Sajak Kavi Matasukma
Dalam diri orang sinis adalah seorang
idealis yang kecewa -- George Carlin
AKU tak tahu seperti apa
rasanya dikangkangi New York, Tuan Rendra!
Aku melihat pedih di selangkang Jakarta
Aku melihat seribu cukong berak di atas kepalanya.
Kakiku sebelah tertinggal di Soekarno-Hatta,
aku lari pincang dan tak sampai juga ke Istana Negara
Maskapai Lion Air itu tadi
bikin papan jadwal mahal itu tidak berguna.
"Buat apa singgah di istana?"
kudengar seperti Binhad yang bertanya,
"Presiden tidak ada, dia sedang menyusun
pidato di rumahnya,
dia mau tampil di Asian Idol, ha ha ha ha!"
"Datang saja ke Kampus Lidah Buaya.
Barangkali masih bisa kau temui Tardji di sana,
malam belum terlalu tua, biasanya
ia sedang menghitung sajak dan sisa usia."
Dan Jakarta menyala,
(Jakarta selalu menyala)
huruf-huruf raksasa memaksa mataku membaca
berbagai merek rokok, kondom dan pil stamina.
[Dan aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
aku datang, biar saja, aku hanya mencarinya.
Aku hanya ingin teriak bertanya, "Jakarta, di mana
kau sembunyikan kekasihku Shania?"]
AKU tak bertemu kubur-kubur pergi
berlayar membawa pelabuhan, Tuan Tardji!
Aku melihat Jakarta berjalan mengangkang
Aku melihat tangan-tangan menadah pada selangkang.
Sebelah tanganku masih berpegangan di tangga pesawat.
Kalah gesit dengan tangan dari kota-kota yang jauh,
tangan Surabaya, tangan Papua. Mungkin juga Yogya.
Tangan yang mengepal dan mengacung sambil berseru:
"Aku menantangmu Jakarta, lawanlah aku, hei Penyair Tua,"
kudengar seperti Saut Si Penyerang. Menyerang.
"Sampai tak ada hutan lagi. Tak ada kayu lagi,
di Jakarta yang suka berdusta. Ha ha ha ha!"
Si Penyair Tua tak sedang di sana. Ia sedang di Salihara
membangun blackbox pertama di Jakarta.
Saut, ia tidak menyiapkan makamnya.
Dan Jakarta terus menyala.
(Jakarta makin menyilau pada mata)
Tapi orang-orang sembunyi di ruang remang.
Sembunyi dari dusta sendiri.
Engkaukah itu? Lelaki tanggung yang bicara
kebenaran tentang Jakarta? Membaca
makalah di PDS H.B. Jassin, dengan ludah asin?
(Aih, di Reader's Digest aku mengutip George Carlin)
Lalu memaki Sitok dan Nirwan,
menahbiskan Jimmi Multazam sebagai penyairmu,
sambil mengutip Tuan Rendra: Bersatulah
pelacur-pelacur kota Jakarta! Ha ha ha ha!
Engkaukah yang tak lagi berpura-pura bekerja di
Jurnal Perempuan? Tapi kenapa pula berpura-pura?
Begitu angkuhkah tubuhmu untuk meneteskan
keringat, setetes saja? Atau karena kau merasa
telah berdialog dengan arwah Umar Kayam?
[Ah, aku hanya Kavi Matasukma,
aku mencari kekasihku Shania Saphana.
Aku tahu dia tak ada di manapun di Jakarta,
tapi bolehkah kubayangkan kau pertemukan
kami di Stasiun Kota? Atau di dindingnya
kutuliskan saja, "Kavi Matasukma tidak dari
mana-mana, di manakah kau Shania Saphana?]
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Showing posts with label kavi. Show all posts
Showing posts with label kavi. Show all posts
Monday, May 12, 2008
Sunday, December 2, 2007
Rindu yang Tak Santun: Dalam Sekurung Pantun
Sajak Kavi Matasukma
Matahari tak muncul di hari yang buta
Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
Kucari di Google, kucari di Altavista
Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa
[INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!
Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?
Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir
Kukenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox
kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda
"Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis," kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.
*
HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.
Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah 'mereka yang sudah lupa bersuka'.
Kudengar ratap lagu KLa, samar Katon Bagaskara.
*
KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.
Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.
Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
"Sajak Putih" yang dulu pernah kita baca bersama.
Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, "kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!" Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.
*
AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
"Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai A sebaris?
Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.
Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns'n Roses]
Deras musim menumbuk langit tak berangka
Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
Telah kukirim berjuta surat-elektronika
Apakah Y!Mail mengantar ke alamat salah?
Matahari tak muncul di hari yang buta
Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
Kucari di Google, kucari di Altavista
Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa
[INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!
Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?
Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir
Kukenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox
kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda
"Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis," kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.
*
HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.
Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah 'mereka yang sudah lupa bersuka'.
Kudengar ratap lagu KLa, samar Katon Bagaskara.
*
KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.
Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.
Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
"Sajak Putih" yang dulu pernah kita baca bersama.
Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, "kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!" Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.
*
AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
"Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai A sebaris?
Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.
Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns'n Roses]
Deras musim menumbuk langit tak berangka
Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
Telah kukirim berjuta surat-elektronika
Apakah Y!Mail mengantar ke alamat salah?
Subscribe to:
Posts (Atom)