Showing posts with label dongengkopi. Show all posts
Showing posts with label dongengkopi. Show all posts

Tuesday, November 9, 2010

[ Dongeng Kopi #005 ] Cinta yang Sempurna

KEKASIH yang sempurna? Atau Cinta yang tak bercela? Yang pertama terdengar mustahil kita temukan. Yang kedua kita yang mengupayakannya agar tercipta seperti itu di hati kita. Ah, "Kita banyak menyia-nyiakan waktu mencari kekasih yang sempurna, ketimbang menumbuhkan Cinta yang sempurna!" kata Tom Robbins. Pasti itu tertulis di salah satu novel atau buku esainya.
  
Yang pertama? Kita mencarinya. Kita berharap itu datang pada kita. Kita menduga itu ada pada orang lain, di luar diri kita. Kita mungkin akan kecewa. Yang kedua? Kita yang mengaturnya dalam diri kita. Kita yang memilih tempat tumbuhnya, kita yang menyiang gulmanya, kita yang mengatur serindang apa tumbuhnya, kita yang mengizinkan separah apa durinya melukai kita.


Sepedih itukah? Ah, tidak juga. Aku dan kopiku, kami adalah sepasang kekasih yang sempurna dan kami punya Cinta yang juga sempurna. Kami tak saling melukai, kami tak saling mencemburui! Ah....

Sunday, November 7, 2010

[ Dongeng Kopi #004 ] Hati, Otak, Cinta, dan Kopi

PENULIS (ia menulis puisi dan juga prosa) Pierre-Jules Renard alias Jules Renard (1864-1910) - punya perumpamaan yang unik untuk Cinta.

“Cinta," katanya dalam satu kalimatnya yang termasyhur, "seperti jam pasir. Ketika hati semakin penuh terisi, otak pun semakin kosong!"

Hati dan otak, seperti dua sisi tabung yang dihubungkan oleh celah kecil. Pasir yang menakar waktu itu, seperti Cinta, tak akan mengisi penuh sekaligus kedua sisi tabung itu. Begitukah, Tuan Renard?

Saya bayangkan kalimat itu tercetus saat ia mulai rajin ikut menghabiskan waktu di kafe-kafe di Paris dan di situ sejumlah penulis membicarakan perihal sastra, dan mereka menulis untuk surat kabar Parisian. Tentu saja saat itu mereka sambil menghirup kopi!

Kopiku, hmm, maksud saya cintaku pada kopiku, tidak seperti itu rasanya. Semakin hatiku terisi oleh Cinta padanya, rasanya semakin aku menemukan alasan rasional di otakku untuk Cintaku pada kopiku itu. Maaf, Tuan Renard. Rumusanmu tentang Cinta itu, mungkin berlaku untuk Cinta kepada hal lain saja, ya. []

 

[ Dongeng Kopi # 003 ] Cinta Datang Bila Kau Singkirkan Penghalangnya

TUGAS kita, kata Jalaluddin Rumi - bukanlah mencari-cari Cinta, tapi mencari dan menemukan seluruh penghalang yang kita bangun di dalam diri yang menghalangi-halangi datangnya Cinta itu. Lalu, tentu saja, kita rubuhkan ia.

Rumi, penyair Persia itu, ia bahkan telah meruntuhkan batas antara kepada cinta makhluk dan khalik. Ia bahkan telah menyatukan antara Cinta yang banal dan sakral. Haruskah Cinta itu berarti saling memiliki? Bukankah Tuhan, akan terus memiliki kita dengan atau tanpa kita mencintai-Nya?

Ah, Rumi! Dia juga yang pernah berkata bahwa Cinta tak tertulis di kertas, karena tulisan di kertas bisa dihapus.Cinta juga tak terukir di batu, karena batu bisa hancur. Cinta terpahat di hati dan di sana ia kekal selamanya.

O, kopi ini, pagi ini, aku merasakannya tidak lagi dengan lidahku saja. Aku menikmatinya dengan hatiku! Kau mau?

Sunday, October 31, 2010

[ Dongeng Kopi #002 ] Lagu yang Hanya Kau yang Mendengar

DIA, Roy Croft namanya, adalah penyair misterius. Mungkin dia tidak pernah ada. Orang menebak-nebak saja bahwa ia pernah hidup antara 1905-1980. Bait-bait sajaknya selalu - ya, hampir selalu hadir - dalam khotbah pemberkatan pernikahan.

Kalau kau mendengar pendeta berkata: "Aku mencintaimu bukan karena siapa engkau, tapi karena siapa aku ketika aku bersama engkau!" - itu adalah petikan sajak Roy Croft.

Juga kalau kau mendengar kalimat: Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, atau karena pakaiannya, atau karena mobil mewahnya, tapi karena dia menyanyikan lagu yang hanya kau yang bisa mendengarkannya."

Hmm, aku sedang mendengarkan lagu dari segelas kopi. Ah, ya, aku juga sedang bernyanyi, mengikuti lagu itu! Kau dengarkah? []

Saturday, October 30, 2010

[ Dongeng Kopi # 001] Bodoh Bersama Cinta

SAYA kira, penyair Prancis yang lahir pada 1871, itu benar-benar benar, Kawan. Cinta itu, kata Paul Valery, adalah semacam kesepakatan untuk menjadi bodoh bersama-sama. Bodoh? Mungkin yang ia maksud adalah menyingkirkan dulu logika. 

Bukankah memang itu yang terjadi ketika kita jatuh cinta? Bukankah ketika kita jatuh cinta, kita kerap jadi orang yang berakal pendek? Bukankah banyak tokoh -  kita bisa membacanya dalam berbagai kisah - terberanikan oleh tenaga cintanya? 

Saya mau buat kesimpulan sendiri, dan kau boleh tidak setuju, Kawan. Begini: Ketika kau jatuh cinta, kau mencintai seseorang, dan kau masih bisa memberdayakan logika akalmu, maka kukira kau belum benar-benar mencintai dia. Aku akan meragukan cintamu itu, Kawan. Ha ha ha. Ayo, tambah kopimu![]