Wednesday, July 20, 2011

Kabarkan Kekaburan

MARI memarkan ingatanmu pada namaku

Benturkan yang tak gamang, bergeming,
kenangan mengarangi semasa silam itu

Samarkan namamu dengan sesukat sakit
pada lidah yang selalu ingin menyebutmu 

Mengaduhlah Sepedih-pedihnya

DI ruang itu, terakhir kali, kau berdiri, sepi yang pasti, dan aku menunggu kata-katamu, seperti peserta seminar kiat sukses, yang telah seribu kali mencoba, seribu kali gagal.

Lalu matilah lampu, dan semua jadi bayang-bayang. Cahaya yang lurus itu pasti tidak dari matamu yang sejak semula juga, hanya ragu-ragu. Tak tahu, mana bayangku, mana bayangmu.

Ruang ini, jika tanpa kau dan aku, telah terbiasa dengan sepoi-sepi. Saat tak ada apa-apa, waktu tak singgah, dan ruang ini tak merasa ada yang sia-sia.

Mata yang haus, berlindung dari cahaya yang menipu, di balik kelopak yang memejam tak lengkap pejam, membuka tak sepenuh buka. Jauh melihat ke arah di sebalik kornea.

Kita bukanlah penyabar, tapi kita bisa untuk tidak bergegas. Kita bisa menghindar dari yang mengejar. Menunda yang datang tanpa tanda. Adakah saat yang tepat untuk sesuatu yang tak tepat?

Kalau nanti tak ada kisah kita lagi, waktu yang berperilaku kasar itu, akan menggerus kenangan tentangmu dari ingatanku. Juga aku dari ingatanmu? Bukankah - di hadapan waktu - kau sama saja: juga tak berdaya?

Dan terakhir kuingat dari ruang itu adalah desis nafasmu. Seperti menahan sakit yang kau tahu, tak akan bisa kau menahannya. Aduh, demi siksa itu, seluka-seluka, mengaduhlah. Sepedih-pedihnya. 

Tuesday, July 19, 2011

Beberapa Bait dari Beberapa Kata yang Berakhir dengan Huruf M

1. KITA sepasang ombak, yang matang, bertembuk di pantai curam, dari tengah laut kita bertimpaan, selam-menyelam. Tiada yang ingin karam.

2. KARANG itu, dulu, adalah aku, ombak yang tak ingin redam. Dan pantai itu, dulu, adalah engkau, badai yang tak ingin padam. Kini, kita damai, berdamai, tapi dendam, saling memendam. 

3. DI laut yang dalam, tahukah kita beda siang atau malam? Beda surut atau pasang? Gelap dan senyap, adalah tempat, dan alasan sembunyi yang lingkup lengkap.

4. JIKA aku datang, mengejar engkau, aku adalah ombak yang mengetam jejakmu, melicinkan lagi pasir, dan pantai itu. Maka, engkau adalah hal yang tak tergapai.

5. KALA kalam kelam, lidahku sehitam malam. Yang kuucapkan, kata yang tajam, melukai mulutku sendiri, semakin semak maki-maki.

6. DI sinikah kita janji ketemu? Di muara muram ini? Aku elu-elu dari hulu, kau jerat jerit elang laut itu. Di muara murung ini?

7. DENGAN demam, tubuhku mengucap apa yg ia pendam. Mungkin, akhirnya, kami, aku dan tubuhku, rindu sekadar sekejap pejam.

Thursday, July 14, 2011

Dan Kalammu



Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung - Raja Ali Haji

: Rida K Liamsi

 
DAN kalammu adalah dayung, menggerakkan perahu dari teluk ke teluk, hingga gelombang besar pun takluk dalam peluk.

Dan kalammu adalah tempuling, menikam geram dari pasang ke pasang, sampai akhirnya ragu itu pun tunduk, sehiu-sehiu.

Dan kalammu adalah lembing, melesat matakata, tajam mengasah batu waktu, menuju titik satu: jantung langit itu.  

Monday, July 11, 2011

Dari Jendela Rumah Sakit di Malaka

GAGAK menghinggapi bayangan sendiri, ia kira itu dahan pohon yang dulu di situ ada buah yang ia curi. 

