Saturday, October 22, 2011

[Ruang Renung #257] Dengan Perasaan

JASSIN menulis: Apakah bedanya prosa dan puisi? Dengan singkat bisa dikatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran dan puisi ialah pengucapan dengan perasaan.

Saya ulangi: Puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Jadi, bukan sekadar "mengucapkan" perasaan. Dengan puisi kita bisa mengucapkan apa saja, dengan perasaan kita.[]

Friday, October 21, 2011

Yang Liar dan Yang Berdarah

                                                             : Erie Prasetyo


KITA sedang sakit. Hidup hanya dari sakit ke sakit.
Menyesali banyak kesalahan yang semakin benar.

Itu misalnya, pernah kau tuliskan dalam daftar seratus
hal yang kau inginkan, dan seratus hal lain yang tidak
kau kehendaki. Kau tak tahu di mana kau sepatutnya
menuliskan 'Bali' di daftar itu, sebab sesuatu yang amat
buruk dan juga amat berarti berawal dan berakhir di situ.

*

Kita pelihara lapar dan marah. Yang liar. Dan berdarah.

Keduanya kini bisa bernama Puisi. Kau menuliskannya
kini di antara waktu luang, dalam perjalanan kota ke kota,
di sela-sela tur sangat panjang,  sebuah kelompok musik,
yang jatuh dan bangkit bersamamu. Puisi yang, katamu,
kini sabar menyabarkan, menjinakkan, membebat luka-luka,
yang dulu menutup-membuka di tempat-tempat yang sama.

*

Kita telah terbiasa sakit, dengan rasa sakit kita ini.

Hingga kau tak lagi mau tertipu, surga yang menipu,
kau beritahukan parut luka kecil di lipatan lenganmu.

Kau bilang, "Empat tahun lamanya, aku berjalan di
muka bumi, tapi saat itu aku tak sedang ada di dunia."

Dan dunia hanya gelap, menjauh darimu, menyempit.

*

Kita sedang menyembuhkan sakit kita sendiri. Sendiri.

Dengan harapan yang sederhana: nanti cinta yang
menata bata, sebongkah-sebongkah, hingga tegak
sebentang dinding ingatan, bayangan meneduhkan.

Aku melihat tiga bidadari di punggungmu. Dengan
tiga bentang sayap. Yang sabar menjaga mimpimu.

Saat kau memeluk mereka, satu per satu, mereka
dengan bangga membaca, nama-nama mereka
berbaris indah, di sepanjang lengan kananmu.

Wednesday, October 19, 2011

Srimulat

AKU suka melihat kau tertawa. Sebab aku
tahu, di balik angkuh pagar rumahmu, kau
takut melepaskannya sampai ke telinga
Ayahmu. "Karena itu boleh pasti berarti Ayah
akan membuat Ibu menangis," katamu, mengulang
persis kalimat yang kau suruh aku baca di
dalam tulisanmu (tulisan tangan terindah
yang pernah kutahu)
di buku hari-harimu.

Itu sebabnya, aku suka membuat kau tertawa.

Karena di rumahmu, bila tak ke mana-mana
seharian kau hanya menyembunyikan diri
di kamarmu (aku yang baru diamuk senyawa
kimia bernama hormon dengan cara yang
luar biasa membayangkan wangi kamarmu
itu dan wangi tubuhmu)
, atau bila di ruang
keluarga kau akan menutupi wajahmu dengan
majalah Anita Cemerlang. "Pada kisah-kisah
romantis di majalah itu, sesekali aku
bayangkan tokoh utamanya: kau dan aku,"
katamu, padahal kau tahu aku sudah membaca
kalimat itu juga di surat-surat yang kau
selipkan di buku pelajaran (matematika, fisika,
biologi, kimia, apa saja) terbitan Ganeca Exact
Bandung yang kau pinjamkan padaku.

Aku punya banyak cara membuat kamu tertawa.

Aku membuat kau tertawa dengan kisah Srimulat
di TVRI malam hari (aku fasih menirukan Gepeng,
atau Asmuni)
. Dan kau tertawa hingga berair mata.
Aku tahu, kau tak pernah boleh menonton larut,
padahal, kelompok lawak asal Solo itu hanya
diputar jauh malam setelah Dunia Dalam Berita,
itupun kalau tidak ada Laporan Khusus atau
menteri yang gemar menyiarkan harga-harga dan
apa saja yang tak penting yang dibahas dalam
rapat kabinet hari itu, dan ia selalu memulai pidato
(atau entah apa namanya) dengan kalimat, "menurut
petunjuk Bapak Presiden". Aku kadang suka mengarang
cerita sendiri, meski malam itu, sebenarnya Srimulat
tak disiarkan TVRI.

