MESKIPUN keberhasilannya sebagai penyanyi tampaknya meroket dengan cepat, bagi Afgansyah Reza tak ada proses sukses yang instan. Tapi penyanyi berlesung pipit itu percaya pada keberuntungan. Ia bercermin pada perjalanannya sendiri. Tak banyak yang tahu bahwa Afgan pernah menjajal Indonesia Idol tapi tak lolos bahkan ketika masih di tahap seleksi awal.
Bakatnya ditemukan justru saat ia iseng merekam suaranya saat menyanyi karaoke lagu "Ordinary People"-nya John Legend, dan merekamnya di WannaB Instant Recording Studio. Baginya, itu adalah lagu yang bersejarah. Oleh si pemilik studio itu cowok berkaca mata ini langsung ditawari rekaman.
"Timing-nya gak bisa lebih baik lagi. Itu semua tanpa sengaja. Tapi semuanya gak instan juga. Saya melewati banyak proses juga," katanya saat berbincang dengan Batam Pos di Ratu Platinum, Panorama Regency, beberapa jam sebelum tampil di A Party yang disponsori oleh Sampoerna A Mild tadi malam.
Afgan tidak menilai bahwa kontes-kontes menjadi bintang itu tidak efektif. "Balik ke pesertanya. Kalau kita lihat American Idol kan, bahkan yang sepuluh besarnya aja, bisa menang Oscar. Jadi jalur idol itu buat saya sih sarana aja. Kayak traininglah," kata lelaki kelahiran Jakarta, di Jakarta, 27 Mei 1989 ini.
Afgan kini menuntut ilmu di Monash University Malaysia. Bagaimana dia mengatur jadwal, sementara permintaan tampil lebih banyak di tanah air? "Oh, saya didukung manajemen yang baik. Koordinasinya bagus banget. Setahun di Malaysia paling-paling hanya dua atau tiga kali jadwal yang miss," katanya.
Afgan mengaku ia sendiri yang banyak memutuskan tawaran mana yang diterima. "Semua keputusan saya. Ada tawaran di manapun, harus nyanyi lagu apa, keputusan saya," katanya.
Lahir dari Ibu dan Ayah berdarah Minang membuat selera makan penyanyi Afgansyah Reza susah berubah. "Saya ini Minang banget. Ke mana-mana saya gak bisa makan kalau bukan nasi padang. Untungnya di KL juga ada," katanya sambil menyebut satu nama restoran padang terkenal yang buka cabang di sana.[]
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, November 18, 2011
Wednesday, November 16, 2011
Apa yang Kulihat pada Linimasa Seseorang yang Selalu Menulis dengan Huruf Kecil tentang Apa yang Mereka Saksikan dari Jendela Mereka
1. ADA seseorang yang entah di mana, dia melihat kebun binantang langit, dan awan-awan adalah hewan jinak yang lucu. Apakah kau melihat langit dan awan-awan itu juga? Di jendelaku, langit seperti kanvas di sudut kamar, lukisan yang gagal. Dan awan adalah bercak-bercak lumpur besar, atau gagak yang menabrakkan diri ke dinding kaca gedung besar.
2. Ada seseorang yang entah di mana, dia yang melihat seorang karyawan dan seorang karyawan lain, bergunjing tentang seorang karyawan lainnya. Siapa yang sedang sendiri engkau gunjingkan? Pasti itu bukan aku. Aku adalah beban nama yang mudah sekali terlupa. Sedang sepi di kamar ini pun tak mengakui bahwa aku ada, apakah lagi membicarakanku.
3. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat anak-anak kecil bermain, berkejar-kejaran dengan bayangan mereka sendiri. Kita belum sepakati, kau adalah bayanganku? Atau aku adalah bayanganmu? Kita saling membayangi, dan lalu jauh lari. Aku tak mengejar engkau. Dan engkau tak mengejar aku. Jarak pun gembira bersorak!
4. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat seekor burung dan seekor burung lainnya terbang, saling susul. Lalu dedaunan menyembunyikan mereka, seperti sapu tangan tukang sulap di sebuah pertunkan sirkus yang pernah kita tonton. "Aku ingin, kita hilang," katamu, dulu. "Lalu kita menjelma jadi sepasang orang lain, dengan cinta yang sama," kataku. Engkau, amat ragu, mengiyakannya. Dan aku tidak memaksa.
5. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat gubuk kayu di samping musala yang juga kayu dan disekitari oleh sehamparan sawah. Kalau misalnya kita tersesat juga ke sana, itu bukan tersesat namanya. Itu seperti terdampar di sebuah surga. Aku akan betah saja. Tapi, kau? Kau ingin Tuhan mengutuk dan mengusir kita. Itu sebabnya kau begitu ingin berdosa.
2. Ada seseorang yang entah di mana, dia yang melihat seorang karyawan dan seorang karyawan lain, bergunjing tentang seorang karyawan lainnya. Siapa yang sedang sendiri engkau gunjingkan? Pasti itu bukan aku. Aku adalah beban nama yang mudah sekali terlupa. Sedang sepi di kamar ini pun tak mengakui bahwa aku ada, apakah lagi membicarakanku.
3. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat anak-anak kecil bermain, berkejar-kejaran dengan bayangan mereka sendiri. Kita belum sepakati, kau adalah bayanganku? Atau aku adalah bayanganmu? Kita saling membayangi, dan lalu jauh lari. Aku tak mengejar engkau. Dan engkau tak mengejar aku. Jarak pun gembira bersorak!
4. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat seekor burung dan seekor burung lainnya terbang, saling susul. Lalu dedaunan menyembunyikan mereka, seperti sapu tangan tukang sulap di sebuah pertunkan sirkus yang pernah kita tonton. "Aku ingin, kita hilang," katamu, dulu. "Lalu kita menjelma jadi sepasang orang lain, dengan cinta yang sama," kataku. Engkau, amat ragu, mengiyakannya. Dan aku tidak memaksa.