 



Friday, July 8, 2011

Di Sebuah Balairung Merah

BALAIRUNG besar itu merah, Sayang. Begitu mudah ia bikin
kita terkenang, pada martir yang mati di setempur sepeperangan

Hari tidak hujan - seperti yang kita harapkan - di Taiwan, kota
yang menggelinjangkan malamnya kepada tamu tanpa pemandu

Kita adalah prajurit lepas kerja, selelah setelah seharian berjaga

Di sudut mana tadi, di balairung ini, kita ingin kita terkapar mati?
Mengenang sendiri peluru datang, tak ingin lekas bilang permisi?

Tengok Saja Nanti

Sajak Hendrik Marsman

Berbilang hanya hari lagi
yang lalu direnggut masa lalu
karena kuingin melupa
kuserahkan diri-hati
pada kehangatan kilauan
anggur dan kegairahan;
tapi apakah anggur itu?
apakah pukauan mata-cinta
yang menggamangkan itu?
Terpadankankah  pada riang
tigapuluh kata-kata
yang seucapan-seucapan
tercuci oleh waktu?
Biar lagi tak ada dendam-benci,
tercadang mulutku
dari penghinaan yang cemburu
dan oceh kosong buntu
dari kehampaan itu.
Biar aku mencium ulur tangan
dari tiap nyanyian!
Dan jangan bisukan kenangan
dari layar-layar tiga emas
walau takdir mencemooh
dan menilakan aku ini,
si kain buruk ini. 

Wednesday, July 6, 2011

[kolom] Bertemu Teman Joger di Luwus

KALAU mau ke Kuta, kami dihadang kemacetan yang parah. Kata kawan saya, kalau mau ke Joger, kami punya pilihan selain Kuta, yaitu Luwus. Ini nama desa, di jalan raya dari Denpasar ke arah Bedugul. Lho? Bukannya Joger hanya dan hanya dijual di Kuta? Ini bukan Joger tapi temannya. Nama tokonya memang: Teman Joger. Lengkapnya tempat penyaman Joger.

Maka, petang itu melajulah kami ke Luwus. Jalanan bagus dan mulus. Tak ada kemacetan. Luwus benar-benar sebuah desa. Di kiri dan kanan jalan membentang sawah, dengan genangan air yang memantulkan rembang cahaya petang, dan dengan cara yang sederhana seperti itu menciptakan pemandangan senja yang menakjubkan.




Saya ragu, benarkah Joger buka cabang? Kalau benar, benarkah cabangnya dibuka di tempat seterpencil dan tidak meyakinkan seperti ini? Tapi, kapasitas teman baik saya, yang dengan ikhlas menjadi sopir pribadi dan pemandu saya tidak bisa saya ragukan.

Hampir malam, kami sampai di depan toko Teman Joger. Dalam hati saya bergumam, akhirnya sampai juga ke toko yang terkenal ini, meskipun cuma 'temannya'. Ini adalah toko yang memang besar, tapi ya biasa saja, tapi ini toko menjual barang-barang tidak biasa dengan cara yang tidak biasa. Saya ingin kesini, hendak melihat - membuktikan sendiri - ketidakbiasaan itu.

Tak ada bangunan apa-apa di sisi kiri kanannya. Seorang pegawai sudah hendak menarik gerbang masuk kendaraan. Ia melambaikan tangan, menahan masuk kendaraan kami. Seorang lelaki muda, gemuk, berkacamata, dengan celana pendek, berdiri seakan menyambut tamu terakhir: kami. "Toko sudah tutup!" kata si pegawai. Kawan baik saya lantas bicara dengan si lelaki berkacamata. Tak lama kemudian gerbang dibuka lagi. Kendaraan kami masuk.

"Itu anaknya Mister Joger," kata teman saya. "Dia yang punya toko ini." Kami benar-benar tamu terakhir. Di dalam toko saya benar-benar sendirian, memilih kaos produksi pabrik kata-kata yang terkenal di dunia itu, dilayani pegawai jaga yang sudah bersiap pulang, dan kasir yang menunggu untuk tidak mematikan mesin kasir.

"Baik sekali ya, pelayanannya. Dia tadi kasihan sama kita. Sudah jauh-jauh datang, kalau tak sempat belanja kan kecewa," kata kawan saya. Sementara saya belanja, kawan saya bicara dengan si pemilik toko si anak Mister Joger alias Joseph Theodorus Wulianadi.

*

Ya, Joger adalah toko biasa, denga produk yang tidak biasa. Produk utamanya memang cuma kaos oblong alias T-Shirt. Yang membuat tidak biasa adalah desainnya. Selalu ada kata-kata unik yang bikin senyum.

