Wednesday, June 2, 2010

[Kolom] Wajar Bila Terucap

KARENA Gigi, saya tak akan pernah merasa tua untuk mengidentikkan diri dengan sebuah grup musik. Kalau ada kelompok musik yang ingin saya doakan agar tak akan pernah bubar sampai kapan pun (kecuali oleh jemputan maut), maka itu adalah Gigi. Kalau ada kelompok musik yang akan saya tonton terus konsernya, tentu jika saya ada waktu untuk itu, maka itu adalah Gigi.



Saya tak terlalu mengerti musik, maka alasan saya menjadi anggota tak tercatat Gigikita (julukan untuk penggemar Gigi) tidaklah sesuatu yang musikal. Gigi mulai mengibarkan bendera kecilnya pada tahun 1994. Tepatnya 22 Maret 1994. Itulah tahun-tahun akhir saya menuntut ilmu di perguruan tinggi. Sejak awal tahun 1990-an, televisi swasta di Indonesia mulai memancarkan siaran. Tayangan musik waktu itu adalah sesuatu yang baru, dan karena itu sangat menarik.

Klip video di televisi selain menjadi cara promosi kaset rekaman, juga menjadi cara untuk menikmati musik. Kalau Anda tahu bagaimana format acara Aneka Ria Safari dengan MC abadi Eddy Sud, atau Orkes Telerama, di TVRI dulu, maka Anda bisa pasti bisa ikut merasakan betapa nikmatnya menonton klip video dengan kualitas visual yang nyeni.

Gigi muncul di masa-masa itu. Bagi saya kemunculannya tak terlalu meyakinkan. Album "Angan" nyatanya memang "hanya" terjual 100 ribu keping. Itu masa-masa yang sulit bagi sebuah kelompok musik menjual album. Apalagi Gigi yang musiknya saja waktu itu masih belum jelas maunya. Di kuping saya yang tak terlalu cerdas mencerna musik, Gigi ini tanggung. Ragu-ragu. Lagunya tak terlalu menjual, jauh kalah dengan Dewa atau Slank yang lebih dahulu besar, tapi juga kualitasnya tak sekelas Krakatau misalnya, yang waktu itu berkibar karena permainan yang personelnya yang banyak diacungi jempol.

Personelnya pun boros: enam orang! Aria Baron, Thomas Ramdhan, Ronald Fristianto, Dewa Budjana dan Armand Maulana. Saya waktu itu salah satu orang yang bilang, "tunggu, satu per satu personel itu akan rontok!"

Bagi saya, waktu itu Gigi ibarat sarjana baru lulus, dan mulai mencari kerja ke mana-mana. Tak meyakinkan, tapi karir kebesaran mereka perlahan menangga dan meninggi. Ini adalah identifikasi pertama diri saya dengan Gigi.  Kelak sebagai sarjana baru, saya mencangkok semangat itu.

Di tahun-tahun pertama saya menjadi wartawan di Balikpapan, Gigi adalah kelompok yang ikut menempa keterampilan jurnalistik saya. Liputan konser musik tidak terlalu menarik minat wartawan baru. Oleh redaktur kota saya yang sialnya adalah guru gitar, saya justru diberi tugas khusus: tak ada artis yang bisa lolos dari liputanmu kalau mereka tampil ke Balikpapan! Dan harus eksklusif!

Eksklusif? Arti sederhananya koran lain tak dapat. Dan saya tunaikan tugas itu dengan baik. Konser Gigi - pada tahun 1996 itu, konser-konser dengan sponsor merek rokok juga mulai lazim - adalah liputan saya yang dipuji oleh si redaktur yang sempat mengajari saya main gitar, tapi saya tetap saja tak bisa-bisa.

Saya harus dapat bahan tulisan yang tidak didapat koran lain. Caranya? Sejak awal saya bantu publikasi panitia, dengan janji saya akan ikut menjemput  di Bandara, berada di belakang panggung selama pertunjukan, dan ikut semua kegiatan Gigi sebelum mereka kembali ke Jakarta. Dari pengalaman itu saya punya rumus hebat: tempat terbaik untuk meliput konser musik adalah di belakang panggung! Kita dapat ruh panggung, ikut merasakan jiwa si penampil, dan bisa menangkap suasana seluruh pertunjukan dengan utuh. Itulah terjemahan terbaik saya atas kata eksklusivitas. Saya juga jadi reporter yang produktif. Liputan rangkaian satu konser itu tak akan habis dimuat sehari. Maka, saya punya tulisan bersambung untuk seminggu lamanya.