5. Ada seseorang yang entah di mana, dia melihat gubuk kayu di samping musala yang juga kayu dan disekitari oleh sehamparan sawah. Kalau misalnya kita tersesat juga ke sana, itu bukan tersesat namanya. Itu seperti terdampar di sebuah surga. Aku akan betah saja. Tapi, kau? Kau ingin Tuhan mengutuk dan mengusir kita. Itu sebabnya kau begitu ingin berdosa.
Aku ingin Engkau Menyederhanakan Aku
AKU ingin engkau menyederhanakan aku dengan cintamu. Seperti terima kasih sawah kepada hujan, yang dengan itu ia tumbuhkan padi-padi.
Aku ingin engkau menyederhanakan aku dengan cintamu. Seperti doa rumput bagi tanah, yang menghidupinya dan yang ia suburkan.
Aku ingin engkau menyederhanakan aku dengan cintamu. Seperti kerja matahari: terbit-tenggelam, membuat hari bernama pagi, siang, petang, dan malam.
I want You to Simplify Me
I want you to simplify me with your love. Like the gratitude of paddy field to rain, with which it grew rice.
I want you to simplify me with your love. Like the prayer said by grass for the soil, which gave it life and in turn, enlivens.
I want you to simplify me with your love. Like works of the sun: rising-setting, giving names to morning, noon, eve and night.
(translated by Gilda Sagrado)
Aku ingin engkau menyederhanakan aku dengan cintamu. Seperti doa rumput bagi tanah, yang menghidupinya dan yang ia suburkan.
Aku ingin engkau menyederhanakan aku dengan cintamu. Seperti kerja matahari: terbit-tenggelam, membuat hari bernama pagi, siang, petang, dan malam.
I want You to Simplify Me
I want you to simplify me with your love. Like the gratitude of paddy field to rain, with which it grew rice.
I want you to simplify me with your love. Like the prayer said by grass for the soil, which gave it life and in turn, enlivens.
I want you to simplify me with your love. Like works of the sun: rising-setting, giving names to morning, noon, eve and night.
(translated by Gilda Sagrado)
Wednesday, November 9, 2011
[kolom] Pelajaran dari Seeorang yang berkata, "Saya Ini Orang Bodoh"
SEHABIS pemakaman mamaku, aku bertemu dengannya. Dia tak banyak berubah, selalu berpakaian sederhana, juga di saat-saat penting seperti pemakaman ini. Penampilannya seperti hendak pergi ke kebun: baju batik lusuh yang warnanya sudah sangat pudar, celana dengan ujung yang gantung dan lipatan di ujung bawah pipa celananya itu koyak.
Begitulah memang dia sejak kukenal dulu, selagi aku masih kanak-kanak. Ia selalu tampil dengan sangat sederhana, kecuali apa yang ia kenakan di kepalanya. Ya, pecinya. Pada saat-saat penting, misalnya kenduri, perayaan hari-hari besar Islam di masjid besar kampung kami, atau pada hari Jumat, ia selalu memakai peci terbaik, yang selalu tampak baru. Peci itu sedikit membantu kebagusan penampilannya tapi sama sekali tak bisa menyelamatkannya dari salah duga orang yang baru bertemu atau mengenal dia.
Orang akan mudah mengira dia hanyalah lelaki tukang ambil upah. Itu adalah pekerjaan paling rendah dalam struktur sosial di kampung kami. Itu tidak sepenuhnya salah. Dia dulu, bertahun-tahun, sejak memulai hidup, beristri, beranak, adalah tukang ambil upah.
Memang itulah pekerjaan dia. Di kampung kami, di mana kesejahteraan bersumber dari kebun kelapa, banyak tersedia pekerjaan untuk orang upahan. Dari menebas gulma, hingga mengupas sabut buah kelapa. Di antaranya tersedia pekerjaan bagi pemanjat kelapa saat panen, pengangkut buah kelapa dengan lanjung-lanjung rotan, menghanyutkan buah kelapa di sungai hingga sampai ke muara. Itu pekerjaan rutin. Kelapa dipanen berkala setiap tiga bulan.
Saya memanggilnya Paman Penanam Pisang. Setiap kali pulang dari pekerjaan mengambil upah, dia meluangkan waktu untuk mencari tunas anak pisang. Di tanah-tanah kosong di antara pohon-pohon kelapa, atau di sepanjang parit-parit irigasi, dan di batas-batas petak kebun-kebun kelapa di kampung kami, oleh pemilik yang rajin, akan ditanami pohon pisang. Hasil panen pisang, tidak seberapa, dibandingkan tanaman utama kelapa. Tapi, itu jauh lebih baik daripada lahan-lahan kosong itu dibiarkan sama sekali kosong.
Paman Penanam Pisang melihat peluang itu. Di lahan kosong kebun, dengan seizin pemiliknya, ia tanami pohon pisang. Kelak hasilnya ia bagi, tapi ada juga pemilik kebun yang mengikhlaskan saja seluruh hasil pisang itu kepada Paman Penanam Pisang. Dengan cara itulah ia mengubah kehidupannya. Ia sekarang bukan lagi hanya seorang tukang ambil upah. Ia sekarang pemilik kebun kelapa terluas di kampung kami.
Secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah. Ia sudah naik ke tingkat tertinggi dalam struktur kehidupan orang kampung kami, ia sekarang termasuk salah seorang pemilik kebun kelapa terluas, sudah naik haji - inilah mimpi dan cita-cita tertinggi penduduk kampung kami, meskipun seringkali itu menjadi sumber bencana terbesar.