Saya belanja amat terburu-buru tapi tak bisa menahan senyum. Toko Joger juga ditata dengan cara yang tidak biasa. Di dekat kasir ada tulisan: ini kasir bukan kasur. Juga stiker besar: belanja tidak belanja tetap thank you. Ada lagi: Diskon khusus untuk yang hari ini berulang tahun, mohon buktikan degan menunjukkan KTP.

Dan yang paling lucu: Diskon 100 Persen untuk pengunjung yang tidak belanja! Main-main? Kesannya begitu, tapi itulah Joger, dan itulah yang bikin namanya merek yang kuat.

Lihat juga bagaimana tata letak toko. Kaos anak-anak dipajang  di bagian sendiri dengan pintu yang hanya setinggi perut. Ada tanda di atas pintu itu: hanya untuk rakyat kecil. Saya harus setengah merangkak untuk masuk ke ruang itu. Sialan! Ini pengalaman kecil, 'mengesalkan', tapi rasanya tak akan pernah saya lupakan seumur hidup.

Keunikan-keunikan kecil lain ditebar di kantong belanja, cara menjelaskan di mana tokonya berada, dan bahkan sampai ke tempat parkir. Pegawai Joger pun ditandai dengan stiker VIP (Very Iseng - bukan important, huh! - Person).

"...semenjak 1987, Joger (berdiri tahun 1981) tidak lagi profit oriented tetapi happiness oriented," kata Mister Joger pada suatu kesempatan, mengungkap kiat suksesnya. Keuntungan tak lagi jadi tujuan, tapi kebahagiaanlah yang ingin dicapai. Sejak tahun itu pula, tepatnya pada tanggal 7 bulan Juli, Joger memutuskan hanya punya toko di Kuta, yang alamatnya sejak dulu memang tanpa nomor.

Kata-kata (ia kemudian menyebut toko kaosnya sebagai pabrik kata-kata) dan gambar lucu, adalah sumber kebahagiaan. Orang menggemari kaos Joger karena bahagia dan bangga memakainya. Pembeli bahagia, dan pemilik toko bahagia karena bisa membahagiakan pembeli (dan meski tak jadi tujuan, keuntungan pun dikantongi).

Kebahagiaan, sepertinya menjadi dasar filsafat bisnis Joger. Lihat saja dari mana nama itu berasal. "Jo" diambil dari Joseph nama si pendiri, dan "Ger" (baca dengan "e" seperti pada "becak") penggalan dari nama Gerrard, sahabat kuliah Joseph di Jerman) yang menghibahkan uang ketika Joseph menikah. Semangat untuk mengabadikan dan menghargai persahabatan itu ternyata mempermulus segala hal: bisnis lancar, nama Joger pun menjadi brand kuat untuk produk kaos kreatif.

Siapa sebenarnya orang di balik desain-desain Joger yang "jelek" ini? Saya kira, sudah ada keterlibatan anaknya yang senja itu dengan kearifannya mempersilakan kami belanja meski jam tutup toko sudah lewat. Tapi, seperti di akui oleh Joseph eh Joger, di pabrik kata-kata itu ada lima desainer. "Tim kreatifnya terdiri dari lima orang. Dan untungnya kelimanya ada dalam diri saya, sehingga si Joger tidak pernah terjadi keributan," katanya. Ah, dasar!

Joseph pulalah yang memberi gelar sendiri kepada dirinya BAA, BSS. Ini saya kira semacam sindiran kepada masyarakat kita yang amat gemar menderetkan gelar akademis, meskipun kerja dan karyanya mungkin tak sepadan dengan deretan gelar itu. Apa itu BAA dan BSS? Bukan Apa-Apa, dan Bukan Siapa-Siapa.

Gelar BAA dan BSS itu ada sejarahnya. Suatu ketika Joseph menyebut istilah dispromotion, sebagai satu istilah taktik berbisnis yang ia perkenalkan. "Dispromotion itu adalah konsep berpromosi yang tidak bermaksud untuk menaikkan jumlah omzet, karena saat ini jika ada orang yang ingin membeli kaos Joger dalam jumlah banyak selalu saya tolak," katanya.

