DI tubuhmu, angin menjadi selembar selendang
menyampir di pinggang, dan kau menutup dada,
melangkah bimbang di titian panjang. Di sana,
di ujung seberang, ada redup cahaya, mungkin
itu sebuah pintu, rumahmu yang menunggumu
Kenapa ada selalu elang? Elang itu menetas
dari telur petir, ia selalu terbang, karena
hatimu tak bercabang, dan kakinya buntung
Laut menahan semua gelombang, kapal layar itu
berlayar tanpa awak, membentangkan duga-dugaan
Awan, kepingan-kepingan parang, saling mengasah,
dan nanti bersama gelap malam menimpasi karang!
Di tubuhmu, aku menjadi seekor binatang, letih,
liar, dan lapar, sembunyi dari para sekelompok
pemburu yang sama saja: letih, liar dan lapar.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, November 30, 2010
[ Ruang Renung #256] Tulisan yang Menarik
ADA yang bertanya seperti ini: bagaimana cara agar tulisan menjadi menarik? Saya mau jawab begini: kenapa kau tertarik pada sebuah tulisan? Adakah tulisan yang menarik hatimu? Kenapa tulisan itu menarik bagimu? Bisakah kau membuat tulisan seperti itu?
Yang mula-mula tertarik dengan tulisan kita adalah kita sendiri. Kalau kita tidak punya selera, kalau kita sendiri tak tertarik pada tulisan kita, dijamin, tulisan kita tidak akan menarik juga buat orang lain. Tulisan bisa praktis (seperti petunjuk atau tips merawat laptop, atau resep soto banjar), bisa juga menjadi santapan rohani (kisah-kisah inspiratif, atau fiksi yang memuaskan imajinasi saya).
Saya suka pada tulisan yang ketika saya baca, saya tertolong oleh tulisan itu, saya tercerahkan, dan saya diperkaya olehnya. Buatlah tulisan seperti itu, saya akan menjadi pembaca tulisanmu.
Yang mula-mula tertarik dengan tulisan kita adalah kita sendiri. Kalau kita tidak punya selera, kalau kita sendiri tak tertarik pada tulisan kita, dijamin, tulisan kita tidak akan menarik juga buat orang lain. Tulisan bisa praktis (seperti petunjuk atau tips merawat laptop, atau resep soto banjar), bisa juga menjadi santapan rohani (kisah-kisah inspiratif, atau fiksi yang memuaskan imajinasi saya).
Saya suka pada tulisan yang ketika saya baca, saya tertolong oleh tulisan itu, saya tercerahkan, dan saya diperkaya olehnya. Buatlah tulisan seperti itu, saya akan menjadi pembaca tulisanmu.
Adegan yang Disukai Seniman Surealisme
/1/
TANGANKU berdarah. Penah aku menyentuhmu
dengan tanganku? Meninggalkan bekas telapak,
darah di situ? Aku regang, kehilangan tubuhmu
/2/
Kamarku berdinding peta. Buta. Kota-kota tumbuh
di situ. Tak ada pintu dan jendela. Tak ada jalan.
Tiap alamat, hanya sesat. Aku tak percaya cahaya.
/3/
Adegan ini, pasti amat disukai para seniman
beraliran surealisme: aku tergantung, dengan
tali terikat pada jantung, bagai meragakan
sendiri, gerak lompat indah paling sempurna!
Tak mati. Nyawaku belum mau lihat aku mati.
TANGANKU berdarah. Penah aku menyentuhmu
dengan tanganku? Meninggalkan bekas telapak,
darah di situ? Aku regang, kehilangan tubuhmu
/2/
Kamarku berdinding peta. Buta. Kota-kota tumbuh
di situ. Tak ada pintu dan jendela. Tak ada jalan.
Tiap alamat, hanya sesat. Aku tak percaya cahaya.
/3/
Adegan ini, pasti amat disukai para seniman
beraliran surealisme: aku tergantung, dengan
tali terikat pada jantung, bagai meragakan
sendiri, gerak lompat indah paling sempurna!
Tak mati. Nyawaku belum mau lihat aku mati.
Kennedy, Havel, dan Hoesnizar
Oleh Hasan Aspahani
DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."
Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "
Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.
Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.
*
Dimanakah sastra dan politik, sastrawan dan politisi menyatu? Tidak pada John F Kennedy,karena bagaimanapun Kennedy tetaplah seorang politisi yang mengagumi sastra, puisi dan bersahabat dengan Robert Frost, penyair yang ia kagumi itu.
Sastra dan politik menyatu dalam diri Václav Havel. Tokoh ini lahir 5 Oktober 1936. Pada mulanya dunia mengenal dia sebagai penulis, politikus, dan dramawan Cekoslovakia. Havel adalah seorang dramawan dan ia juga menulis buku-buku puisi dan esai. Sebagai dramawan ia terkenal ketika pada 1963 ia menerbitkan karya Zahradní Slavnost, dan segera disusul dengan Vyrozumění pada 1965, yang merupakan karyanya yang paling terkenal.
Tema utama karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Ia keras mengritik sistem komunis yang totaliter. Dan itulah pangkal masalahnya. Ia dipaksa untuk bungkam dan tidak lagi berkarya. Itu juga pintu masuknya ke politik.
Tak puas berjuang dengan pena, Havel masuk ke ranah politik. "Visi saja tidak cukup, harus digandengan dengan keberanian mengambil risiko. Menghitung langkah saja tidak cukup, kita harus melangkah menaiki anak-anak tangga," katanya, seakan memberi garis bawah pada langkah politiknya.
