Wednesday, January 18, 2012

[Kolom] Kata itu adalah “Genshai”

TIAP awal tahun, saya memilih sejumlah buku yang akan menemani saya sepanjang tahun.  Tahun 2012 ini koleksi saya dimulai dengan dua buku hadiah dari Walikota Batam Ahmad Dahlan.  Beliau mengirimi saya Karya Agung Tun Seri Lanang “Sulalat Al-Salatin”. Ini kitab klasik berisi sejarah Melayu. Ini sepertinya sudah menjadi kitab yang sacral.  Saya gemetar ketika membuka halaman-halamannya.  Buku kedua adalah biografi Steve Jobs. Aduh, beliau seperti dapat bocoran daftar judul buku yang ingin saya beli.



Saya tidak (atau belum) hendak bercerita tentang kedua buku tersebut.  Saya kali ini akan berbagi tentang salah satu buku yang saya pilih yaitu “Aspire” karangan Kevin Hall, terbitan Penerbit Gramedia.  Ini adalah buku motivasi. Ada subjudul yang agak bombastis:  “11 Kata yang akan Mengubah Hidup Anda “, dan karena itu pada mulanya buku ini bagi saya mencurigakan. Saya curiga jangan-jangan ia seperti kebanyakan buku yang hanya menjual judul.

Bagaimana sebelas kata bisa mengubah hidup seseorang? Ah, saya pikir, pasti Kevin Hall berlebihan. Tetapi, sebelum kecurigaan saya berlanjut, saya yang suka mengutak-atik kata untuk puisi-puisi saya, mengingat lagi memang peran kata begitu pentingnya dalam peradaban manusia.  Kata juga yang dipercaya oleh Tuhan ketika berhubungan dengan manusia. Bukankah kitab suci itu adalah kumpulan kalam-Nya? Kalam adalah kata. Tuhan tidak hadir di hadapan manusia dalam bentuk rupa, juga tidak dalam bentuk suara . Kita percaya  - ini adalah salah satu dari enam Rukun Iman dalam Islam - pada Kitab-Nya, artinya kita percaya dan berkomunikasi dengan Tuhan lewat kata yang ia wahyukan kepada Rasulullah.

Maka, buku itupun saya beli.  Dan itu bukan keputusan yang salah.  Ini buku yang bagus. Kevin memulai bukunya dengan sebuah cerita pada pengantarnya, cerita tentang bagaimana ia memperoleh gagasan untuk menulis dan memulai buku itu setelah bertemu dengan seorang keturunan India. Orang itu mengajarkannya satu kata, yaitu “Genshai”.

Apa itu “Genshai”? “Artinya Anda tidak boleh memperlakukan orang lain dengan cara yang bisa membuat mereka merasa kecil,” kata Pravin Cherkoori, orang India yang tiba-tiba saja memperkenalkan diri pada Kevin, dan mengajaknya menyantap makan siang di sebuah restoran .

Pravin bercerita pada Kevin, sewaktu kanak-kanak dia diajari agar tidak memandang, menyentuh, atau memanggil orang lain dengan cara yang akan membuat mereka merasa kecil.  Contohnya begini: jika kita berjalan melewati pengemis di jalan dan dengan santai kita melemparkan uang logam kepada pengemis itu, maka kita tidak mengamalkan Genshai.

“Namun jika saya berlutut dan menatap matanya ketika meletakkan koin ke tangannya, koin itu menjadi cinta. Bila, dan hanya bila, saya telah menunjukkan cinta persaudaraan yang tulus dan tanpa syarat, barulah saya menjadi seorang pengamal Genshai sejati,” kata Pravin. Begitulah contoh sederhana kekuatan sebuah kata. Kata “Genshai” menjadi pengikat makna sebuah perilaku. Sejak saat itu Kevin pun percaya pada kata dan ia mulai menyusun bukunya.

Genshai adalah kata pertama dalam daftar sebelas kata Kevin yang ia janjikan akan mengubah hidup kita. Baru kata pertama itu saja, saya sudah bisa sedikit mengubah cara pandang saya tentang hidup diri saya sendiri.

Saya, dan Anda, mungkin sudah mengamalkan perilaku “Genshai” tersebut. Coba kita mengingat-ingat, kapankah kita memperlakukan orang lain, dan ketika itu kita mempertimbangkan apakah cara perlakuan kita itu tidak membuat kita merendahkan mereka? Atau sebaliknya, sebagai pembelajaran dan bahan renungan, mari kita rasakan, adakah perlakuan orang lain pada kita yang membuat kita merasa direndahkan? Bagaimana rasanya direndahkan? Tentu tidak nyaman bukan? Nah, kira-kira, begitulah juga perasaan orang yang kita perlakukan dengan merendahkan mereka.