Aku bahagia, sebab selalu bisa membuat kau tertawa.

Malam itu, Gepeng lucu sekali. Aku senang,
sebab kalau itu kuceritakan padamu, besok pagi,
di jam istirahat sekolah kita, kau akan sangat
bahagia. Tapi, itulah kesempatan terakhirku
melihat kau. Sebuah mobil berlogo perusahaan
minyak asing milik ayahmu menjemputmu tepat
di depan mataku. Aku lihat benih air di matamu.

Aku masih simpan cerita Srimulat pada malam itu.
Dan masih berharap menceritakannya padamu.
Meski mungkin tak lagi bisa membuatmu tertawa.

Apa yang Tak Kutahu tentangmu, Waktu?

ENGKAU belum pernah menulis dengan jujur bahwa engkau
sesungguhnya tak pernah bertemu aku yang sesungguhnya

Engkau belum pernah mengakui dengan tulus bahwa engkau
sebenarnya tak pernah mengenali aku yang sebenarnya

Engkau tak pernah ingin mencari seingin-inginnya agar engkau
tahu dan tak tertipu arloji lagi, dan tipuan itu engkau tak tahu!

Anak-anak Waktu

KEMARIN, anak yang bengal. Dia tak peduli, pergi dan tak pernah ingin kembali

Hari ini, anak yang manja. Jika kau turut manjanya, kau tak akan dapat apa-apa

Besok, anak yang banyak janji. Tapi, oh sungguh tak banyak yang bisa ia penuhi

Pohon Waktu

AKU tanam ia di mataku, ia tumbuh jadi liuk-liku jalan,
teduh dan rindang, aku diberi cakrawala di ujung sana

Aku tanam di dadaku, ia tumbuh jadi halaman lapang,
rimbun dan tenang, aku dapatkan sumur, jernih airnya

Aku tanam di tanganku, ia tumbuh jadi bunga-bunga,
cerah-aroma, wangi-warna, tetes madu dari kelopaknya

Aku tanam di kakiku, ia tumbuh jadi panjang perjalanan,
peta-pohon, peta-tahun, bercabang ke cerita-cerita

Apa yang Kuingat tentang Kau dan Benda-benda Pos

KARTU POS. Kau selalu mengirimkan
kartu pos kosong saja. Begitulah
kita sepakati, dan aku hanya tahu
bahwa itu kau yang mengirim dari
posisi prangko Presiden Suharto
yang terjungkir miring. Kadang kau
menambahi air mata di gambar presiden
itu, dan itu membuat aku tertawa.
Mau bilang sedih, ah betapa susahnya.
Di kartu pos itu aku lalu menulis apa saja,
yang bisa kukenang tentang kau.
Dan kian lama aku kian percaya bahwa
begitulah pula cara engkau mengenang aku.

AMPLOP. Aku benci amplop. Itu sebabnya
aku minta kau mengirim kartu pos selalu.
Aku benci amplop karena di asrama
mahasiswa dulu, kami mengoleksi
ribuan amplop penolakan lamaran,
yang ditujukan pada para alumni
yang terpaksa masih tinggal di asrama
mahasiswa, karena belum dapat kerja.
Aku benci amplop, karena dulu, ada
perempuan yang rajin menyuratiku
lalu akhirnya di surat terakhirnya
ia putuskan begitu saja semua kisah
yang aku sudah rancang lama. Aku
trauma melihat surat, aku selalu
curiga pada amplop, curiga pada ancaman
kepedihan apa yang ia simpan di dalamnya.

KOTAK POS. Empat angka, dan alamat
kantor pos pusat, kuberi tahu segera
kepadamu lewat telegram di hari pertama
aku kembali ke kota asalku. Aku tahu
bertahun-tahun aku belum akan punya
alamat. Sisa ongkos pesawat cukup
untuk menyewa kotak surat. Kau tak
pernah menuliskan namaku di semua
kartu posmu. Juga tak kau tuliskan
namamu. Aku tak pernah bisa membalas
kartu pos yang setia kau kirim
setiap minggu itu. Kalau aku rindu,
aku suka menghitung semua kartu posmu,
menebarkannya di atas kasur tipis
di kamar sewa, atau memajangnya
di dinding menjadi mosaik wajahmu.

