Monday, June 2, 2008

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (10)

Oleh Hasan Aspahani


10. Dari Pegunungan Chairil ke Galena Nirwan

MARI kita main-main dengan dua sajak berikut ini:

1. Malam di Pegunungan
Sajak Chairil Anwar

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pepohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947



2. Fajar di Galena
Sajak Nirwan Dewanto

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu. Berapa lama sudah kau terbangun? Seraya mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana, kau berkata kepada sebutir batu gamping di jalan setapak itu. "Dengarlah namaku matahari, aku perawat kuburan di tepi mississipi, maka aku tak akan terkelabui kata-katamu."

(2007)


Membaca sajak Nirwan ini, saya mula-mula harus mencari rujukan tentang Galena. Tanpa tahu apa-apa tentang kata itu, kunci pemaknaan saya tidak terbuka.

Galena ternyata nama kota di Illinois, Amerika Serikat. Saya mulai meraba-raba dari situ. Meraba? Ya, baru sedikit pintu terkuak. Jalan masih gelap. Berbeda dengan sajak Chairil. Ia menyodorkan judul yang mudah dirujuk: "pegunungan". Saya tak perlu memastikan itu pegunungan mana. Dan memang pemaknaan tidak terhambat bila saya tak bisa memastikan itu pegunungan yang mana persisnya.

Baiklah, "Fajar di Galena" dan "Malam di Pegunungan". Fajar dan malam. Keduanya menerangkan waktu yang sama-sama jelas membawa makna apa ke hadapan saya sebagai pembaca.

Nirwan langsung menggedor dengan baris-baris gelap: Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi jarum dalam mimpimu. Pertanyaan saya: Siapakah kamu si pemilik mimpi itu?

Pasti dia adalah si kamu yang disodori pertanyaan di kalimat berikutnya, "Berapa lama sudah kau terbangun?" Tapi siapa yang bertanya? Tidak tahu saya siapa yang bertanya, tapi si engkau itu ternyata matahari. "Dengarlah namaku matahari...." Pengakuan si matahari itu tidak meyakinkan saya, sebab ia dihadirkan dengan cara yang tak begitu kuat duduknya, tengok:
1. Matahari itu mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana (Oke, mungkin maksudnya matahari itu menyinari tanaman).
2. Matahari itu berkata ke arah batu gamping (saya tak tahu kenapa batu gamping di jalan setapak. Apakah karena Galena adalah kota tambang? Apakah batu gamping itu adalah hasil tambang utama di sana?).
3. Matahari itu perawat kuburan di tepi Mississipi (Ya, Galena memang berdekatan dengan sungai Mississipi. Tapi, matahari merawat kuburan?).
4. Matahari itu tak akan terkelabui kata-kata si "kamu"? (Kenapa? Entahlah!).

Cobalah kembali ke bait awal. Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri. Maksudnya? Saya kira ini bisa saya kaitkan dengan fajar di judul. Mungkin itu maksudnya, ketika fajar datang, ketika matahari datang, malam mati. Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri. Malam itu renta, betapa renta, karena berusaha menerangi sebatang jarum dalam mimpimu (kamu si matahari itu?). Aduh, rumit. Ada yang bisa menolong saya pembaca separuh buta itu?

Bagi pembaca yang suka kerumitan mungkin mengasyikkanlah menebak-nebak apa maunya sajak itu. Bagi saya, tidak. Ini sajak melelahkan. Dan saya kesal karena perburuan saya sepertinya sia-sia. Tapi, bukankah Nirwan sudah mewanti-wanti agar pembaca jangan berburu lambang dalam sajaknya?(bersambung)