Ya, secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah, meskipun secara penampilan fisik ia sama sekali tak berubah: ia tetap sederhana, dengan baju dan celana lusuh, seakan hendak berangkat atau pulang dari kerja mengambil upah, seperti penampilannya sejak dulu aku mengenalnya.
“Paman nanti malam ikut tahlilan dan mengaji di rumah kami?” tanyaku setelah menyalami, dan kami berpelukan, seusai pemakaman ibuku.
“Pasti saya akan datang. Saya berutang banyak pada almarhumah mamamu,” katanya, dan aku mengikuti pandangannya ke arah gundukan tanah segar, yang baru saja, beberapa menit lalu, menimbun jenazah ibuku. Dua kayu ulin sebagai nisan ditancapkan di gundukan itu. Pada salah satunya lewat pahatan yang diolesi kapur, terbaca nama ibuku, tahun lahir, dan tanggal kematiannya. Rangkaian janur, dan untaian bunga di serat-serat pelepah batang pisang tergantung di kedua nisan itu, dan sebagaian lainnya terhampar menutupi gundukan tanah.
“Bukan utang uang atau harta. Saya berutang pelajaran bagaimana membangun hidup. Jika tidak karena pelajaran dari ibumu itu, dan jika bukan karena dorongan semangat dari ayahmu, saya tidak akan bisa mengubah nasib saya, menjadi seperti sekarang ini,” kata Paman Penanam Pisang dengan senyum yang selalu ada di wajahnya, seakan mengisyaratkan bahwa selalu ada rasa bahagia di hatinya.
***
KAMI – di kampung kami - memulai rangkaian tahlilan sejak magrib, dan berakhir setelah Isya. Di rumah kami, jemaah sudah berkumpul sejak magrib. Setelah salat magrib berjamaah, diteruskan salat hadiah, lalu membaca surah Yasiin, kemudian dirangkai dengan tahlil dan doa arwah. Kami menyediakan santap malam sekadarnya. Setelah itu, jemaah satu per satu pamit, kecuali keluarga dekat yang masih bertahan, meneruskan obrolan yang begitu asyiknya, kadang-kadang sampai jauh malam.
Aku mengumpulkan buku surah Yasiin, melipat kain-kain batik peninggalan Ibu yang dibentang jadi kain sembahyang. Saya menciumi wangi mori kain batik itu, seperti dulu ketika puluhan tahun lalu dibeli oleh Ibu dari penjual kain keliling, dengan mencicil. Kain batik yang sama, menudungi liang lahat saat jenazah mama dikebumikan. Begitulah dulu keinginan mama. “Kalau aku mati nanti, aku mau liang lahatku dinaungi kain yang kubeli sendiri,” kata Mama.
Saya melihat Paman Penanam Pisang duduk dengan nyaman di sudut, sedang berbicara dengan abah yang sesekali harus berdiri menyalami tamu jemaah tahlilan yang pamit. Paman Penanam Pisang selalu memilih tempat duduk yang membuat kehadirannya tak teperhatikan. Begitulah selalu dia. Tak pernah ingin menonjolkan diri. Tak pernah mengambil bagian banyak dalam pembicaraan-pembicaraan di keluarga kami. Aku menghampirinya, menyalaminya, dan memintanya berdiri. Dia mengikutiku. Aku membawanya duduk ke tengah ruangan rumah.
“Sebentar,” kataku, “saya ingin malam ini kita mendengarkan cerita Paman Penanam Pisang tentang almarhum Mama kami.” Paman Penanam Pisang tersipu-sipu. Malu. Orang-orang, sepupuku, paman-pamanku yang lain, bibi-bibi yang sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur, sudah berkumpul semuanya di ruangan tengah rumah kami.
Paman semakin gugup. Ia tak terbiasa bicara di depan orang banyak. “Ah, anak kemenakanku yang satu ini ada-ada saja. Saya tak bisa bicara. Saya ini orang bodoh. Dari dulu, semua orang di kampung ini tahu, saya hanya seorang lelaki yang bodoh,” kata Paman.
“Tadi sehabis pemakaman almarhumah mama kami, paman sekilas bilang berutang besar pada Mama kami. Saya kira Paman bisa ceritakan itu saja, apa sebenarnya utang paman kepada Mama kami,” kata saya, memancingnya membuka pembicaraan. Saya lihat dia mulai tenang, dan tetap dengan senyumnya, dia memandangi saya, lalu menatap ke semua keluarga yang kini memperhatikan dia.
“Ya, saya ingin orang yang bodoh. Sekolah SD tidak tamat. Hampir di setiap kelas saya pernah tidak naik. Di setiap kelas saya harus jalani dua tahun. Sepuluh tahun saya baru selesaikan kelas 5. Begitu sampai di kelas enam saya merasa sudah sangat tua. Saya malu, dan akhirnya saya berhenti.
“Tidak ada yang membanggakan pada saya. Semua keluarga pasti malu mengakui bahwa saya adalah sepupu, atau kemenakan mereka. Para kemenakan juga tak ada yang bangga mengaku saya sebagai pamannya.
“ Tidak ada harapan bagi saya. Kecuali satu hal: saya tidak malas. Dan itulah yang selalu diingatkan oleh almarhumah Kakak, almarhum mamamu,” katanya. Ketika menyebut mama dia mengarahkan wajah ke saya. Saya tersenyum dan menangkap ketulusan pada ucapan itu.
“Kakak selalu bilang, Tuhan memberi kepintaran yang berbeda-beda. Tapi itu bukan untuk merendahkan yang satu di hadapan yang lain. Kepintaran hanyalah satu syarat untuk membangun kehidupan yang berhasil baik, ada satu modal penting lain yang sepenuhnya tergantung pada kita: mengatasi kemalasan.
