirnya tak semua pekerja pers  harus selamanya berada di sebuah media. 

*

Bagi saya, menjadi wartawan adalah mimpi, dan profesi inipun kemudian satu per satu mewujudkan mimpi-mimpi saya yang lain. Salah satunya adalah bertemu dan mengobrol akrab dengan Lilo KLa.  Bagi sebagian orang mungkin ini katrok, tapi saya memang katrok alias norak: mimpi kok ketemu musisi pop?  Izinkan saya menjelaskan kenorakan ini.  Lilo alias Romulo Radjadin, bersama tiga sahabatnya – Katon Bagaskara, Adi Adrian dan Ari Burhani (Ah, saya masih hafal nama-nama mereka) - adalah idola kami waktu SMA dulu.  Di tahun-tahun awal SMA kami, mereka merilis album pertama: KLa.

“Tahu gak artinya gambar ini? Ini kan radio lama yang dibanting. Itu artinya kami ingin membuang pengaruh musik lama yang jelek, dan kami membawa musik baru yang lebih baik dan lebih segar,” kata Lilo menjelaskan arti desain sampul kaset KLa yang saya sorongkan padanya untuk ditanda-tangani, pada suatu sore di sebuah hotel, menjelang KLa naik panggung pada malam harinya.  

Saya bilang, dengan tanda tangan itu maka saya menjadi KLanis “bersertifikat”.  Sampul kaset itu adalah kaset yang dulu saya beli saat SMA, 23 tahun sebelum ditandatangani oleh salah satu personel  KLa.  Bukankah ini mimpi yang jadi nyata?  Saya berbincang dengan Lilo bak sahabat lama. Kami kadang menyanyikan potongan lagu-lagu KLa bersama, dan perbincangan itu berlangsung sepanjang satu cerutu.   Lilo sambil saya temani, ia menikmati sebatang cerutu yang katanya harganya Rp250 ribu.  Ketika saya rasa sudah cukup banyak menyita waktu istirahatnya, dia malah menahan saya untuk tidak pergi karena cerutunya masih 2/5 batang. “Ini harganya masih Rp100 ribu,” katanya sambil tertawa.  Di daftar nomor telepon di ponsel saya sekarang tertera nama Lilo KLa, dan sesekali saya mengirim pesan pendek padanya. Bukankah ini sebuah mimpi yang jadi nyata?  Makanya,  wahai anak muda, jadilah wartawan,  buktikan bahwa  Anda adalah  someone from special breed, dan wujudkanlah mimpi-mimpi mu dengan menjadi wartawan. ***