Ia lalu mendirikan Charta 77, organisasi anti-komunisme di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Obcanske Forum.
Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia yang ke-10, dan berikutnya ketika negara itu berubah, pada 1993 Havel menjadi Presiden Ceko yang pertama – hingga 2003.
*
Hoesnizar Hood, si penulis kumpulan kolom ini, dan ini adalah buku ketiganya, lebih pas disandingkan dengan Havel daripada Kennedy. Dalam diri Bang Nizar, begitu kami mengakrabinya, menyatu dua sosok itu: sastrawan dan politisi. Untungnya adalah pada mulanya dia adalah seorang sastrawan. Mata batinnya sebagai sastrawan jeli melihat kegelisahan masyarakatnya, masyarakat Melayu yang menggelisahkannya. Ini adalah sumber kegelisahan abadinya.
Seperti Havel, kegelisahan itu oleh Bang Nizar dibawa ke mana-mana, muncul di sajak-sajaknya, dia bawa ke Partai Demokrat di mana dia menjadi ketuanya, muncul di kolom "Temberang"-nya yang terbit tiap minggu di Batam Pos, dan saya tahu persis juga muncul dalam rapat-rapat DPRD Tanjungpinang di mana dia sekarang duduk di salah satu kursi wakil ketuanya.
Dan sosok seperti dia langka. Susah sekali menyatukan dua dunia yang galibnya hadir bak air dan minyak itu, bisa ditempakkan dalam satu cawan, tapi tetap saja jelas garis batasnya. Maka, bagi saya, kesastrawanan seorang Hoesnizar memberi nilai lebih pada sosoknya sebagai politikus. Kepolitikannya juga ibarat tumpukan sekam bagi api kegelisahannya sebagai sastrawan. Bang Nizar dengan cermat mengelola dua sisi itu.
"Temberang" sudah terbit dalam dua buku, sebelum buku ini. Buku pertama "Orang Melayu Hanya Pandai Bercerita" terbit dengan kontroversinya sendiri. Ia jadi pembicaraan yang luas dan saya yakin ia telah berhasil menggugah - jika kata mengubah terlalu jadi beban - banyak orang. Mahmud, sosok alterego itu, tiba-tiba jadi sangat akrab dalam alam pikir orang-orang Melayu di "Tanjung Pening", "Kepulauan Risau".
Lalu, buku kedua terbit "Mahmud Jadi Dua". Batam Pos sempat menghentikan kolom "Temberang" karena ingin berlaku adil: Hoesnizar waktu itu jadi politisi dan Batam Pos ingin netral. Setelah "jadi dua" sisi, Mahmud naik pentas lagi. "Mahmud harus jadi sosok yang beda. Dia main golf, naik mobil mewah ke mana-mana," kata saya kepada Bang Nizar, saran untuk menampilkan "keduaan" Mahmud.
Dan inilah buku ketiga "Temberang". Bagaimana saya melihat buku ini? "Bang, ini buku penegasan. Mahmud belum habis, dan tidak akan pernah habis. Mahmud boleh terus risau, tapi dia sudah harus bisa menegaskan sikap!" kata saya.
Maka, dipilihlah judul ini: Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut. Saya menyarankan judul ini, judul yang diambil dari salah satu episode "Temberang". Inilah kalimat yang paling pas menegaskan sikap Mahmud dan sikap penulisnya Hoesnizar Hood.
Sikap itu punya nilai, karena nanti siapapun yang mengucapkannya kalimat itu sah. Ia tidak lagi menjadi milik Hoesnizar, juga tidak lagi menjadi milik masyarakat Melayu. Kalimat itu kelak akan menjadi universal. Itulah kebahagiaan seorang sastrawan. Yaitu ketika nilai-nilai dalam karyanya mencapai universalitas. Saya ikut bahagia karena sesempatnya menjadi bagian dari proses pencapaian itu.
Dan saya kelak akan menjadi lebih bangga dan bahagia jiga kelak melihat sisi lain Mahmud eh Husnizar juga mencapai tahapan lain. Saya ingin melihat jejak langkah Hoesnizar sebagai politisi sampai pada puncaknya, saya melihat sudah ada jalan terang dan lapang ke sana.***
* Pengantar untuk buku "Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut"
DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."
Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "
Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.
Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.
*
Dimanakah sastra dan politik, sastrawan dan politisi menyatu? Tidak pada John F Kennedy,karena bagaimanapun Kennedy tetaplah seorang politisi yang mengagumi sastra, puisi dan bersahabat dengan Robert Frost, penyair yang ia kagumi itu.
Sastra dan politik menyatu dalam diri Václav Havel. Tokoh ini lahir 5 Oktober 1936. Pada mulanya dunia mengenal dia sebagai penulis, politikus, dan dramawan Cekoslovakia. Havel adalah seorang dramawan dan ia juga menulis buku-buku puisi dan esai. Sebagai dramawan ia terkenal ketika pada 1963 ia menerbitkan karya Zahradní Slavnost, dan segera disusul dengan Vyrozumění pada 1965, yang merupakan karyanya yang paling terkenal.
Tema utama karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Ia keras mengritik sistem komunis yang totaliter. Dan itulah pangkal masalahnya. Ia dipaksa untuk bungkam dan tidak lagi berkarya. Itu juga pintu masuknya ke politik.
