MENTOR jurnalistik saya Andreas Harsono beberapa hari ini sedang  bersiar-siar di Malaysia. Dari negeri ke negeri di negara itu, ia punya  satu kesimpulan: sepakbola tak terlalu menjadi perhatian rakyat di sana.  Ia baca-baca koran lokal. Kesimpulannya: berita bola tak dapat tempat  di halaman utama. Orang-orang di sana bicara tentang Liga Inggris.  Koran-koran setempat pilih isu macam-macam, tulis Andreas di akun  twitternya. 
 
Saya setuju. Berada di Malaysia, sebelum dan sesudah final Piala AFF,  kaki pertama di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, akhir pekan lalu,  saya juga merasakan hal yang sama.
DI Megamall, Kuala Lumpur, beberapa jam sebelum pertandingan, Ikra anak  saya dilirik-lirik pengunjung. Ikra pakai baju merah dan memakai atribut  pendukung timnas: ikat kepala bertulisan Indonesia merah yang kami  dapatkan gratis dari Kedubes Indonesia, dan bernyanyi-nyanyi, "Garuda di  dadaku..." Saya membebatkan atribut itu di pergelangan lengan kiri.
Kami tak melihat ada warga KL di mal besar itu memakai atribut dukungan  untuk timnas Malaysia. 
Anak muda Melayu penjaga konter kue bolu di mal itu bertanya apakah kami  dari Indonesia. Dia lalu menyebut nama Bambang Pamungkas dan Eili Aiboy  sambil mengacungkan jempol. Saya kira kedua pemain kita yang lama  bermain di sana cukup populer juga. 
Dari KL ke Stadion Bukit Jalil kami naik taksi. Sopirnya seorang lelaki  melayu yang baru menikah. Kuku-kuku kedua tangannya berinai. "Ada apa di  Bukit Jalil?" Dia, tidak tahu ada pertandingan penting di sana. Ketika  saya sebutkan kami akan menonton bola, si pengantin baru lekas-lekas  menukas, "O, ada perlawanan ya?" Begitu saja.
Kami meninggalkan stadion sebelum pertandingan usai. 3-0 skor untuk  Malaysia tak berubah. Di Hotel istri saya mencari siaran televisi, tak  ada satupun stasiun televisi lokal mengulangi siaran kemenangan  Malaysia. 
Sopir taksi (kali ini dari etnis Cina) yang mengantar kami dari Bukit  Jalil ke Bukit Bintang tak tahu juga bahwa kami baru saja menjadi saksi  kekalahan timnas Indonesia atas Malaysia. Dia pikir ada konser musik.  Memang ada panggung besar di depan stadion yang saat itu di situ sedang  digelar pertunjukan musik. 
Ketika tahu bahwa ada pertandingan sepakbola, si sopir lekas mengabarkan  lewat radio ke operator taksi, mengabarkan di Bukit Jalil akan banyak  penumpang. Ya, 80 ribu penonton yang memenuhi stadion itu memang banyak.  Ah, dasar sopir! 
* 
Senin pagi, saya membeli tiga koran lokal. The Star - koran berbahasa  Inggris - memajang foto Safee Sali merayakan gol. Tapi, berita utama  adalah larangan pemakaian lambang 1 Malaysia di Selangor. Berita  politik. 
New Straits Times - juga koran berbahasa Inggris - sama saja. Memajang  foto Safee Sali tapi berita utama adalah berita kecelakaan kapal yang  menewakan dua turis Singapura. 
Hanya Harian Metro - yang ini berbahasa Melayu - membagi halaman  utamanya dalam dua berita. Satu berita (memakan 2/3 halaman) berita  utama dengan judul: Garuda Dibaham 3-0, didampingi foto Safee Sali yang  sama dengan foto News Straits Time. Kedua koran ini memang satu grup,  dan sepertinya hanya mengirim satu fotografer ke Bukit Jalil. Di  sepertinya bagian halaman satu berita kecelakaan mobil menabrak pohon  yang menewaskan empat nyawa! 