“Kakak selalu bilang, orang pintar tapi malas tidak akan pernah jadi orang yang berhasil. Jauh lebih baik orang yang dianggap bodoh, atau memang bodoh seperti saya, tapi dia lawan kemalasannya. Itu membuat dia bisa menjadi orang yang berhasil dan punya kelak kehidupan yang baik dan nyaman.
“ Saya tahu kakak bukan orang yang bodoh. Dia hanya tidak punya kesempatan menempuh pendidikan resmi di sekolah. Tapi, saya tahu persis, kakak bukan orang yang malas. Saya belajar dari dia. Dalam banyak hal, saya meniru dia. Itu yang perlahan-lahan mengubah hidup saya, membawa saya menemukan harga diri saya. Itulah utang terbesar saya pada almarhumah kakak.
Semua keluarga yang masih ada di ruangan tengah rumah kami terdiam. Tenggalam dalam kenangan masing-masing terhadap almarhumah mama. Demikian juga aku. Paman Penanam Pisang merasa tidak nyaman dan merasa sudah terlalu banyak bicara. Ia sendiri tampaknya tidak percaya bisa bicara sepanjang itu. Dia salah tingkah dan pamit pulang. “Besok pagi-pagi saya mau menebang pisang,” katanya.[]
:: Kolom ini adalah bagian awal dari novel berjudul “Paman Penanam Pisang”.
Begitulah memang dia sejak kukenal dulu, selagi aku masih kanak-kanak. Ia selalu tampil dengan sangat sederhana, kecuali apa yang ia kenakan di kepalanya. Ya, pecinya. Pada saat-saat penting, misalnya kenduri, perayaan hari-hari besar Islam di masjid besar kampung kami, atau pada hari Jumat, ia selalu memakai peci terbaik, yang selalu tampak baru. Peci itu sedikit membantu kebagusan penampilannya tapi sama sekali tak bisa menyelamatkannya dari salah duga orang yang baru bertemu atau mengenal dia.
Orang akan mudah mengira dia hanyalah lelaki tukang ambil upah. Itu adalah pekerjaan paling rendah dalam struktur sosial di kampung kami. Itu tidak sepenuhnya salah. Dia dulu, bertahun-tahun, sejak memulai hidup, beristri, beranak, adalah tukang ambil upah.
Memang itulah pekerjaan dia. Di kampung kami, di mana kesejahteraan bersumber dari kebun kelapa, banyak tersedia pekerjaan untuk orang upahan. Dari menebas gulma, hingga mengupas sabut buah kelapa. Di antaranya tersedia pekerjaan bagi pemanjat kelapa saat panen, pengangkut buah kelapa dengan lanjung-lanjung rotan, menghanyutkan buah kelapa di sungai hingga sampai ke muara. Itu pekerjaan rutin. Kelapa dipanen berkala setiap tiga bulan.
Saya memanggilnya Paman Penanam Pisang. Setiap kali pulang dari pekerjaan mengambil upah, dia meluangkan waktu untuk mencari tunas anak pisang. Di tanah-tanah kosong di antara pohon-pohon kelapa, atau di sepanjang parit-parit irigasi, dan di batas-batas petak kebun-kebun kelapa di kampung kami, oleh pemilik yang rajin, akan ditanami pohon pisang. Hasil panen pisang, tidak seberapa, dibandingkan tanaman utama kelapa. Tapi, itu jauh lebih baik daripada lahan-lahan kosong itu dibiarkan sama sekali kosong.
Paman Penanam Pisang melihat peluang itu. Di lahan kosong kebun, dengan seizin pemiliknya, ia tanami pohon pisang. Kelak hasilnya ia bagi, tapi ada juga pemilik kebun yang mengikhlaskan saja seluruh hasil pisang itu kepada Paman Penanam Pisang. Dengan cara itulah ia mengubah kehidupannya. Ia sekarang bukan lagi hanya seorang tukang ambil upah. Ia sekarang pemilik kebun kelapa terluas di kampung kami.
Secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah. Ia sudah naik ke tingkat tertinggi dalam struktur kehidupan orang kampung kami, ia sekarang termasuk salah seorang pemilik kebun kelapa terluas, sudah naik haji - inilah mimpi dan cita-cita tertinggi penduduk kampung kami, meskipun seringkali itu menjadi sumber bencana terbesar.
Ya, secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah, meskipun secara penampilan fisik ia sama sekali tak berubah: ia tetap sederhana, dengan baju dan celana lusuh, seakan hendak berangkat atau pulang dari kerja mengambil upah, seperti penampilannya sejak dulu aku mengenalnya.
“Paman nanti malam ikut tahlilan dan mengaji di rumah kami?” tanyaku setelah menyalami, dan kami berpelukan, seusai pemakaman ibuku.
“Pasti saya akan datang. Saya berutang banyak pada almarhumah mamamu,” katanya, dan aku mengikuti pandangannya ke arah gundukan tanah segar, yang baru saja, beberapa menit lalu, menimbun jenazah ibuku. Dua kayu ulin sebagai nisan ditancapkan di gundukan itu. Pada salah satunya lewat pahatan yang diolesi kapur, terbaca nama ibuku, tahun lahir, dan tanggal kematiannya. Rangkaian janur, dan untaian bunga di serat-serat pelepah batang pisang tergantung di kedua nisan itu, dan sebagaian lainnya terhampar menutupi gundukan tanah.
“Bukan utang uang atau harta. Saya berutang pelajaran bagaimana membangun hidup. Jika tidak karena pelajaran dari ibumu itu, dan jika bukan karena dorongan semangat dari ayahmu, saya tidak akan bisa mengubah nasib saya, menjadi seperti sekarang ini,” kata Paman Penanam Pisang dengan senyum yang selalu ada di wajahnya, seakan mengisyaratkan bahwa selalu ada rasa bahagia di hatinya.