Tak puas berjuang dengan pena, Havel masuk ke ranah politik. "Visi saja tidak cukup, harus digandengan dengan keberanian mengambil risiko. Menghitung langkah saja tidak cukup, kita harus melangkah menaiki anak-anak tangga," katanya, seakan memberi garis bawah pada langkah politiknya.
Ia lalu mendirikan Charta 77, organisasi anti-komunisme di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Obcanske Forum.
Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia yang ke-10, dan berikutnya ketika negara itu berubah, pada 1993 Havel menjadi Presiden Ceko yang pertama – hingga 2003.
*
Hoesnizar Hood, si penulis kumpulan kolom ini, dan ini adalah buku ketiganya, lebih pas disandingkan dengan Havel daripada Kennedy. Dalam diri Bang Nizar, begitu kami mengakrabinya, menyatu dua sosok itu: sastrawan dan politisi. Untungnya adalah pada mulanya dia adalah seorang sastrawan. Mata batinnya sebagai sastrawan jeli melihat kegelisahan masyarakatnya, masyarakat Melayu yang menggelisahkannya. Ini adalah sumber kegelisahan abadinya.
Seperti Havel, kegelisahan itu oleh Bang Nizar dibawa ke mana-mana, muncul di sajak-sajaknya, dia bawa ke Partai Demokrat di mana dia menjadi ketuanya, muncul di kolom "Temberang"-nya yang terbit tiap minggu di Batam Pos, dan saya tahu persis juga muncul dalam rapat-rapat DPRD Tanjungpinang di mana dia sekarang duduk di salah satu kursi wakil ketuanya.
Dan sosok seperti dia langka. Susah sekali menyatukan dua dunia yang galibnya hadir bak air dan minyak itu, bisa ditempakkan dalam satu cawan, tapi tetap saja jelas garis batasnya. Maka, bagi saya, kesastrawanan seorang Hoesnizar memberi nilai lebih pada sosoknya sebagai politikus. Kepolitikannya juga ibarat tumpukan sekam bagi api kegelisahannya sebagai sastrawan. Bang Nizar dengan cermat mengelola dua sisi itu.
"Temberang" sudah terbit dalam dua buku, sebelum buku ini. Buku pertama "Orang Melayu Hanya Pandai Bercerita" terbit dengan kontroversinya sendiri. Ia jadi pembicaraan yang luas dan saya yakin ia telah berhasil menggugah - jika kata mengubah terlalu jadi beban - banyak orang. Mahmud, sosok alterego itu, tiba-tiba jadi sangat akrab dalam alam pikir orang-orang Melayu di "Tanjung Pening", "Kepulauan Risau".
Lalu, buku kedua terbit "Mahmud Jadi Dua". Batam Pos sempat menghentikan kolom "Temberang" karena ingin berlaku adil: Hoesnizar waktu itu jadi politisi dan Batam Pos ingin netral. Setelah "jadi dua" sisi, Mahmud naik pentas lagi. "Mahmud harus jadi sosok yang beda. Dia main golf, naik mobil mewah ke mana-mana," kata saya kepada Bang Nizar, saran untuk menampilkan "keduaan" Mahmud.
Dan inilah buku ketiga "Temberang". Bagaimana saya melihat buku ini? "Bang, ini buku penegasan. Mahmud belum habis, dan tidak akan pernah habis. Mahmud boleh terus risau, tapi dia sudah harus bisa menegaskan sikap!" kata saya.
Maka, dipilihlah judul ini: Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut. Saya menyarankan judul ini, judul yang diambil dari salah satu episode "Temberang". Inilah kalimat yang paling pas menegaskan sikap Mahmud dan sikap penulisnya Hoesnizar Hood.
Sikap itu punya nilai, karena nanti siapapun yang mengucapkannya kalimat itu sah. Ia tidak lagi menjadi milik Hoesnizar, juga tidak lagi menjadi milik masyarakat Melayu. Kalimat itu kelak akan menjadi universal. Itulah kebahagiaan seorang sastrawan. Yaitu ketika nilai-nilai dalam karyanya mencapai universalitas. Saya ikut bahagia karena sesempatnya menjadi bagian dari proses pencapaian itu.
Dan saya kelak akan menjadi lebih bangga dan bahagia jiga kelak melihat sisi lain Mahmud eh Husnizar juga mencapai tahapan lain. Saya ingin melihat jejak langkah Hoesnizar sebagai politisi sampai pada puncaknya, saya melihat sudah ada jalan terang dan lapang ke sana.***
* Pengantar untuk buku "Biar Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut"
Berbahagialah, Paman Fauntleroy!
Oleh Hasan Aspahani
SIAPAKAH Paman paling terkenal di dunia? Dia adalah Donald Fauntleroy! Kenal? Baiklah, nama bekennya Donal Duck alias Donal Bebek!
Ia punya tiga keponakan kembar identik yaitu Huebert, Deuteronomy dan Louis. Nama yang rumit? Baiklah, panggilan untuk tiga keponakan itu adalah Huey, Dewey, dan Louie. Masih susah? Baiklah, di komik kita panggilannya lebih sederhana Kwak, Kwik dan Kwek. Donal punya tiga keponakan lagi sebenarnya, para sepupu si tiga kembar identik ini yaitu: April, May dan June!
Tiga keponakan yang nakalnya minta ampun, plus paman yang gampang marah, ini adalah kombinasi ajaib untuk sebuah kartun. Itu yang turut membantu Donal menjadi bintang di antara para tokoh kartun. Kemasyhuranya hanya kalah satu peringkat dari rekan satu studionya Miki Tikus.