Eh, ada orang yang bertanya, apa kapasitas ilmiah Joseph kok berani-beraninya memperkenalkan istilah itu. Karena kesal, dia menjawab, "Saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa." Jawaban yang kemudian menjadi gelar "resmi" yang ia sematkan sendiri. Ah, dasar pabrik kata-kata.[]

Wednesday, June 29, 2011

[Kolom] Dari 25 Ekor Kucing,Lahir Seekor Garfield




Pencinta kucing suka Garfield,
Pembenci kucing juga suka dia.



KAUS kelas kami waktu SMA dulu bergambar karakter komik Garfield, si kucing gemuk berbulu jingga, dan tampangnya menggemaskan. Sayalah  yang dipercaya kawan-kawan sekelas merancang kaus itu.  Eh, bukan dipercaya, saya sebenarnya sedikit otoriter, karena saya waktu itu ketua kelas.  Tentu saja waktu itu saya tak mengerti soal hak cipta, tapi saya suka Garfield, kawan sekelas saya suka juga. Rasanya, itulah kaus kelas paling keren dibandingkan dengan kaus kelas-kelas lain di angkatan kami dulu.


Saya mengenal Garfield di koran berbahasa Inggris yang dilanggani paman saya. Dia guru bahasa Inggris. Saya pada waktu SMA memang 'rakus' melahap apa saja.  Termasuk mencari rujukan tentang kartun dan komik strip, karena saat itu saya bekerja di surat kabar lokal, membuat komik strip. Nama serial komik strip saya: Ketupat.

 Pada saat yang sama, saya juga sangat menyukai Peanuts, komik strip karya kartunis kaya-raya Charlie M Schulz - saya entah kenapa, merasa amat kehilangan ketika beliau meninggal pada tahun 2000 lalu - dengan tokoh sekawanan anak-anak, Charlie Brown CS, dan anjingnya yang kemudian menjadi lebih terkenal daripada tuannya: Snoopy.  Ketupat saya, amat dipengaruhi oleh Peanuts.

Garfield - seperti halnya Peanuts - adalah contoh nyata tentang buah lebat yang bisa kita petik jika kita menanam benih keyakinan, kerja keras, dan kreativitas.  Jim Davis - begitulah James Robert Davis mencantumkan nama akrab di setiap helai karyanya  - menderita asma sewaktu masih kanak-kanak. Karena itu ia banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.

Penyakit ssmanya disebabkan alergi pada bulu hewan. Harap maklum, ayah dan ibunya adalah keluarga peternak. Rumah peternakan mereka dikepung oleh kawanan sapi, kuda,  dan di dalam rumah - ini bukan hewan ternak - mereka memelihara 25 ekor kucing kampung.

Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil - dengan seorang saudara kandung yang sebaya - ketika harus berlama-lama di dalam rumah? Ibunda Jim memberinya pensil dan kertas.  Maka menggambarlah Jim.  Sebagaimana layaknya gambar anak-anak, Jim menggambar dengan anatomi yang tak becus. Ia melihat sapi, ia menggambar sapi. Tapi gambarnya tak mirip sapi. Jim kecil menambahkan tulisan: Ini sapi.  Sesuatu yang sepele. Tapi, dari peristiwa kecil itu, Jim teryakinkan bahwa ketika gambar dan teks dipadukan lahir sebuah kekuatan.  Dan itulah prinsip komik.



Sejak itu, dia tahu dia ingin jadi apa: dia ingin jadi kartunis. Jim kecil pun tak berhenti menggambar. Ia menggambar di mana saja, dinding, lantai, tangga, di mana saja.  Berkah lain, karena betah menggambar di dalam rumah, asmanya pun berangsur pulih.

Selepas SMA, Jim masuk kolese, jurusan seni.  Di situ bakatnya semakin terasah, karena fasilitas pendidikan dan buku rujuan yang lengkap.  Di sana ia juga belajar drama. Di sini kita bisa belajar, betapa sarana pendidikan yang lengkap, pengajar yang baik, bisa memunculkan potensi maksimal dari anak-anak, yang kita tak tahu kelak ia akan jadi sebesar apa.

Selepas kolese, Jim  magang di sebuah biro iklan.  Niatnya cuma satu: bisa menjadi asisten Tom K Ryan, kartunis yang saat itu sudah berhasil dengan serial komik strip Tumbleweeds. Jim mengerjakan apa saja, menyapu lantai studio, mengepel, dan pekerjaan remeh, seperti menggambar latar dan menulis teks kartun.  Pelajaran lain dari Jim, tak cukup belajar teori menggambar di perguruan tinggi, pengalaman langsung justru lebih banyak memberi pelajaran dan kelak menentukan keberhasilan Jim sebagai kartunis.