***
KAMI – di kampung kami - memulai rangkaian tahlilan sejak magrib, dan berakhir setelah Isya. Di rumah kami, jemaah sudah berkumpul sejak magrib. Setelah salat magrib berjamaah, diteruskan salat hadiah, lalu membaca surah Yasiin, kemudian dirangkai dengan tahlil dan doa arwah. Kami menyediakan santap malam sekadarnya. Setelah itu, jemaah satu per satu pamit, kecuali keluarga dekat yang masih bertahan, meneruskan obrolan yang begitu asyiknya, kadang-kadang sampai jauh malam.
Aku mengumpulkan buku surah Yasiin, melipat kain-kain batik peninggalan Ibu yang dibentang jadi kain sembahyang. Saya menciumi wangi mori kain batik itu, seperti dulu ketika puluhan tahun lalu dibeli oleh Ibu dari penjual kain keliling, dengan mencicil. Kain batik yang sama, menudungi liang lahat saat jenazah mama dikebumikan. Begitulah dulu keinginan mama. “Kalau aku mati nanti, aku mau liang lahatku dinaungi kain yang kubeli sendiri,” kata Mama.
Saya melihat Paman Penanam Pisang duduk dengan nyaman di sudut, sedang berbicara dengan abah yang sesekali harus berdiri menyalami tamu jemaah tahlilan yang pamit. Paman Penanam Pisang selalu memilih tempat duduk yang membuat kehadirannya tak teperhatikan. Begitulah selalu dia. Tak pernah ingin menonjolkan diri. Tak pernah mengambil bagian banyak dalam pembicaraan-pembicaraan di keluarga kami. Aku menghampirinya, menyalaminya, dan memintanya berdiri. Dia mengikutiku. Aku membawanya duduk ke tengah ruangan rumah.
“Sebentar,” kataku, “saya ingin malam ini kita mendengarkan cerita Paman Penanam Pisang tentang almarhum Mama kami.” Paman Penanam Pisang tersipu-sipu. Malu. Orang-orang, sepupuku, paman-pamanku yang lain, bibi-bibi yang sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur, sudah berkumpul semuanya di ruangan tengah rumah kami.
Paman semakin gugup. Ia tak terbiasa bicara di depan orang banyak. “Ah, anak kemenakanku yang satu ini ada-ada saja. Saya tak bisa bicara. Saya ini orang bodoh. Dari dulu, semua orang di kampung ini tahu, saya hanya seorang lelaki yang bodoh,” kata Paman.
“Tadi sehabis pemakaman almarhumah mama kami, paman sekilas bilang berutang besar pada Mama kami. Saya kira Paman bisa ceritakan itu saja, apa sebenarnya utang paman kepada Mama kami,” kata saya, memancingnya membuka pembicaraan. Saya lihat dia mulai tenang, dan tetap dengan senyumnya, dia memandangi saya, lalu menatap ke semua keluarga yang kini memperhatikan dia.
“Ya, saya ingin orang yang bodoh. Sekolah SD tidak tamat. Hampir di setiap kelas saya pernah tidak naik. Di setiap kelas saya harus jalani dua tahun. Sepuluh tahun saya baru selesaikan kelas 5. Begitu sampai di kelas enam saya merasa sudah sangat tua. Saya malu, dan akhirnya saya berhenti.
“Tidak ada yang membanggakan pada saya. Semua keluarga pasti malu mengakui bahwa saya adalah sepupu, atau kemenakan mereka. Para kemenakan juga tak ada yang bangga mengaku saya sebagai pamannya.
“ Tidak ada harapan bagi saya. Kecuali satu hal: saya tidak malas. Dan itulah yang selalu diingatkan oleh almarhumah Kakak, almarhum mamamu,” katanya. Ketika menyebut mama dia mengarahkan wajah ke saya. Saya tersenyum dan menangkap ketulusan pada ucapan itu.
“Kakak selalu bilang, Tuhan memberi kepintaran yang berbeda-beda. Tapi itu bukan untuk merendahkan yang satu di hadapan yang lain. Kepintaran hanyalah satu syarat untuk membangun kehidupan yang berhasil baik, ada satu modal penting lain yang sepenuhnya tergantung pada kita: mengatasi kemalasan.
“Kakak selalu bilang, orang pintar tapi malas tidak akan pernah jadi orang yang berhasil. Jauh lebih baik orang yang dianggap bodoh, atau memang bodoh seperti saya, tapi dia lawan kemalasannya. Itu membuat dia bisa menjadi orang yang berhasil dan punya kelak kehidupan yang baik dan nyaman.
“ Saya tahu kakak bukan orang yang bodoh. Dia hanya tidak punya kesempatan menempuh pendidikan resmi di sekolah. Tapi, saya tahu persis, kakak bukan orang yang malas. Saya belajar dari dia. Dalam banyak hal, saya meniru dia. Itu yang perlahan-lahan mengubah hidup saya, membawa saya menemukan harga diri saya. Itulah utang terbesar saya pada almarhumah kakak.
Semua keluarga yang masih ada di ruangan tengah rumah kami terdiam. Tenggalam dalam kenangan masing-masing terhadap almarhumah mama. Demikian juga aku. Paman Penanam Pisang merasa tidak nyaman dan merasa sudah terlalu banyak bicara. Ia sendiri tampaknya tidak percaya bisa bicara sepanjang itu. Dia salah tingkah dan pamit pulang. “Besok pagi-pagi saya mau menebang pisang,” katanya.[]
:: Kolom ini adalah bagian awal dari novel berjudul “Paman Penanam Pisang”.
