Wednesday, November 26, 2008

Sajak Cinta Sederhana tentang Cinta yang Tak Sederhana

: Na, istriku

SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda


Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan

Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji

Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.

Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.

Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."

*

DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan

Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.

Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.

Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.

Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.

Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.

Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.


*

SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.

Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.

Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!

[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)