KARTU POS. Kau selalu mengirimkan 
kartu pos kosong  saja. Begitulah 
kita sepakati, dan aku hanya tahu 
bahwa itu kau  yang mengirim dari 
posisi prangko Presiden Suharto 
yang  terjungkir miring. Kadang kau 
menambahi air mata di gambar presiden 
itu,  dan itu membuat aku tertawa. 
Mau bilang sedih, ah betapa susahnya.
Di  kartu pos itu aku lalu menulis apa saja, 
yang bisa kukenang tentang  kau. 
Dan kian lama aku kian percaya bahwa 
begitulah pula cara  engkau mengenang aku. 
AMPLOP. Aku benci amplop.  Itu sebabnya
aku minta kau mengirim kartu pos selalu.
Aku benci  amplop karena di asrama
mahasiswa dulu, kami mengoleksi
ribuan  amplop penolakan lamaran,
yang ditujukan pada para alumni 
yang  terpaksa masih tinggal di asrama
mahasiswa, karena belum dapat kerja.
Aku  benci amplop, karena dulu, ada 
perempuan yang rajin menyuratiku
lalu  akhirnya di surat terakhirnya
ia  putuskan begitu saja semua kisah 
yang  aku sudah rancang lama. Aku
trauma melihat surat, aku selalu
curiga  pada amplop, curiga pada ancaman 
kepedihan apa yang ia simpan di  dalamnya.  
KOTAK POS. Empat angka, dan alamat
kantor  pos pusat, kuberi tahu segera 
kepadamu lewat telegram di hari  pertama
aku kembali ke kota asalku. Aku tahu 
bertahun-tahun aku  belum akan punya 
alamat. Sisa ongkos pesawat cukup 
untuk menyewa  kotak surat. Kau tak 
pernah menuliskan namaku di semua
kartu  posmu. Juga tak kau tuliskan
namamu. Aku tak pernah bisa membalas
kartu  pos yang setia kau kirim 
setiap minggu itu. Kalau aku rindu,
aku  suka menghitung semua kartu posmu,
menebarkannya di atas kasur tipis
di  kamar sewa, atau memajangnya
di dinding menjadi mosaik wajahmu. 
PRANGKO.  Kenapa banyak sekali prangko
bergambar Presiden Suharto waktu itu? 
Dan  kenapa kau memilih prangko yang
sama, yang paling murah yang bisa  kau
pastikan kartu posmu sampai padaku?
Yang pertama kali aku  lakukan setelah
menerima kartu posmu adalah mengoyak
prangko  membosankan itu. Maafkan aku.
Aku suka berharap prangko di kartu  posmu
itu sesekali berbeda, bergambar bunga, 
atau burung, atau  gambar petani panen 
padi, atau kampanye Program KB, atau
gambar  penari Bali, atau pesawat
buatan Habibie. Apa sajalah, asal 
bukan  prangko yang membosankan itu. 
Maafkan aku, aku tidak membencimu
karena  itu, aku hanya bosan pada 
gambar monoton presiden kita itu.
BLANGKO  WESEL. Aku selalu menyimpannya
selembar. Kutulis namaku di  kolom
pengirim. Dan namamu di kolom penerima.
Kelak, begitu aku  tahu alamatmu - dari
kartu pos kosongmu yang nanti tak kosong 
lagi  itu - yang pertama kulakukan adalah
mengirimkan sebagian uang gajiku  yang 
kutitipkan di bagian keuangan koran
tempat aku bekerja  sebagai wartawan.
Di kolom pesan kutuliskan kalimat
yang bukan  puisi: simpan di tabungan, 
tiap bulan aku akan tambahkan, semampu 
yang  bisa aku sisihkan, kelak kalau 
cukup untuk sebuah pesta pernikahan 
yang  paling sederhana saja, beri 
tahukan padaku, atau bila selama kau
menunggu  ada yang melamarmu, dan kau
menerima dia, pakailah tabungan itu. 
Aku  memang meniatkan untuk biaya
pernikahan kita berdua - atau salah 
satu  dari kita.