Wednesday, February 16, 2011

Dari Tichborne hingga Al-Bargouty

TERHADAP sejarah, kita punya dua pilihan. Terus mengingatnya, mengambil hikmat dari situ dan terbijakkan olehnya. Atau, pilihan kedua, melupakannya, tak mau belajar darinya, dan mengulanginya. Puisi, dengan cara yang unik, selalu hadir untuk menawarkan jalan lain: mengingatkan dan merawat akal sehat.

Kita memang mudah sekali lupa. Ketika salah seorang dari dwitunggal proklamator bangsa ini berkata, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!", saya kira dia bukan ingin minta dirinya dikenang. Sukarno tidak sekerdil itu. Ia mengingatkan kita sampai kapanpun bahwa pada bangsa ini, ada yang berharga untuk dipertahankan.



Saya ingat, saya pernah menerjemahkan "Elegi Tichborne". Sebuah sajak pedih yang ditulis dalam penjara oleh Chidiock Tichborne (1558–1586), seorang penyair yang tidak begitu dikenal. Saya petika seutuhnya:

Kobar masa mudaku tak ada hanya beku salju
Pesta gembiraku tak ada hanya sesaji nestapa,
Huma jagungku tak ada hanya padang gulma
Dan segala pahalaku tak ada hanya harap sia-sia;
Hari berganti, dan tak jua kulihat matahari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.

Kisahku kau dengar tapi tak kemana kau ceritakan,
Buahku jatuh, tapi masih menghijau daun-daunku,
Usia mudaku habis tapi tak jua aku menua,
Aku lihat dunia tapi tak sesiapa ada melihatku;
Benangku putus tapi belum juga ia tergulungkan
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.

Aku cari mautku dan kutemukan di rahimku
aku cari kehidupan dan ternyata itu keteduhan ,
Kutapaki anak tangga dunia dan aku tahu itu kuburku,
Dan kini aku mati, dan kini aku tak lagi apa-apa;
Gelasku penuh, dan kini gelasku jauh berlari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.



Tiga stanza di atas adalah sajak terakhir Chidiock (Charles) Tichborne (1558–1586) yang ia tulis di malam dalam tahanan di Tower of London, sebelum ia dihukum mati.

Sajak itu ia ia kirimkan sebagai surat dan ia tujukan kepada istrinya, Agnes. Sajak di atas selain termahsyur dengan judul "On The Eve of His Execution" juga dikenal dengan judul "Tichborne's Elegy", atau "My Prime of Youth is but a Frost of Cares".

Tichborne yang lahir di Southampton, dari orangtua beragama Katolik Roma, adalah penyair dan - ini kata yang aneh - konspirator. Kata terakhir itu disandangkan padanya karena ia dituduh merencanakan pembunuhan atas Ratu Elizabeth I.

Sang Ratu semula memperbolehkan pemeluk Katolisisme menjalankan keyakinannya. Tetapi ketika ada komunikasi yang putus dengan Keuskupan akibat dukungan Sang Ratu terhadap ajaran Kristen Protestan, maka sejarah berulang - sekali lagi ajaran Katolik dilarang di Inggris. Tichborne dan ayahnya ditangkap.

Tichborne kemudian ditahan-lepaskan tanpa pengadilan. Ia keluar masuk penjara, berkali-kali. Penjara jadi langganannya. Masa itu, di Inggris, sekularisme memang belum lagi datang memisahkan urusan negara dan agama.

Tak heran bila pada bulan Juni tahun 1586, Tichborne bersepakat dengan sebuah plot rencana pembunuhan atas Ratu Elizabeth dan menggantikannya dengan Ratu Mary dari Scotlandia yang beragama Katolik yang memang menunggu giliran berikutnya untuk naik tahta.

Pada tanggal 20 September 1586, Tichborne dieksekusi bersama kerabat perencana pembunuhan atas Ratu: Anthony Babington, John Ballard, dan empat konspirator lainnya. Isi perut mereka dikeluarkan saat mereka masih lagi bernafas, lalu mereka dipertontonkan di St Giles Field, London.