Maka, sampai di sini, saya harus berterima kasih lekas kepada Kevin Hall, yang sudah mengajarkan, ah mungkin tepatnya mengingatkan agar saya memperlakukan orang lain – siapapun, kawan, anak saya, istri saya, rekan kerja, atas dan bawahan saya - dengan tidak merendahkan mereka. Saya sendiri sudah lama punya satu rumusan sikap: jangan menyalahkan orang lain, meskipun dia memang benar salah. Orang yang salah pun tidak suka terus-menerus disalah-salahkan, apalagi orang yang tidak sepenuhnya salah. Artinya dalam satu paket tindakannya, ada sebagian yang bermanfaat, dan sebagian kecil saja yang salah.  Inilah mungkin “Genshai” saya, yang harus lebih banyak saya terapkan dalam kehidupan saya berikutnya.  Menyalah-nyalahkan orang lain, sama saja dengan merendahkan orang itu.  Yah, terima kasih, Kevin.

*

Apakah sebelas kata “ajaib” lainnya milik Kevin Hall itu?  Cara terbaik untuk mengetahuinya tentu saja dengan cara membelinya. Itulah  perlakuan “Genshai” Anda terhadap Kevin. Dengan cara membeli bukunya, Anda sudah menghargai dia, meninggikan dia, tidak merendahkan dia. Hm, tapi baiklah saya akan bagikan satu kata lagi, yaitu  “humility” kata nomor 6.  Saya sangat menyukai kata ini.

“Humility” adalah kerendahan hati.  Ibu saya dulu mengajarkan hal ini. Ia memetik kebijakan dari pepatah lama yang bermuatan kebijakan luhur.  Dulu, di masa kanak-kanak saya, kami bersawah. Menjelang panen, malai padi yang penuh berisi merunduk ke tanah. Merunduk itu tangkai jerami padi melengkung indah sekali karena beban berat butir-butir padi, tetapi bebannya itu sudah terukur sehingga si tangkai tidak patah.

“Lihatlah padi itu, Nak. Itulah ilmu padi. Turutlah. Semakin berisi semakin merunduk.  Kita juga harus begitu, semakin pintar, semakin berilmu, semakin berisi hati dan kepala kita, seharusnya kita semakin rendah hati,” kata ibu saya.   

Begitulah kira-kira “humility” yang diajarkan Kevin Hall. Orang, kata Kevin, suka salah mengartikan kata itu. “Humility” tidak berarti pasif dan mengalah. “Humility” adalah kesediaan diajar dan diarahkan. “Humility” menyiratkan komitmen terus- menerus untuk belajar, tumbuh dan berkembang.

“Humility adalah menjalani hidup dalam crescendo,” kata Kevin,  “dengan bahu tegak dan kepala lurus menghadap kedepan, saat kita menggapai serta meregang untuk menjadi diri kita yang terbaik, kemudian menawarkan diri untuk membantu orang lain melakukan hal sama. Dan kemudian, kita mulai lagi!”

Ketika kita merasa menjadi orang yang “paling” kita tidak menguburkan “humility” di dalam hati kita. Ketika kita merasa paling pintar, paling berjasa, paling hebat, paling jagoan, paling dihormati, paling lama mengabdi di sebuah institusi, kita membunuh “humility” dalam diri kita. Dan karena itu kita rugi. Apa ruginya? Kita tidak lagi mau belajar. Kita tidak lagi mau meninjau diri kita, yang sebenarnya memiliki banyak kekurangan untuk diperbaiki dengan terus-menerus belajar. Ketika kita tidak lagi mau belajar, maka kita berhenti berkembang!

Terima kasih, Kevin, yang lagi-lagi dengan kata yang kau perlakukan dengan istimewa, kau lacak dari mana asalnya, kau paparkan riwayat maknanya, kata yang sebenarnya sudah lama saya kenal itu, bisa mengingatkan saya lagi.  Semoga apa yang saya tulis di kolom ini tidak membuat saya merendahkan Anda, para pembaca kolom saya ini. Karena jika itu terjadi saya tidak mengamalkan “genshai”.

Kolom ini, sejak awal adalah wujud dari niat saya untuk mengamalkan “humility”,  wujud dari kerendahan hati. Saya percaya pada kalimat Andrea Hirata bahwa menulis tak lain hanyalah mempertontonkan kebodohan. Anda, pembaca, dari tulisan saya, bisa menilai apa yang saya tahu, kapan saya hanya sok tahu, dan berapa banyak yang saya tidak tahu. Karena itulah saya menulis, sebab dengan menulis saya jadi terus-menerus belajar. ***