Jim pun memulai komik stripnya sendiri. Ia langsung menemukan Garfield? Tidak.  Ia membuat kartun dengan tokoh kutu, Gnome Gnates. Kartun ini gagal, meskipun sudah sempat lima tahun ia berusaha untuk membesarkannya.

"Kartunmu lucu. Gambarmu  bagus. Tapi, kutu? Siapa sih yang suka kutu?" kata seorang editor di sebuah perusahaan sindikat kartun. Jim menyadari kekeliruannya. Ia banting setir mencari karakter lain. Jim tidak putus asa, ia tahu, tidak ada keberhasilan yang sekali jadi. Tapi, itu tak menyurutkan tekadnya untuk terus bekerja keras.

Ia mengamati banyak kartun yang berhasil tokohnya anjing. Dan waktu itu tak ada satupun tokohnya kucing. Ia pun mulai merancang, dan Garfield baru tercipta setelah dua tahun lamanya ia mereka-reka. Ia memanggil kembali kenangan pada 25 ekor kucing yang dulu hidup bersamanya di peternakan. Nama Garfield sendiri ia pinjam dari nama kakeknya. Karakter si kakek pun dia curi: ya sikap keras kepalanya itu.  Awalnya si kucing pemalas, sarkastik, sok pintar, sok filosofis itu, hanya tokoh pendamping si tokoh utama: Jon Arbukle, kartunis berwajah culun.

Menyadari potensi kebintangan pada diri Garfield, Jim memberi peran besar pada si kucing. Kartunnya langsung disambar oleh perusahaan sindikasi kartun yang sejak pertama kali terbit pada tanggal 18 Juni 1978 - wah, bulan ini sudah 33 tahun usia kemunculannya -  Garfield langsung tampil di 41 koran di Amerika,  di kota Boston, Dallas, dan Chicago. Jalan kesuksesan membentang di hadapan Jim yang saat itu sudah  -  atau baru?  -  berusia 33 tahun.

Popularitas Garfield lekas melejit. Pada tahun 1982, komik Garfield terbit di 1.000 surat kabar. Tahun 1987, si kucing gendut itu tampil di 2.000 surat kabar. Dan saat ini, terbit di 2,600 surat kabar di seluruh dunia. Guiness World Book of Record mengganjarinya sebagai komik strip tersindikasi paling banyak di dunia. Dibaca oleh - ditaksir secara kasar 263 juta orang setiap hari, termasuk saya yang membaca lewat lembar "Life" di surat kabar negeri Jiran The Strait Times yang saya langgani lewat kantor.

Ada satu peristiwa yang memicu - dan meyakinkan Jim - betapa dicintainya Garfield oleh para pembacanya. Beberapa bulan setelah terbit, sebuah surat kabar di Chicago menghentikan pemunculan Garfield. Apa yang terjadi? 1,300 turun ke jalan, meluruk ke kantor surat kabar tersebut, marah akibat  dihentikannya komik strip itu.

Jim saat ini masih aktif menggambar. Kini, pria yang bulan Juli tanggal 28 nanti tepat berusia 67 tahun itu -  mempekerjakan 50 tukang gambar, di bawah bendera perusahaan Paws, Inc.  Perusahaan ini memproduksi kartun, film, serial TV, dan yang mengurusi hak cipta dan bisnis pernak-pernik barang berlogo Garfield, di Albany, negara bagian Indiana.

Kalau kepadanya ditanya bagaimana caranya menjadi kartunis yang berhasil? Ia punya jawaban begini: "...membaca, membaca, dan membaca. Untuk menjadi seniman strip-komik kau harus jadi penulis yang baik. Menguasai seni menggambar penting, tapi kemampuan menulislah yang membentuk atau menghancurkan kamu. Belajarlah apa saja, dan seberapa bisa kamu belajar," katanya.

Itu saja? Belum cukup! "Menontonlah. TV, bioskop. Bergaullah. Cari kawan, dan kegiatan. Cobalah berbagai alat gambar yang berbeda dan coba berbagai gaya. Di atas semuanya itu - milikilah sesuatu yang ingin kau sampaikan, sesuatu yang unik dan berbeda - sesuatu yang "khas" kamu," katanya.***

Tuesday, June 28, 2011

Kita Ingin Kita Ada di Sana