Begitulah cara penguasa kala itu menyebarkan teror dan membangkitkan efek jera. Tujuh konspirator menyusul dihukum serupa, meski kemudian Ratu sedikit melunak: perutnya dibelah dan diburaikan setelah sang terhukum nyaris mati di tiang gantungan.

*

Ya, terhadap sejarah, kita punya dua pilihan. Terus mengingatnya, mengambil hikmat dari situ dan terbijakkan olehnya. Atau, pilihan kedua, melupakannya, tak mau belajar darinya, dan mengulanginya. Sukarno mengingatkan kita untuk memilih yang pertama, jangan lupakan sejarah.

Saya terkenang Tichborne, sajak terakhirnya, dan latar kisah pemenjaraannya. Kita mungkin melupakan itu. Atau mungkin tak pernah tahu. Ketika kekuasaan berkelindan dengan agama, hal brutal bisa terjadi. Nyawa manusia jadi halal untuk dihabisi atas nama perbedaan keyakinan.

Kebrutalan bisa lahir ketika negara ada pada dua titik berseberangan, ketika negara begitu kuatnya seperti Inggris di zaman Ratu Elizabeth yang melarang Katolik dan memerintahkan pembunuhan atas penganutnya, atau ketika negara begitu lemahnya seperti terjadi di Indonesia saat ini.

Inilah Indonesia saat ini. Presiden tampil di depan kamera televisi mengatakan prihatin atas warganya yang dibantai oleh warga lain. Kedua kelompok itu adalah warga negara Indonesia, dan presiden hanya bilang prihatin.

Presiden yang sama berkata, negara tak boleh kalah dengan mafia. Nyatanya, kekuasaannya tak bisa apa-apa karena ia dikelilingi oleh jejaring kepentingan politik yang beroperasi persis seperti mafia.


*

Lepas dari konspirasinya menyusun rencana membunuh Ratu, Tichborne menjalankan tugas mulianya sebagai penyair. Ia menulis sajak untuk menjaga kewarasan, merawat akal sehat. Sajaknya abadi, menjaga kewarasan dari zaman ke zaman.

Puisi, hal yang remeh dan rapuh itu memang punya peran unik. Di Mesir, negeri yang keteguhan jutaan rakyatnya dengan jalan damai selama 18 hari dan berhasil menjatuhkan penguasa 30 tahun, ada seorang penyair bernama Tamim Al-Bargouty.  Ia terusir dari negerinya karena menentang perang Irak. Mobarak sama saja dengan pendahulunya Anwar Sadat. Para penyair yang mencoba merawat akal sehat ditangkapi, masuk penjara atau terusir dari negerinya.

Dari Amerika, di mana dia mengajar di sebuah Universitas, Tamim mengirimkan sajaknya. Sajak itu dimuat di harian lokal di mana secara rutin ia menulis kolom di situ. Lalu dari sana sajaknya menyebar, fotokopi puluhan ribu lembar.  "Tiap dua jam saya ditelepon stasiun radio dan televisi dan diminta membacakan sajak saya," kata Tamim.

Di Lapangan Tahrir, orang-orang pasang layar lebar, dan siaran televisi  Aljazeera yang  menayangkan  resitasi sajak Tamim disorotkan ke sana. Sajaknya kira-kira dengan tegas mau berkata:  Wahai Mesir, inilah saatnya!  Media menyebutya penyair revolusioner.  Tapi, saya kira tak penting apapun sebutannya.  Tamim tak ingin jadi pahlawan. Ia bahkan bilang, terusir dari negerinya adalah hal remeh, karena banyak penyair Mesir di negerinya sendiri harus mendekam bertahun-tahun di penjara.

Penyair dan sajaknya, mengingatkan kekuasaan yang lupa.  Tiga puluh tahun berkuasa, Mubarak mungkin mengira betapa kuatnya dia. Konsistensi 18 hari cukup untuk membuktikan sebaliknya,betapa rapuhnya kekuasaan itu.