Tiga keponakan bengal itu muncul pertama kali bersama Donal hanya untuk sementara. Bocah-bocah itu dititipkan satu hari saja sementara si ayah dirawat di rumah sakit akibat luka bakar kena ledakan mercon. Mercon itu diletakkan di kursi dan diledakkan oleh anak-anaknya sendiri. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi paman.
Donal juga seorang keponakan. Ia punya dua paman Ludwig von Drake dan Scrooge McDuck. Ia sering kali dimanfaatkan oleh pamannya si kaya yang pelit: Scrooge McDuck alias Paman Gober itu. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi keponakan - meskipun setiap kali menerima pekerjaan dari si paman ia menggerutu dan tahu bakal dapat upah yang tak setimpal dan hanya menambah kekayaan si paman.
Hubungan paman-keponakan atau keponakan-paman, memang menarik diutak-atik. Saya tak bisa bayangkan kalau Disney menjadikan Kwak, Kwik, Kwek sebagai anak-anak kandung Donal. Mungkin akan lahir anak-anak pembaca Disney yang amat kurangajar pada orang tua dan tak lagi peduli atau takut jadi kualat. Sampai kapanpun, semodern apa pun tata kehidupan, hubungan ayah-anak tetaplah sakral dan bukan hal untuk dimain-mainkan meskipun hanya dalam dunia kartun dan animasi. Hubungan paman-keponakan lebih cair, lebih longgar, dan lebih aman untuk dijadikan lelucon.
*
SAYA sekarang punya lima keponakan, dan saya ingin menjadi paman hebat yang dibanggakan oleh para keponakan saya itu. Pada dasarnya saya menyukai anak-anak. Saya ingin menyayangi keponakan saya seperti anak saya sendiri. Tapi, bagaimanapun mereka bukan anak saya. Dan itulah enaknya jadi paman, bisa ikut merasa punya anak, tanpa terlalu cemas dengan masa depan dan masa kininya, karena sudah ada orangtuanya yang memikirkan itu, bukan?
Abang saya punya satu anak yang dengan sangat bangga dan akan terus saya kenang bahwa sayalah yang memberi nama keponakan saya itu. Adik saya punya satu anak, baru saja lahir, dan saya belum sempat menjenguknya: kecuali lewat foto yang dipajang oleh ibunya di jejaring sosial.
Saya berpeluang dapat keponakan lagi dari dari adik perempuan bungsu kami yang belum menikah. Adik istri saya punya tiga anak. Tiga keponakan ini akrab sekali dengan anak-anak saya. Hubungan persepupuan mendekatkan mereka: sosok kakek dan nenek - mereka memanggil "Atok" dan "nenek" - dengan sangat efektif menyatukan mereka!
Saya juga keponakan yang bahagia, karena punya banyak sekali paman yang menyayangi kami. Bapak saya anak nomor empat, darinya saya punya enam paman dan seorang bibi. Berkunjung ke rumah paman, bertemu dengan para sepupu adalah saat-saat yang menyenangkan saya: ada semacam rasa aman karena sadar bahwa ada pertalian darah yang mengikat kami.
Dari ibu saya hanya punya satu paman kandung. Paman saya ini meninggal akhir pekan lalu. Ia meninggalkan bibi yang amat sabar dan empat anak, para sepupu yang sedikit saya sesali - karena jarak usia, waktu dan tempat - tak terlalu akrab dengan mereka.
Paman saya menikah tiga kali. Dari dua istri pertamanya dia tidak punya anak. Perceraiannya dengan istri keduanya sempat menjadi semacam prahara keluarga: rumit, ribut dan bertele-tele. Saya terlalu kecil saat itu untuk mengerti urusan orang dewasa semacam itu. Satu hal yang saya bisa mengerti cuma satu: Paman ingin punya anak. Untuk itu, syarat perceraian yang diajukan istri keduanya ia terima saja, ia harus berhenti dari pekerjaan yang nyaman di perusahaan minyak besar tempat ia bekerja. Kabarnya pekerjaan itu diperoleh berkat bantuan si istri keduanya.
Paman dan bibi - yang ia ceraikan itu - sangat menyayangi kami, para keponakannya. Tiap hari lebaran kami diberi baju baru dan uang jajan yang lumayan banyak. Ini luar biasa membahagiakan dan bikin iri anak-anak kampung lain. Kami sering diajak jalan-jalan naik Vespa, dan sesekali nonton bioskop. Ini pengalaman tak terlupakan. Tapi, itulah, bagi paman kami tetaplah keponakan dan bukan anak kandung.
Dengan perempuan ketiga yang ia peristri paman harus mulai dari nol lagi. Bibi berjualan kue, dan sayalah yang membantunya mengantarkan ke warung-warung tanpa upah, kecuali sepotong dua potong kue untuk sarapan. Ibuku harus mengalah. Tadinya ibuku juga bikin kue - saya juga yang mengantarnya ke warung - dan demi paman ia berhenti sementara.
Paman lalu ikut membuka kampung baru. Ia bertanam kelapa dan gagal. Tapi kemudian lahan kebunnya ternyata bagus sekali diusahakan menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Saya sempat sekali ikut memanen tambaknya. Dengan tambak itu, ia tak cemas lagi dengan masa depan anak-anaknya, dan paman punya anak banyak seakan hendak membalas dendam karena lama tak punya keturunan.
Sebelum Paman meninggal, bibi menelepon saya, mengabarkan dia sudah lama sakit, minta maaf kalau ada salah, dan itu seperti menjawab firasat, kelopak atas mata kiri saya beberapa hari terus bergetar.
