TUBUH yang belum sesayup ragu,  ia sirami 
juga dengan rayu. Mata yang belum sekurup
sendu, ia sulut lagi dengan rindu. "Waktu, ah,
nyaris saja kau bisa lagi menipu aku." Di  ruang  
waktu, di ruang rindu, ia menunggu  seorang tamu, 
setelah pesan singkat itu: "Siapkan tubuhmu, aku 
ingin mewawancaraimu. Mungkin  untuk halaman 
satu, kalau nanti bisa engkau tunjukkan rindu waktu 
dan waktu rindu di matamu."
 
          TANYA jawab itu berlangsung seru. Penuh jerit, 
dan sesekali terdengar ketukan rindu di pintu. "Biar 
saja,"  bisik si tamu. "Aku masih belum menemukan 
waktu di  tubuhmu."  Ketika sang tamu bertanya 
tentang ragu,  ia  tunjukkan dada. "Ah, aku tambah 
menyangsikan  rindu," kilah sang tamu. Ketika sang 
tamu bertanya tentang rayu, ia lenggokkan pinggul.
"Salah, kau semakin tak memahami hakikat waktu," 
bantah sang tamu.
        "MAKA tibalah saatnya aku memotret engkau,"
kata sang tamu. Ia pun lekas berlalu ke balik pintu
kamar tidurnya yang paling tahu betapa pandai ia
bersiasat mengelabui usia, tapi lebih sering malah 
terpedaya  oleh waktu. Sebisanya ia benahi juga 
tubuhnya. Suram ia semayamkan di mata semata. 
Muram  dipendamnya di kelamin kelam. "Adakah 
yang masih belum kututupi dengan dusta?"
       SEBELUM senja ia kembali menemui tamunya.
Lalu,  alangkah kecewanya ia, tak ditemukannya lagi
di sana bekas-bekas tanya jawab yang tadi terjadi
amat riuhnya. "Kurangajar." Ia memaki berulang kali,
setelah membaca catatan pesan yang ditinggalkan.  
"Diam-diam telah kucuri potretmu saat kaupersiapkan 
dusta di depan kaca itu...."