Friday, October 26, 2007

[Majas # 003] Simile

SIMILE. Perbandingan langsung dengan menyamakan suatu hal dengan hal lain menggunakan kata awalan se-, kata penghubung atau kata pembanding (seperti, layaknya, bagaikan, bagai, seumpama, sebagai, umpama, bak, laksana, sepantun).

Simile menurut Rahmat Djoko Pradopo ("Pengkajian Puisi", Gajah Mada University Press: Yogyakarta, Cet. 9, 2005) dapat dikatakan sebagai majas yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak.

Contoh:
a. Waktu seperti burung tanpa hinggapan
    melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan
     sayap-sayap mu'jizat terkebar dengan cekatan

     Waktu seperti butir-butir air
     dengan nyanyi dan tangis angin silir
     berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.


("Waktu", W.S Rendra, "Empat Kumpulan Sajak", Pustaka Jaya: Jakarta, Cet.8, 2003)


b. Ia merasa seperti menyusuri lingkaran
     tak menemukan bangku panjang.


("Lirik untuk Improvisasi Jazz", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

    Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
     memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
     sampai pada suatu hari
     kita lupa untuk apa.


("Yang Fana adalah Waktu", ibid)

c. Malam ini. Sebuah perapian menyala di kejauhan
    seperti bayang-bayangmu bergerak di pintu depan


("Dari Rembang ke Rembang", Abdul Hadi WM, "Tergantung pada Angin"; Budaya Jaya: Jakarta, 1977)
    
      Seseorang atau mungkin senandungmu yang hilang
     bergerak seperti perahu di atas ombak tak berjalan.

("Seperti Perahu", ibid)

d. Suratmu masih saja indah kubaca
     bagai ricik kali dan taman bunga
     di padang tandus cintaku


("Neraca Perjalanan", Sitok Srengenge, "Kelenjang Bekisar Jantan", Garba Budaya" Jakarta, 2000)

     Sebab kau seakan kelam yang selalu mau aku memasukimu,
     sembunyikan cemas sekaligus kebebasanku


("Memasukimu", ibid)

e. Aku tak tahu siapa yang mengantar pulang jasadnya,
    tapi setiap membaca koran aku seperti sedang
    mengantar jenazah loper koran malang itu,


("Loper Koran", Joko Pinurbo, " Pacar Senja"; Grasindo: Jakarta, 2005)

     Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
     di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya
     yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung
     dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan
     di meja perjamuan.


("Bayi dalam Kulkas", ibid).

Ada simile yang kuat. Ada simile yang efektif mengutuhkan sajak. Ada simile yang lemah. Ada juga yang sia-sia. Ada juga yang membingungkan. Ada yang tidak terasa kehadirannya, karena begitu pas ia dipadankan. Ada yang  justru mengganggu. Simile memang jurus yang paling sering dipakai, tapi ia tetap harus dipakai dengan hati-hati.