Petang itu, kata Bibi, Paman minta dimandikan, dibersihkan kupingnya, disisiri rambutnya lalu tidur tenang sekali. Dalam tidur itulah Paman mengehambuskan nafas terakhir. Saya kira dia bahagia karena dia meninggal di rumah salah seorang anaknya: anak ketiganya, anak perempuan yang sudah pula memberi paman seorang cucu.
*
Saya mengenang Paman saya almarhum dengan sedikit sifat-sifat mirip Donal. Mereka berdua sama-sama tempramental. Suka meledak-ledak. Ini kenangan buruk: saya tak bisa lupa, saat Paman bertengkar hebat dengan bibi isti keduanya, di saat-saat mereka ingin bercerai. Waktu itu, saya tak bisa mengerti apa-apa.
Paman memang suka bicara dengan nada tinggi, meskipun sebenarnya dia tak sedang marah. Ia suka tertawa terbahak-bahak, ah, ini juga betapa miripnya dengan Donal, bukan?
Donal yang tempramental itu sesungguhnya adalah orang yang bahagia. Ia tak terlalu peduli pada kerumitan hidup dan tak punya masalah apapun dengan siapapun di dunia. Ia selalu muncul dengan senyum lebar, sampai ada masalah menimpa dan merusak hari-harinya. Donal tahu tempramen yang buruk itu tak baik. Dalam beberapa cerita, Donal pernah berusaha mengendalikan emosi, dia berhasil, tapi tersebab satu dan banyak hal emosinya kembali tak terkendali. Bagaimana pun Donal tak pernah menyakiti orang lain, dan dia gampang minta maaf.
Saya tak tahu apakah ayah Donal, Quackmore Duck dan ibunya Hortense McDuck pernah meminta Donal untuk lekas menikah, dan memberinya cucu. Sampai hari ini, sejak kemunculannya pertama kali, secara resmi 9 Juni 1934, Donal belum menikah. Tapi, bagaimanapun, saya kira Paman Fauntleroy kita ini adalah bebek yang berbagahagia. Paling tidak, dia sudah menghibur dan membahagiakan kita.[]
SIAPAKAH Paman paling terkenal di dunia? Dia adalah Donald Fauntleroy! Kenal? Baiklah, nama bekennya Donal Duck alias Donal Bebek!
Ia punya tiga keponakan kembar identik yaitu Huebert, Deuteronomy dan Louis. Nama yang rumit? Baiklah, panggilan untuk tiga keponakan itu adalah Huey, Dewey, dan Louie. Masih susah? Baiklah, di komik kita panggilannya lebih sederhana Kwak, Kwik dan Kwek. Donal punya tiga keponakan lagi sebenarnya, para sepupu si tiga kembar identik ini yaitu: April, May dan June!
Tiga keponakan yang nakalnya minta ampun, plus paman yang gampang marah, ini adalah kombinasi ajaib untuk sebuah kartun. Itu yang turut membantu Donal menjadi bintang di antara para tokoh kartun. Kemasyhuranya hanya kalah satu peringkat dari rekan satu studionya Miki Tikus.
Tiga keponakan bengal itu muncul pertama kali bersama Donal hanya untuk sementara. Bocah-bocah itu dititipkan satu hari saja sementara si ayah dirawat di rumah sakit akibat luka bakar kena ledakan mercon. Mercon itu diletakkan di kursi dan diledakkan oleh anak-anaknya sendiri. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi paman.
Donal juga seorang keponakan. Ia punya dua paman Ludwig von Drake dan Scrooge McDuck. Ia sering kali dimanfaatkan oleh pamannya si kaya yang pelit: Scrooge McDuck alias Paman Gober itu. Donal tak bisa menolak - ini mungkin semacam kutukan jadi keponakan - meskipun setiap kali menerima pekerjaan dari si paman ia menggerutu dan tahu bakal dapat upah yang tak setimpal dan hanya menambah kekayaan si paman.
Hubungan paman-keponakan atau keponakan-paman, memang menarik diutak-atik. Saya tak bisa bayangkan kalau Disney menjadikan Kwak, Kwik, Kwek sebagai anak-anak kandung Donal. Mungkin akan lahir anak-anak pembaca Disney yang amat kurangajar pada orang tua dan tak lagi peduli atau takut jadi kualat. Sampai kapanpun, semodern apa pun tata kehidupan, hubungan ayah-anak tetaplah sakral dan bukan hal untuk dimain-mainkan meskipun hanya dalam dunia kartun dan animasi. Hubungan paman-keponakan lebih cair, lebih longgar, dan lebih aman untuk dijadikan lelucon.
*
SAYA sekarang punya lima keponakan, dan saya ingin menjadi paman hebat yang dibanggakan oleh para keponakan saya itu. Pada dasarnya saya menyukai anak-anak. Saya ingin menyayangi keponakan saya seperti anak saya sendiri. Tapi, bagaimanapun mereka bukan anak saya. Dan itulah enaknya jadi paman, bisa ikut merasa punya anak, tanpa terlalu cemas dengan masa depan dan masa kininya, karena sudah ada orangtuanya yang memikirkan itu, bukan?
Abang saya punya satu anak yang dengan sangat bangga dan akan terus saya kenang bahwa sayalah yang memberi nama keponakan saya itu. Adik saya punya satu anak, baru saja lahir, dan saya belum sempat menjenguknya: kecuali lewat foto yang dipajang oleh ibunya di jejaring sosial.