Saya tak membeli Utusan -koran lain yang juga berbahasa Melayu -  tapi,  di terminal bis Bukit Jalil saya lirik berita utamanya adalah kemenangan  Malaysia. Saya pasang kuping, adakah pembicaraan tentang sepakbola jadi  buah bibir? Nyaris tak ada. Petugas karcis di bis yang kami tumpangi  dari KL ke Johor Baru bahkan tak tahu berapa skor kemenangan Malaysia.  "Entahlah, dua kosong agaknya," katanya, sama sekali tak peduli, ia  kehilangan satu tiket yang ternyata terlapis di empat tiket kami  anak-beranak!
* 
Kenapa prestasi  timnas Indonesia sangat menarik perhatian kita, menyita  emosi kita, dan memanen dukungan begitu besarnya dari kita? Kenapa hal  yang sama tak terjadi di Malaysia? Saya bukan ahli psikologi massa, saya  bukan penganalisa gejala sosial. Saya - istri dan anak-anak saya -   adalah bagian dari massa di negeri ini yang tiba-tiba menemukan sesuatu  dalam sepakbola. Apakah sesuatu itu? 
Kita adalah bangsa yang sedang sakit. Sepakbola ternyata bisa  menghilangkan rasa sakit itu, sementara. Ya, cuma sekadar menghilangkan,  tapi tidak menyembuhkan. Sakit kita adalah sakit struktural.  Sudah  lama kita tak bisa berbangga, kita tidak banyak punya hal yang  sebenarnya bisa dibanggakan tapi segalanya tersia-siakan. 
Pemerintah lamban menangani hal-hal krusial. Bencana alam datang silih  berganti. Proses-proses politik bertele-tele dan menjemukan. Kasus-kasus  besar tak jelas penyelesaiannya. Pengusaha menjadi politisi.  Kepentingan-kepentingan politik bisa dibeli oleh politisi-pengusaha yang  menggerakkan lembaga politik seperti menjalankan bisnis. 
Penyelenggaraan kompetisi sepakbola kita juga tidak menarik, sebenarnya.  Semrawut. Jadwal molor. Kerusuhan. Jumlah klub peserta kompetisi yang  banyak membuat pemain lelah. Menyatukan klub galatama dan perserikatan  sudah sejak lama dikritik. Ditambah lagi pengurus PSSI yang diketuai  oleh orang yang pernah dua kali menjadi terpidana korupsi -  oke  baiklah, saya mau bilang dengan tegas: dia koruptor! - dan dia adalah  kader setia sebuah partai, dan dengan demikian enteng sekali dia membawa  kepentingan politik ke dalam sepakbola. Ini saya kira yang membuat  poster Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar bisa berkibar  norak di tribun penonton Stadiun Bukit Jalil! 
* 
Dalam situasi itu, tiba-tiba timnas Indonesia menyeruak dengan prestasi.  Semua lawan dikalahkan sampai ke final piala AFF. Bagaimana kegembiraan  dan harapan itu tidak meninggi di hati kita? Kita tentu berharap  Indonesia - yang sudah pernah tiga kali masuk final piala AFF - kali ini  menang.  Tapi, saya kira, kegagalan lagi kali ini, adalah sakit yang  semoga menyembuhkan. Kita tidak perlu terlalu banyak penghilang rasa  sakit, karena dengan demikian kita lupa untuk menyembuhkan sakit kita.  Kita perlu rasa sakit, sesakit-sakitnya, agar kita sadar bahwa kita  sedang sakit. Dan kita harus sembuh.
Kalau mau memetik hikmah, setidaknya lewat sepakbola, penguasa di negeri  ini mestinya  tahu, bahwa mereka seharusnya berprestasi dan mendorong  siapa saja di negeri ini berprestasi, karena itulah yang bisa  menyembuhkan sakit kita, bukan sekadar menghilangkan rasa sakit.  Lewat  sepakbola, kita sadar ternyata hati kita mudah tergerak untuk mengenakan  baju yang sama, menyetarakan diri, menyatukan dukungan!
Lewat sepakbola, kali ini mata kita terbuka lagi dari buta, dan melihat  ternyata banyak sekali potensi negeri kita yang kita sia-siakan!  Lewat  sepakbola, kita sadar bahwa kita kuat, dan ternyata kita yang sering  dikecewakan, tak pernah berhenti menanam harapan. 
Lewat sepakbola, kita bisa katakana kepada para cukong politik,bahwa  ternyata  uang tak bisa membeli segalanya!  Lewat sepakbola, kita tahu  bahwa kita rindu pada hal-hal yang membuat kita bersama bangga! Lewat  sepakbola. ***