Tuesday, November 8, 2011
Kwatrin tentang Duka yang Bersih
DUKA yang bersih
Terbasuh basah tangisan
Tangis yang menagih
Tak terbayar kehilangan
Aku mengejar dengan tiket yang ragu
Menembus dua wilayah waktu
"Aku tak ingin menangis, Ibu"
"Aku tak lagi bisa tertawa, Anakku"
Terbasuh basah tangisan
Tangis yang menagih
Tak terbayar kehilangan
Aku mengejar dengan tiket yang ragu
Menembus dua wilayah waktu
"Aku tak ingin menangis, Ibu"
"Aku tak lagi bisa tertawa, Anakku"
Sunday, November 6, 2011
[Ruang Renung # 258] Sebuah Pengakuan yang Indah
PERKENALAN pertama saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dengan sejumlah senja. Demikian Goenawan Mohamad menulis di esainya "Fragmen: Peristiwa" (Puisi dan Antipuisi, 2011). Ini sebuah pengakuan yang indah. Mari kita telusuri keindahannya dari kutipan selanjutnya berikut ini.
Ketika umur saya velum belasan tahun, kata Goenawan, saya sering mendengarkan para nelayan bernyanyi di sebuah tikungan sungai tak jauh dari rumah kami, ketika hari lewat magrib. Mereka mulai mendayung perahu mereka ke arah muara. Dengan mata saya yang rabun, saya tak pernah dapat melihat mereka dengan jelas, apalagi ketika perahu bergerak menjauh. Gelap memang sudah mulai menutupi.
Pakain mereka umumnya coklat tua, terbuat dari kain belacu kasar yang dicelup tungu, pewarna dari kulit kayu hutan. Perahu agak besar untuk 16 orang itu hanya diberi dua atau tiga lampu petromaks, di antaranya di buritan, di bawah tiang kedua yang dihiasi dengan ukiran kayu sesosok tubuh Mahabharata. Di dapur yang terbuka dua-tiga anak yang dibawa ke laut mulai memasang tungku, menanak nasi. Dan orang-orang dewasa mendayung, sambil menyanyi.
Seseorang akan melantangkan suaranya, solo, dan tiap kali, ambil dayung panjang itu diempaskan, awak yang kain akan menyahut dalam paduan suara.
Apa yang mereka lagukan hanya sepatah-sepatah saya tangkap. Mereka mengubah-ubahnya tiap kali di sana-sini. Tapi selalu ada sugesti erotik, juga melankoli, pada pelbagai baris. Tubuh perempuan. Si jantan yang tak beruang. Nama kembang sebagai metafor. Seorang tokoh dari cerita Damarwulan. Yang sayu bertaut dengan yang bergairah, yang cemas berjalin dengan yang nikmat dan bebas, dan suasana bergema itu seakan-akan tengah merayakan kebersamaan dalam kerja dan tualang--- tapi tak satu pun yang sebenarnya saya pahami. Lagi pula, inilah yang terjadi tiap kali: berangsur-angsur kata-kata itu akan makin terdengar lamat-lamat.
Ketika kemudian saya mengenal dan menyukai puisi, suara nyanyian menuju muara itulah yang selalu saya ingat. Puisi datang pertama kali kepada saya melalui nadanya, suara yang bergerak menjauh, ketika hari tiga perempat gelap. []
Ketika umur saya velum belasan tahun, kata Goenawan, saya sering mendengarkan para nelayan bernyanyi di sebuah tikungan sungai tak jauh dari rumah kami, ketika hari lewat magrib. Mereka mulai mendayung perahu mereka ke arah muara. Dengan mata saya yang rabun, saya tak pernah dapat melihat mereka dengan jelas, apalagi ketika perahu bergerak menjauh. Gelap memang sudah mulai menutupi.
Pakain mereka umumnya coklat tua, terbuat dari kain belacu kasar yang dicelup tungu, pewarna dari kulit kayu hutan. Perahu agak besar untuk 16 orang itu hanya diberi dua atau tiga lampu petromaks, di antaranya di buritan, di bawah tiang kedua yang dihiasi dengan ukiran kayu sesosok tubuh Mahabharata. Di dapur yang terbuka dua-tiga anak yang dibawa ke laut mulai memasang tungku, menanak nasi. Dan orang-orang dewasa mendayung, sambil menyanyi.
Seseorang akan melantangkan suaranya, solo, dan tiap kali, ambil dayung panjang itu diempaskan, awak yang kain akan menyahut dalam paduan suara.
Apa yang mereka lagukan hanya sepatah-sepatah saya tangkap. Mereka mengubah-ubahnya tiap kali di sana-sini. Tapi selalu ada sugesti erotik, juga melankoli, pada pelbagai baris. Tubuh perempuan. Si jantan yang tak beruang. Nama kembang sebagai metafor. Seorang tokoh dari cerita Damarwulan. Yang sayu bertaut dengan yang bergairah, yang cemas berjalin dengan yang nikmat dan bebas, dan suasana bergema itu seakan-akan tengah merayakan kebersamaan dalam kerja dan tualang--- tapi tak satu pun yang sebenarnya saya pahami. Lagi pula, inilah yang terjadi tiap kali: berangsur-angsur kata-kata itu akan makin terdengar lamat-lamat.
Ketika kemudian saya mengenal dan menyukai puisi, suara nyanyian menuju muara itulah yang selalu saya ingat. Puisi datang pertama kali kepada saya melalui nadanya, suara yang bergerak menjauh, ketika hari tiga perempat gelap. []
Wednesday, November 2, 2011
Penemuan Terbesar Steve Jobs adalah: Dirinya Sendiri
SUNGGUH tidak enak menjadi seorang Steve Jobs (1955-2011), pada mulanya begitu. Dan sungguh membanggakan menjadi seorang Steve Jobs, pada akhirnya begitu.