Saya berpeluang dapat keponakan lagi dari dari adik perempuan bungsu kami yang belum menikah. Adik istri saya punya tiga anak. Tiga keponakan ini akrab sekali dengan anak-anak saya. Hubungan persepupuan mendekatkan mereka: sosok kakek dan nenek - mereka memanggil "Atok" dan "nenek" - dengan sangat efektif menyatukan mereka!
Saya juga keponakan yang bahagia, karena punya banyak sekali paman yang menyayangi kami. Bapak saya anak nomor empat, darinya saya punya enam paman dan seorang bibi. Berkunjung ke rumah paman, bertemu dengan para sepupu adalah saat-saat yang menyenangkan saya: ada semacam rasa aman karena sadar bahwa ada pertalian darah yang mengikat kami.
Dari ibu saya hanya punya satu paman kandung. Paman saya ini meninggal akhir pekan lalu. Ia meninggalkan bibi yang amat sabar dan empat anak, para sepupu yang sedikit saya sesali - karena jarak usia, waktu dan tempat - tak terlalu akrab dengan mereka.
Paman saya menikah tiga kali. Dari dua istri pertamanya dia tidak punya anak. Perceraiannya dengan istri keduanya sempat menjadi semacam prahara keluarga: rumit, ribut dan bertele-tele. Saya terlalu kecil saat itu untuk mengerti urusan orang dewasa semacam itu. Satu hal yang saya bisa mengerti cuma satu: Paman ingin punya anak. Untuk itu, syarat perceraian yang diajukan istri keduanya ia terima saja, ia harus berhenti dari pekerjaan yang nyaman di perusahaan minyak besar tempat ia bekerja. Kabarnya pekerjaan itu diperoleh berkat bantuan si istri keduanya.
Paman dan bibi - yang ia ceraikan itu - sangat menyayangi kami, para keponakannya. Tiap hari lebaran kami diberi baju baru dan uang jajan yang lumayan banyak. Ini luar biasa membahagiakan dan bikin iri anak-anak kampung lain. Kami sering diajak jalan-jalan naik Vespa, dan sesekali nonton bioskop. Ini pengalaman tak terlupakan. Tapi, itulah, bagi paman kami tetaplah keponakan dan bukan anak kandung.
Dengan perempuan ketiga yang ia peristri paman harus mulai dari nol lagi. Bibi berjualan kue, dan sayalah yang membantunya mengantarkan ke warung-warung tanpa upah, kecuali sepotong dua potong kue untuk sarapan. Ibuku harus mengalah. Tadinya ibuku juga bikin kue - saya juga yang mengantarnya ke warung - dan demi paman ia berhenti sementara.
Paman lalu ikut membuka kampung baru. Ia bertanam kelapa dan gagal. Tapi kemudian lahan kebunnya ternyata bagus sekali diusahakan menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Saya sempat sekali ikut memanen tambaknya. Dengan tambak itu, ia tak cemas lagi dengan masa depan anak-anaknya, dan paman punya anak banyak seakan hendak membalas dendam karena lama tak punya keturunan.
Sebelum Paman meninggal, bibi menelepon saya, mengabarkan dia sudah lama sakit, minta maaf kalau ada salah, dan itu seperti menjawab firasat, kelopak atas mata kiri saya beberapa hari terus bergetar.
Petang itu, kata Bibi, Paman minta dimandikan, dibersihkan kupingnya, disisiri rambutnya lalu tidur tenang sekali. Dalam tidur itulah Paman mengehambuskan nafas terakhir. Saya kira dia bahagia karena dia meninggal di rumah salah seorang anaknya: anak ketiganya, anak perempuan yang sudah pula memberi paman seorang cucu.
*
Saya mengenang Paman saya almarhum dengan sedikit sifat-sifat mirip Donal. Mereka berdua sama-sama tempramental. Suka meledak-ledak. Ini kenangan buruk: saya tak bisa lupa, saat Paman bertengkar hebat dengan bibi isti keduanya, di saat-saat mereka ingin bercerai. Waktu itu, saya tak bisa mengerti apa-apa.
Paman memang suka bicara dengan nada tinggi, meskipun sebenarnya dia tak sedang marah. Ia suka tertawa terbahak-bahak, ah, ini juga betapa miripnya dengan Donal, bukan?
Donal yang tempramental itu sesungguhnya adalah orang yang bahagia. Ia tak terlalu peduli pada kerumitan hidup dan tak punya masalah apapun dengan siapapun di dunia. Ia selalu muncul dengan senyum lebar, sampai ada masalah menimpa dan merusak hari-harinya. Donal tahu tempramen yang buruk itu tak baik. Dalam beberapa cerita, Donal pernah berusaha mengendalikan emosi, dia berhasil, tapi tersebab satu dan banyak hal emosinya kembali tak terkendali. Bagaimana pun Donal tak pernah menyakiti orang lain, dan dia gampang minta maaf.
Saya tak tahu apakah ayah Donal, Quackmore Duck dan ibunya Hortense McDuck pernah meminta Donal untuk lekas menikah, dan memberinya cucu. Sampai hari ini, sejak kemunculannya pertama kali, secara resmi 9 Juni 1934, Donal belum menikah. Tapi, bagaimanapun, saya kira Paman Fauntleroy kita ini adalah bebek yang berbagahagia. Paling tidak, dia sudah menghibur dan membahagiakan kita.[]
Labels:
kolom
Monday, November 29, 2010
Malam Malaria
BAPAKKU, aku harus pergi, dengan darah di tanganku,
dan coreng di wajahmu. Maaf, karena marah, kubantai
anak lembu yang memakan dan merusak tanaman labumu
Parang pertama yang kau berikan padaku, penebas gulma
di kebun kita itu, kutinggalkan di kepala lembu itu,
aku tak bisa dusta, Bapak, akulah pembunuh hewan itu
Udara buruk sekali, peluh di dahi bulan, malam kena demam,
dan aku harus pergi, Pak. Tak pernah ada saat yang tepat, kan?
