Pertal: Dari bahasa ke bahasa, kita saling menerjemahkan. 
     Masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikan 
      sepenuhnya. "Biar saja, aku yang melupakan bahasaku,"
      katamu. "Tidak, biarkan aku yang memperfasih bahasamu,"
     kataku. Atau adakah waktu bagi kita untuk belajar mencipta kata 
     mengucapkan kita, dengan kamus yang sejak semula terbuka? 
Peruak: Lalu jarak itu semakin melebar. Melabur semua lembar. 
     Di seberang kau berteriak, aku hanya mendengar. Kau melambai,
     aku hanya menyebut, "ah, diri yang lalai." Lalu kau tenggelam, aku
     belum juga sadar, hari sudah malam. Sudah lama larut malam.   
Peruang: Padahal sebenarnya, kita pernah bersama belajar mantera. 
     Mengapung di permukaan air. "Tapi, aku ingin tenggelam bersamamu,"
     katamu. "Aku ingin kita berangkulan, melawan arus yang tak terlawan." 
     Padahal sebenarnya, aku masih ingin tenggelam dalam keasingan 
     bahasamu-bahasaku. Padahal sebenarnya, aku nyaris sampai pada
     kesimpulan itu: mungkin sungai itu adalah kamus yang mencatat 
     seluruh kata dalam hidup kita.
 
Perum: Lalu, aku sendiri. Ada yang sepertinya sudah aku  mengerti. Di tepi 
     sungai  yang mencatat akhir keasingan bahasamu-bahasaku, aku melabuhkan
     batu penduga. Seperti ada yang menyapa di seberang sana. "Hei, kau                    
     hendak berlayar kemana, Saudara?"