Sejak awal ia adalah manusia yang tidak diharapkan lahir ke dunia. Beberapa lama dia juga tak tahu hendak menjadi apa. Kelahirannya tidak dikehendaki. Ibu dan ayah biologisnya masih mahasiswa di University of Wisconsin ketika janinnya berkembang. Orangtua si mahasiswi, tidak ingin anaknya menikah dengan lelaki keturunan Suriah bernama Abdulfattah Jandali, yang hingga si anak meninggal tak pernah saling bertemu. Jandali kini masih hidup dan bekerja di sebuah kasino.
Pilihannya hanya satu: aborsi! Si mahasiswi - Joanne Schieble memilih melahirkan bayinya. Diam-diam ia tinggalkan Wisconsin dan pergi ke San Francisco dan melahirkan di sana, lalu menyerahkan anak yang tak sempat ia beri nama itu pada pasangan Paul dan Clara Jobs - sebuah keluarga kelas pekerja yang dalam struktur ekonomi-sosial Amerika mungkin berada di level paling bawah.
Paul tak tamat SMA. Ia bekerja macam-macam: jadi penagih utang, tukang sita barang, dan masinis. Sementara Clara bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan teknologi canggih pertama di Lembah Silikon.
Meski dalam kontrak adopsi ada kesepakatan bahwa si orangtua angkat itu harus mengurus pendidikan si anak hingga selesai kuliah, nyatanya Steve Jobs hanya sempat duduk satu semester di kursi perguruan tinggi.
*
Paul dan Clara Jobs sempat ingin mengembalikan Steve Jobs, anak angkatnya yang ternyata sangat merepotkan. Steve kecil tumbuh sebagai anak yang gal-gal, temperamental. Tangannya pernah terbakar karena memasukkan jepitan rambut ke colokan listrik. Ia pernah minum racun semut, dan nyawanya selamat setelah isi perutnya dipompa.
“Dia anak yang menyusahkan,” kata Clara Jobs. Keluarga Jobs lalu pindah ke Mountain View dengan tekad mengubah nasib yang tak kunjung baik. Saat itu Steve kecil berusia tiga tahun. Paul menjajal usaha properti dan memperbaiki mobil-mobil.
Ketika kelas empat Steve yang tidak pintar – dan dengan putus asa pernah menjawab gurunya, Imogen Hill, begini: “Saya tak paham kenapa kami tiba-tiba begitu melarat.”
Saat itu gurunya bertanya kepada setiap murid, “Apa yang kamu tidak pahami di alam semesta ini?”
Sampai di situ, riwayat hidup Jobs tidak menjanjikan apa-apa. Di kelas ia usil, terlalu banyak bicara, dan kurang memperhatikan pelajaran. Belakangan Steve mengaku diselamatkan oleh guru Hill yang membayarnya lima dollar agar mau mengerjakan pekerjaan rumah dan membaca. Hill, guru yang jeli itu, melihat potensi besar di balik kenakalan anak didiknya itu. “Dia adalah salah satu penyelamat hidup saya,” kata Jobs, seperti ditulis Norman Seeff di majalah Rolling Stone (November, 2011).
*
Ketika SMA, tanpa merasa bersalah dan menutup-nutupi pada ayahnya, Steve menjadi pengguna mariyuana, pergi dari rumah dan hidup serumah dengan pacarnya. Sampai di titik itu, ia juga belum tahu hendak hidup sebagai apa, dan ia belum menemukan dirinya sendiri.
Steve lalu masuk kuliah di perguruan tinggi swasta Reed College, di Oregon. Itu hanya ia jalani selama enam bulan dan setelah itu ia merasa kuliah taka da gunanya. Ia merasa bersalah karena kuliah itu hanya akan menghabiskan tabungan orangtua angkatnya. Ia memilih berhenti. Lagipula sebagai mahasiswa Steve amat miskin. Ia tak bisa menyewa kamar asrama, dan tidur menumpang di lantai kamar kawan-kawannya, bergantian.
Putus kuliah, Steve secara iseng saja belajar kaligrafi. Diakuinya kelak, bekas pelajaran kaligrafi itulah yang membuat produk Apple sangat kuat secara desain, dan komputer Mac menyediakan jenis-jenis font yang indah.
Saat kosong kuliah itulah, ia juga berkenalan dengan ajaran spiritual Neem Karoli Baba, hingga melakukan perjalanan ke India untuk menemui sang guru spiritual itu. Pertemuan itu tak pernah terjadi karena sang guru meninggal sebelum Steve tiba.
Ia lalu menggunduli kepala dan berkelana di pegunungan Himalaya. Di sana ia menyaksikan betapa menyiksanya kemiskinan, sesuatu yang sudah sangat akrab dengan dirinya. Di sanalah, dan di saat-saat itulah Steve tercerahkan. Jiwanya yang gelisah dan mencari ketenangan (atau pelarian?) spiritual, pelan-pelan bergeser ke dunia praktis, ke solusi teknologi. Ia akui, saat itulah ia berpikir bahwa Thomas Alva Edison lebih banyak jasanya dalam memperbaiki dunia daripada Karl Marx dan sosok yang menginspirasi dia Neem Karoli Baba.
*
Kisah Steve Jobs kemudian membenarkan satu adagium yang menyebutkan bahwa dunia hanya akan menyerahkan diri kepada orang-orang yang berani menjelajah, orang-orang yang tak pernah berhenti mencari dan tidak lekas mengikatkan diri pada satu pendapat sempit. Steve adalah penjelajah.
Ia pelahap lagu-lagu Bob Dylan. Pada suatu masa Steve adalah perombak lirik-lirik lagu milik idolanya itu, dan menuliskan ulang menjadi puisi-puisinya sendiri. Ia dan teman-teman awalnya pendiri Apple pernah bekerja memerankan tokoh-tokoh Alice in Wonderland demi mendapatkan uang.