Aku lelaki sudah bermimpi lelaki, dan mulai bisa berdosa.
Di kota, yang selalu kau dongengkan di tidur masa
kanakku, mungkin masih ada rombongan sandiwara itu,
berputar dalam lingkaran kian lebar, makin ke tepi
Aku mungkin bisa bermain sebagai Skaramus atau Zorro
karena di balik topeng itu aku bisa kenal siapa aku
Aku pernah cerita tentang guru Kesenian memuja bakatku,
waktu kau tanda tangani rapotku, Bapak, "Kau bisa jadi
pelakon yang hebat, Nak!" Aku dapat nilai sembilan,
untuk pelajaran itu, setelah memainkan monolog yang
kutulis sendiri naskahnya. Kau ingat 'kan, Bapak?
Monolog tentang hantu yang menakut-nakuti anak-anak
kampung, sembunyi di banir atau di rongga pohon kayu!
*
Bapakku, aku sudah pandai membaca dan tahu mengangka,
tak lagi kurang menghitung buah semangka, di kebunmu,
Aku akan menulis surat, Bapak. Mungkin tentang tepuk
tangan, terang lampu, dan dialog yang harus kuhapalkan,
di panggung pura-pura ini. Ah, tak usah kau balas, Pak.
Surat-suratku itu, kelak kau simpan saja, bersama akta
kelahiranku, bersama raporku, foto-foto bayiku, atau
kau bakar saja semua, jika kau anggap telah sia-sia
kau membuahi ibu, dan sia-sia ibu melahirkan aku
*
Mungkin akan miskin dan sendiri, tapi aku merdeka, Pak.
Mungkin nanti aku akan bisa jadi sutradara, menulis
lakon, dan berlakon di panggung besarku sendiri, Pak.
Mungkin kau akan melihat fotoku di balik topeng, di
halaman 1 suratkabar disertai tulisan penuh pujian, Pak.
Mungkin aku bisa punya rombongan sandiwaraku sendiri.
Mungkin aku bisa punya teater mewahku sendiri, dengan
jadwal padat pementasan sepanjang tahun, Pak. Datanglah,
sebagai penonton yang bertepuk tangan paling lama, duduk
di kursi paling hadapan, dan ajaklah ibu bersamamu, Pak.
Atau aku akan jadi hantu, menakut-nakuti sendiri hidupku.
*
Aku harus pergi, Bapakku. Kalau adik-adik bertanya,
katakan aku pasti pulang dengan seratus lembu. Aku
akan ganti anak lembu tetangga kita yang kubunuh itu.
Dan untuk kita, Bapakku, untukmu, ibu dan adik-adikku,
ada lembu-lembu bersayap, dan kita terbang bersama,
tamasya, ke pantai berhutan pinus itu, ke museum
dongengan, ke bukit di mana cengkeh berbunga lebat,
ke Jeddah, ke Madinah, ke Makkatul Mukarramah.
Ya, aku harus pergi, Pak, Bukan karena takut itu, tapi
hanya dengan jalan ini aku bisa membunuh kepengecutanku.
dan coreng di wajahmu. Maaf, karena marah, kubantai
anak lembu yang memakan dan merusak tanaman labumu
Parang pertama yang kau berikan padaku, penebas gulma
di kebun kita itu, kutinggalkan di kepala lembu itu,
aku tak bisa dusta, Bapak, akulah pembunuh hewan itu
Udara buruk sekali, peluh di dahi bulan, malam kena demam,
dan aku harus pergi, Pak. Tak pernah ada saat yang tepat, kan?
Aku lelaki sudah bermimpi lelaki, dan mulai bisa berdosa.
Di kota, yang selalu kau dongengkan di tidur masa
kanakku, mungkin masih ada rombongan sandiwara itu,
berputar dalam lingkaran kian lebar, makin ke tepi
Aku mungkin bisa bermain sebagai Skaramus atau Zorro
karena di balik topeng itu aku bisa kenal siapa aku
Aku pernah cerita tentang guru Kesenian memuja bakatku,
waktu kau tanda tangani rapotku, Bapak, "Kau bisa jadi
pelakon yang hebat, Nak!" Aku dapat nilai sembilan,
untuk pelajaran itu, setelah memainkan monolog yang
kutulis sendiri naskahnya. Kau ingat 'kan, Bapak?
Monolog tentang hantu yang menakut-nakuti anak-anak
kampung, sembunyi di banir atau di rongga pohon kayu!
*
Bapakku, aku sudah pandai membaca dan tahu mengangka,
tak lagi kurang menghitung buah semangka, di kebunmu,
Aku akan menulis surat, Bapak. Mungkin tentang tepuk
tangan, terang lampu, dan dialog yang harus kuhapalkan,
di panggung pura-pura ini. Ah, tak usah kau balas, Pak.
Surat-suratku itu, kelak kau simpan saja, bersama akta
kelahiranku, bersama raporku, foto-foto bayiku, atau
kau bakar saja semua, jika kau anggap telah sia-sia
kau membuahi ibu, dan sia-sia ibu melahirkan aku
*
Mungkin akan miskin dan sendiri, tapi aku merdeka, Pak.