PRANGKO. Kenapa banyak sekali prangko
bergambar Presiden Suharto waktu itu?
Dan kenapa kau memilih prangko yang
sama, yang paling murah yang bisa kau
pastikan kartu posmu sampai padaku?
Yang pertama kali aku lakukan setelah
menerima kartu posmu adalah mengoyak
prangko membosankan itu. Maafkan aku.
Aku suka berharap prangko di kartu posmu
itu sesekali berbeda, bergambar bunga,
atau burung, atau gambar petani panen
padi, atau kampanye Program KB, atau
gambar penari Bali, atau pesawat
buatan Habibie. Apa sajalah, asal
bukan prangko yang membosankan itu.
Maafkan aku, aku tidak membencimu
karena itu, aku hanya bosan pada
gambar monoton presiden kita itu.

BLANGKO WESEL. Aku selalu menyimpannya
selembar. Kutulis namaku di kolom
pengirim. Dan namamu di kolom penerima.
Kelak, begitu aku tahu alamatmu - dari
kartu pos kosongmu yang nanti tak kosong
lagi itu - yang pertama kulakukan adalah
mengirimkan sebagian uang gajiku yang
kutitipkan di bagian keuangan koran
tempat aku bekerja sebagai wartawan.
Di kolom pesan kutuliskan kalimat
yang bukan puisi: simpan di tabungan,
tiap bulan aku akan tambahkan, semampu
yang bisa aku sisihkan, kelak kalau
cukup untuk sebuah pesta pernikahan
yang paling sederhana saja, beri
tahukan padaku, atau bila selama kau
menunggu ada yang melamarmu, dan kau
menerima dia, pakailah tabungan itu.
Aku memang meniatkan untuk biaya
pernikahan kita berdua - atau salah
satu dari kita.

Lirik-lirik untuk Lagu pada Album Pertama We've Found The Exoplanet Club Band

1. Presiden Buta, Tongkat, dan Hal-hal jenaka Lain yang Tertinggal Setelah Kematiannya.
2. Kota Ini Tak Tahu Semalam Ia Tumbuh jadi Kebun Kembang Cahaya dan Gelap yang Tak Pernah Bisa Ia Kuasai.
3. "Apa yang Kau Rayakan Itu?" Tanya Waktu, dan Aku Benci Tak Bisa Menjawabnya.
4. Sepasang Terompet Kertas di Sebuah Kamar Hotel yang Ingin Saling Berbisik dan Mengingatkan.
5. Rumah Presiden, Sejenis Fitnah dan Berita Bohong yang Dituduhkan dari Sana.
6.Apa yang Hilang dari Negerimu ketika Engkau Memilih Presiden yang Suka Mengeluh.
7. Tentang Mengapa Kami Menciptakan Lagu yang Tak Akan Pernah Kami Nyanyikan.
8. Kami Temukan Eksoplanet Itu dan Kami Kira Kami Berasal dari Sana.
9. Tentang Nabi-nabi yang Mati dan Umatnya yang Suka Saling Menyalahkan dan Berkelahi
10.Tuhan (dan Apa Saja yang Ingin Kami Tanyakan pada-Nya tentang-Nya)

Sajak dengan Beberapa Bait yang Satu Sama Lain Tidak Ada Hubungannya

SEBAGAI ikan, aku tak harus bernaung dari hujan, merenangi kesepian, selamanya, tuli dari bising suara kalian.

INI bukan bulir embun, tapi airmata mataku yang rabun. Kabut kesedihan, betapa betah bertahan. Menunda, mempermalukan hujan.

SEPERTI kuliah pertama ilmu pembentukan permukaan bumi, kesedihan adalah hujan ratusan bulan, menggerus kesendirian, mengurat parit, kepahitan.

DI tepian kesepian, ada perahu kuminta menunggu, kukira tak akan cukup untuk kita berdua, atau kau mau kita karam saja di kanal itu?

KALAU kusentuh genangan kesepianmu, apakah lingkar riaknya akan sampai ke seberang, ke tepian kesendirianku?

Friday, October 14, 2011

Gempa Hati

TUBUHKU menahan gegap gempa
Guncang dari dua patahan bertumbukan
dari satu hati yang patah. Parah.

Tubuhku, tubuh yang tabah.




Ini getar yang tak terukur.
Sudah lama kuperingatkan diri sendiri:


Mengungsilah. 

Ungsikan hati, dari daerah rawan bencana ini.





Aku ingin pergi.
Menguji kaidah perbandingan terbalik: jarak dan rindu. 


Pada langkah pertama, aku sudah tahu, itu benar

Mutlak.


*


Atau biar begini saja


Aku nanti mati, tertimbun
reruntuhan rasa: cintaku sendiri.


Tanpa pernah berharap kau kelak
datang menziarahi, menaburkan maki.