Sunday, January 11, 2004

[Ruang Renung # 53] Renungan dari Nirwan: Mari Membunuh Sapardi...

KUTIPAN berikut ini berasal dari majalah Tempo No 44, Edisi Khusus, 4 Januari 2004. Penulisnya Nirwan Dewanto. Judul artikelnya Jalan Setapak Berduri.

     Kutipannya: Puisi mutakhir kita konon adalah penjelajahan makna sampai ke ujung cakrawala tak terduga. Tapi para penyair muda kita terbebani -- bukan terberkahi -- oleh pada pendahulu mereka. Warisan sastra nasional dihadapi tidak dengan sikap kritis, namun ketakjuban. Ya, ini sudah berlangsung paling tidak dua dasawarsa terakhir -- sungguh terlalu lama. Sehingga sejumlah bentuk dan idiom dibeku-bekukan di alam bawah sadar dan suatu ketika "dhidupkan" lagi dengan pretensi kebaruan -- atau sekadar keganjilan? Hasilnya: sejenis abstraksi, namun dalam arti negetif.

     Puisi sesungguhnya dibangun oleh frasa-frasa, tapi itu tak berarti bahwa gramatika ditelantarkan. Frasa adalah kalimat yang tak lengkap: dengan itulah kata dimaksimalkan kekuatannya. Dengan rumpang antar-frasa kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Dengan kata lain, sebuah ambiguitas. Saya khawatir pada penyair terkini bukan mengolah frasa, tapi tak bisa berkalimat. Begitu banyak nomina abstrak dan begtu miskin kosa kata terpakai. Rima hanya menjadi bunyi di ujung baris, bukan gema dalam frasa. Metafor menjadi batal atau mubazir, karena semantika diabaikan. Puisi sekadar peng-aku-an yang tanpa ironi.

     Saya takjub kenapa, misalnya, pengaruh puisi Sapardi Djoko Damono begitu kuatnya hingga hari ini, sebagaimana terlihat pada Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany: yang pertama meluweskan gaya Sapardi, yang kedua meruwetkannya. Benar, para penyair terbaru niscaya memerlukan dasar dari mana mereka bisa melompat tinggi-tinggi. Bahkan tak sedikit penyair, misalnya Ulfatin Ch, yang bergantung buka hanya pada puisi Sapardi, tapi juga terjemahannya (antara lain penyair Yunani George Seferis). Tapi, Pinurbo, Rosa, Ulfatin juga para penyair Bali yang kini melimpahi gelanggang -- pendeknya seluruh generasi mereka -- sudah sampai ke tahap jenuh, mahajenuh, masing-masing. Mereka mesti membunuh Sapardi, Goenawan Mohamad, dan segenap warisan puisi lirik Indonesia. Mereka harus berpaling sepenuhnya ke sumber-sumber lain.

     Demikianlah....

     Nirwan sinis? Pesimis? Teramat kritis? Ada semacam disclaimer pada awal dan akhir tulisannya itu. Dia memang tidak hendak dan tidak bisa membentangkan pemandangan molek, yang katanya hanya akan membuatnya menjadi penggirang palsu. Dia, katanya, sengaja memilih jalan setapak berduri dan dia bertanya: mungkin jalan itu akan mengantarnya ke kaki langit yang lebih benderang --- atau sekadar ke pinggir jurang?

     Mari kita selamatkan Nirwan. Jangan sampai ia jatuh ke dalam jurang.[hah]