Benar, tahun 1996 itu, Gigi mulai rontok. Baron - personel yang menulis nyaris semua lirik untuk album Gigi yang pertama (Angan, 1994) dan kedua (Dunia, 1995) - keluar. Album ketiganya diberi nama 3/4.

"Ini album ketiga, ketika personel Gigi tinggal empat orang," kata Armand Maulana, sambil menyantap udang bakar di Restoran Seafood Bumahai, yang kami singgahi untuk makan siang sebelum ke Gigi ke bandara. Oh ya, waktu itu saya sempat mengajari Armand bagaimana caranya mengupas udang itu. Saya ikut juga di mobil yang membawa mereka dari hotel ke restoran itu. Armand agak terlambat dan sempat lama ditunggu. "Sori, sembahyang dulu," katanya.

Kepada saya yang sudah dia tahu bahwa saya adalah wartawan, Armand buru-buru berpesan, "Lu jangan tulis ya?"

"Tulis yang mana, Kang? Sembahyang? Kan menarik, rocker rajin salat," kata saya. Saya mengerti dan sepakat untuk meng-off-the-record-kan soal itu. (Dan sekarang, maaf, Armand,  kalau itu sekarang saya tulis!)

Ini pertanyaan basi tapi waktu itu saya ajukan juga, hanya karena saya ingin dapat penjelasan langsung dari mereka. Kenapa Gigi? "Gigi kan indah. Semua orang punya dan perlu gigi. Kunci dari senyum yang indah itu adalah Gigi yang baik. Dengan musik kami ingin memperindah jiwa semua orang," kata Armand. Aha! Saya sudah tahu, Kang, dari jawabanmu di televisi. Terima kasih, untuk mengulanginya.

Dan saya menulis penuh opini - tapi ini dibiarkan dan bahkan dibela oleh si redaktur gondrong sok seniman itu. Saya bilang dalam berita saya, Armand itu seperti gigi seri, fungsinya estetis, frontman band, penampil utama. Budjana? Dengan cabikan gitarnya, dia adalah gigi taring, yang mencabik-cabik perhatian penonton, sesekali menusuk tajam. Thomas dan (waktu itu drummernya masih) Ronald? Mereka adalah sebarisan gigi geraham yang mengunyah seluruh irama lagu, menyinambungkan sepanjang irama! (Aha! Ngawur banget kan? )

Album 3/4 yang mereka promosikan saat itu adalah album yang memantapkan posisi Gigi di hati penggemar, dan menegaskan mereka punya tempat khusus di ranah musik Indonesia. Mereka adalah band yang aksi panggungnya ngangenin. Armand kemudian banyak ditiru oleh vokalis-vokalis yang datang belakangan, baik yang mengaku maupun yang tidak.  Ibaratnya, sarjana yang coba-coba kerja dulu, kini sudah jadi asisten manajer, atau manajer dan menikmati pekerjaannya, juga meyakini bahwa inilah karirnya!

Menonton Gigi di tahun 1996, beberapa kali lagi hingga tahun 2000, dan 14 tahun kemudian di tahun 2010, di Ballroom Hotel Novotel rasanya tak ada bedanya: Gigi, dengan formasi akhir Armand, Budjana, Thomas dan penggebuk grum Gusti Hendy, adalah magnet di panggung! Saya tak merasa terlalu tua untuk ikut bernyanyi bersama penonton yang rata-rata 20 tahun di bawah saya usianya. Aha!

Thomas, sebenarnya sempat keluar di album 2x2. 2X2 ini juga penanda perjalanan Gigi. Ini album keempat, saat personel aslinya tinggal 2 orang: Armand dan Budjana. Opet Alatas, dan Budi Haryono sempat masuk memperkuat Gigi sebelum mereka mantap dengan formasi terakhir tadi. Jadi, dengan pengakuan ini, wahai Gigi, wajar bila terucap nama kalian di kolom ini! (Anda yang mengaku Gigikita, pasti tahu kalimat terakhir ini dipetik dari lagu apa di album yang mana) ***