Mungkin nanti aku akan bisa jadi sutradara, menulis
lakon, dan berlakon di panggung besarku sendiri, Pak.
Mungkin kau akan melihat fotoku di balik topeng, di
halaman 1 suratkabar disertai tulisan penuh pujian, Pak.
Mungkin aku bisa punya rombongan sandiwaraku sendiri.
Mungkin aku bisa punya teater mewahku sendiri, dengan
jadwal padat pementasan sepanjang tahun, Pak. Datanglah,
sebagai penonton yang bertepuk tangan paling lama, duduk
di kursi paling hadapan, dan ajaklah ibu bersamamu, Pak.
Atau aku akan jadi hantu, menakut-nakuti sendiri hidupku.
*
Aku harus pergi, Bapakku. Kalau adik-adik bertanya,
katakan aku pasti pulang dengan seratus lembu. Aku
akan ganti anak lembu tetangga kita yang kubunuh itu.
Dan untuk kita, Bapakku, untukmu, ibu dan adik-adikku,
ada lembu-lembu bersayap, dan kita terbang bersama,
tamasya, ke pantai berhutan pinus itu, ke museum
dongengan, ke bukit di mana cengkeh berbunga lebat,
ke Jeddah, ke Madinah, ke Makkatul Mukarramah.
Ya, aku harus pergi, Pak, Bukan karena takut itu, tapi
hanya dengan jalan ini aku bisa membunuh kepengecutanku.
Sunday, November 21, 2010
Jangan Menangis, katamu, Karena Itu Aku Menangis!
KITA seperti sepasang anggota terakhir
kelompok musik rock yang sebenarnya sudah bubar lama.
Sia-sia bertahan, lagi mendengarkan,
lagu-lagu kita, yang kini terasa sangat menyakitkan
Seperti membuat luka baru di kelopak bunga luka lama
yang belum layu!
Lihat, segar sekali darah dan merah itu:
darah dan merah khianat,
darah dan merah dusta,
darah dan merah dosa!
Kita mungkin harus sempurnakan kebersamaan ini dengan
saling melukai dan mati, mengenang keinginan lucu itu:
Berpose di sampul majalah Rolling Stone?
Album kita ditandai lima bintang 5 di rubrik Review?
Dan kita saling berdusta di halaman Interview?
Mereka lari dan mencuri lagu-lagu kita ribuan kali!
Kita terpenjara dan tak lagi bisa gubah nada-nada baru
Sepi menguasai, tata suara mati: mempertegas garis sunyi.
Kita menjadi sepasang penyair malang, menjadi penakut,
simpan ribuan bait banci di laci, benci gagal sembunyi!
kelompok musik rock yang sebenarnya sudah bubar lama.
Sia-sia bertahan, lagi mendengarkan,
lagu-lagu kita, yang kini terasa sangat menyakitkan
Seperti membuat luka baru di kelopak bunga luka lama
yang belum layu!
Lihat, segar sekali darah dan merah itu:
darah dan merah khianat,
darah dan merah dusta,
darah dan merah dosa!
Kita mungkin harus sempurnakan kebersamaan ini dengan
saling melukai dan mati, mengenang keinginan lucu itu:
Berpose di sampul majalah Rolling Stone?
Album kita ditandai lima bintang 5 di rubrik Review?
Dan kita saling berdusta di halaman Interview?
Mereka lari dan mencuri lagu-lagu kita ribuan kali!
Kita terpenjara dan tak lagi bisa gubah nada-nada baru
Sepi menguasai, tata suara mati: mempertegas garis sunyi.
Kita menjadi sepasang penyair malang, menjadi penakut,
simpan ribuan bait banci di laci, benci gagal sembunyi!
Thursday, November 18, 2010
Pamplet II
Tulis dengan ringkas, maka mereka akan membacanya; tulis dengan jelas mereka akan menghargainya; gambarkan dengan baik maka mereka akan mengingatnya; tapi di atas semua itu tulis dengan AKURAT maka mereka akan terbimbing oleh cahayanya.
Joseph Pulitzer (1847-1911)
Perintis Hadiah Jurnalistik Pulitzer
Perintis Hadiah Jurnalistik Pulitzer
Labels:
pamplet
[oase] Waktu yang Leluasa
KAYA itu punya uang yang banyak. Sejahtera itu artinya punya waktu yang amat leluasa. Punya waktu leluasa, itu artinya kita punya kesempatan untuk menikmati uang kita, bukan? Sesedikit atau sebanyak apapun uang kita itu.
Maka, seperti bait sajak Tagore, biarkan hidupmu menari kecil di tepi Waktu, seperti embun di ujung daun!
Menarilah, merayakan dan mensyukuri hidup! Dengan begitu walaupun kau tak bisa menguasai waktu itu, paling tidak kau menikmatinya. Seperti embun yang pasti akan jatuh, atau menguap: pergi dari ujung daun itu.[]
Maka, seperti bait sajak Tagore, biarkan hidupmu menari kecil di tepi Waktu, seperti embun di ujung daun!
Menarilah, merayakan dan mensyukuri hidup! Dengan begitu walaupun kau tak bisa menguasai waktu itu, paling tidak kau menikmatinya. Seperti embun yang pasti akan jatuh, atau menguap: pergi dari ujung daun itu.[]
Labels:
oase
Subscribe to:
Posts (Atom)