Kisah selanjutnya adalah sejarah seorang sosok besar yang mengubah dunia dari kemungkinannya yang paling membosankan. Steve Jobs dengan produk-produk jenial Apple membuat hidup manusia bergairah.
*
“Steve Jobs adalah Bob Dylan-nya mesin,” kata Bono, vokalis U2, “Dia adalah Elvis Presley-nya dialektika perangkat keras – perangkat lunak.”
Kira-kira apa yang dimaksudkan oleh Bono adalah: sebagai Bob Dylan, Steve Jobs begitu teguh menempuh jalannya. Ia dipuja dan jadi panutan banyak orang. Sebagai Elvis, ia mencapai puncak popularitas, kadang dengan sensasi yang terkesan dicari-cari. Tapi, itulah Steve Jobs. “Dia menciptakan banyak perangkat keras hebat, tapi selama bertahun-tahun, dia juga menciptakan diri sendiri!” kata John Perry Barlow, seorang perintis industry digital dan penulis lirik-lirik lagu untuk kelompok Grateful Dead. Itulah penemuan terhebatnya: Ia berhasil menemukan diri sendiri.
*
Sebagai manusia, tentu Steve Jobs jauh dari sempurna. Sikap kasarnya yang tumbuh sejak kecil, terbawa hingga ia dewasa. Ia, seperti dalam kesaksian mantan karyawan Apple, punya sisi terbaik dan terburuk seorang manusia. Yang pasti ia seorang visioner.
“Kami di Apple tidak menciptakan barang untuk memenuhi kebutuhan orang. Kami membuat barang yang akan dibutuhkan orang,” katanya, sebagai mana diakuinya dalam biografinya yang baru saja terbit. Ini adalah pernyataan seorang visioner sejati.
Jika kebanyakan seorang visioner hanya berpikir besar, Jobs menyatukan kejelian seorang desainer dalam dirinya. Ia sangat peduli pada detail desain. Itu yang membedakan dan memberi karakter pada produk-produk Apple. Di Apple, kata Jobs, mereka membuat produk-produk yang hebat, bukan mencari uang. Tentu saja uang diperlukan untuk riset menghasilkan barang yang bagus.
“Tapi, kalau uang yang menjadi tujuan, maka segalanya selesai!” kata Jobs. Ia dengan pernyataan itu menohokkan kritik keras pada John Scully, CEO Pepsi yang dia sendiri yang merekrut, tapi kemudian membuat Steve dipecat oleh dewan direksi Apple pada usia ke-30.
Pemecatan itu terlihat masuk akal, soalnya pilihannya adalah Scully yang tenang dan matang dan Steve Jobs yang perangainya berangasan. Keduanya ternyata tak bisa disatukan. Scully dipertahankan. Tapi, saat itu, tanpa Steve Jobs Apple kehilangan rohnya, kehilangan gairah berinovasi dan semata mengejar laba. Itu yang justru membuat perusahan itu terjun bebas ke tubir jurang kebangkrutan, sebelum Jobs direkrut kembali.
*
Sekuat apa produk-produk Apple? Ada lelucon begini: hanya ada dua jenis pengguna komputer. Pertama, pemakai Mac. Kedua, mereka yang ingin menjadi pemakai Mac. Ya, ini memang cuma lelucon, tapi setidaknya itu bisa memberi gambaran betapa kuatnya produk yang lahir dari visi seorang Steve Jobs.
“Seperti penjara,” kata kawan saya, “sekali kita memakai Mac, kita tak bisa lagi memakai produk lain. Tapi, kita betah di dalam penjara ini.” Sekarang, saya ada dalam penjara itu. Kolom ini saya tulis di MacBook Air, notebook paling tipis pertama di dunia. Terima kasih, Steve Jobs.***
Labels:
kolom
Tuesday, November 1, 2011
Di Lorong Antara Ruang Rawat dan Kamar Jenazah
AKU mengiringi engkau. Di tanganku, masih
terasa ada sisa, hangat terakhir dari tubuhmu.
Aku mengantar engkau. Di tanganku, selembar
surat kematian yang belum mau kutandantangani.
Aku meratapi engkau. Di tanganku, bekas-seka
air mata, sakit dari sakitmu ingin kupindahkan.
terasa ada sisa, hangat terakhir dari tubuhmu.
Aku mengantar engkau. Di tanganku, selembar
surat kematian yang belum mau kutandantangani.
Aku meratapi engkau. Di tanganku, bekas-seka
air mata, sakit dari sakitmu ingin kupindahkan.
Di Jalan Antara Samarinda dan Balikpapan
HUJAN turun sangat santun seperti ajakan berduka
yang segan-sungkan. Ini cuaca yang tahu, sia-sia
mengiringi tangisku dengan kental kabutnya itu.
Setiap kendaraan - yang searah dan berselisih -
seperti menjadi ambulan, atau mobil jenazah,
bergegas sampai lekas, mengantarkan kemalangan.
yang segan-sungkan. Ini cuaca yang tahu, sia-sia
mengiringi tangisku dengan kental kabutnya itu.
Setiap kendaraan - yang searah dan berselisih -
seperti menjadi ambulan, atau mobil jenazah,
bergegas sampai lekas, mengantarkan kemalangan.
Saturday, October 22, 2011
[Ruang Renung #257] Dengan Perasaan
JASSIN menulis: Apakah bedanya prosa dan puisi? Dengan singkat bisa dikatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran dan puisi ialah pengucapan dengan perasaan.
Saya ulangi: Puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Jadi, bukan sekadar "mengucapkan" perasaan. Dengan puisi kita bisa mengucapkan apa saja, dengan perasaan kita.[]
Saya ulangi: Puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Jadi, bukan sekadar "mengucapkan" perasaan. Dengan puisi kita bisa mengucapkan apa saja, dengan perasaan kita.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)