Friday, October 30, 2009

Kenduri Duri Durian

NAMA itu: durian, ia dari diri kami,
tapi bagimu, apakah ini ada arti?

Daging buah itu tak pernah tahu,
ada kami: duri di kulit buah ini,
duri yang hanya menyarukan wangi,
dari aroma yang tak bisa sembunyi.

Daging buah itu pernahkah ingin
bertanya, sekali saja, sukakah kami
pada aromanya yang membuat kami harus
luka, terbelah, dan tajam yang kami
jaga dan menjaga ini, tak berarti
apa-apa, cuma semacam sebuah sia-sia.

*

Nama itu: kenduri, O, betapa ingin kami
tahu, bahwa ia juga berasal dari kami.



Melankolia Melon Sagu

MUNGKIN dia ada di dasar mangkok itu: mengira dirinya butir sagu,
yang kelak menggelincir laju di lidah, licin, lepas, dan tak terkunyah.

Waktu, dengan tangannya yang terus saja mengulur itu, mengaduk
sebentar, memastikan lemak-manis-segar itu padu, lalu menyuapkan
sepercidukan, serta sebola melon, menggantung antara kau dan aku.

Tatapan bertikaman. Kita mengadu: siapa paling dahaga, kau atau aku.


Tuesday, October 27, 2009

Sangka Semangkok Mangga



DIA yang sudah terkupas dan teriris,
di mangkok itu tergiur pada lidahku.

Aku, mengelak dingin penyejuk kamar,
Ingatan ke subuh yang jauh dan samar

Pohon setua hikayat, bercabang piton.
Kutunggu luruh buah, akil balig bocah.

Kau adalah mangga jatuh, yang kurebut,
dari udara yang tak utuh. Siapa yang
perlu pisau? Bilakala lekas kau kugugut.



Waktu di Salihara

AKU ingin senantiasa sesat ke sana,
Ah, selalu aku kira ada ruang rahasia.

Tempat sesiapa seperti aku sembunyi,
lalu menemukan apa yang tak tercari.

Di sana, aku bertemu Waktu, duduk di
tebal bangku kayu. Dia yang sibuk
itu, tampak santai sekali, menyantap
mie goreng salihara. "Kesinilah kalau
mau menaklukkan aku," katanya padaku.

Lalu dia mengajak aku berkeliling,
ke teater itu, ke galeri itu, ke kafe
atap itu, ke serambi itu, ke musala
itu, ke toilet itu, ke kedai cindera
mata itu, ke ruang kerjanya yang entah
di sebelah mana. Ah, aku tak sempat
heran, di sini, dia, si Waktu itu
ternyata bekerja, ada tempat untuknya.

Aku tak bertanya, dibayar berapa dia.
Waktu? Ah, pasti mahal sekali tarifnya.






Di Ruang Praktek Dokter Gigi

SEMENTARA aku terus menganga, kau
menyebut kode-kode posisi gigi dan
nama-nama alat yang bergantian
disodorkan padamu, kata-kata yang tak
sempat kutebak, dan tak kumengerti.

Kau bicara tentang mana yang masih
bisa dipertahankan. Dan aku nyaris
tak bisa bertahan, terbaring di kursi
perawatan itu, dengan mulut terus
saja menganga, menguapkan semua kata:
aku tak bisa membantah atau mengiya.

Aku akan terus menganga, sepertinya
dengan demikian itu telah habis lebih
dahulu semua jeritan dan aku memang tak
ingin membayangkan sesakit apa sakitnya.

Sementara aku menganga, kau suntikkan
jarum anestesi, lalu terasa gusi dan
bibirku tebal sekali. Seperti firasat,
bahwa aku akan ditinju rasa kehilangan:
sesuatu yang begitu dekat, tapi padanya
aku tak pernah terlalu peduli.


Monday, October 26, 2009

Tidak Berjalan ke mana-mana di Waktu Malam Hari



: Sapardi Djoko Damono

DUA kursi itu, tak berebut siapa
sebenarnya lebih pantas kau duduki.

Kau dan kursi tak bertanya, bayangan
kalian disembunyikan cahaya atau
diserap habis lantai beton itu.

Terang lampu dan gelap dinding tak
bertengkar tentang siapa di antara
mereka yang khusyuk kau renungkan.

Mikropon di kursi di sebelahmu, masih
kaget dan berusaha terus mengingat
yang baru saja kau ucapkan lewat dia.

Foto: M Aan Mansyur



Terima Kasih, Afifah!



Utan Kayu Literary Bienale, Sabtu, 24 Oktober, 2009. Pemain biola mahasiswi Jurusan Biologi, ITB, itu berhasil menjaga irama saya membaca puisi. Saya cenderung membaca dengan cepat. Terima kasih, Afifah. Ayahmu Ir Irawan B Koesoemo pasti bangga dengan kamu.

Foto: M Aan Mansyur


Sunday, October 25, 2009

Apa Kabar Jantungmu?

: M Aan Mansyur


AKHIRNYA kita bertemu
di kota bernama Jakarta.

Sejak di bandara bernama
Soekarno-Hatta, padamu aku
sudah ingin bertanya:
masihkah Jantungmu itu mau
membunuhmu dengan indah?

Ataukah telah dia lepaskan
badik (yang tak pernah kau
sebut dalam sajak-sajakmu)
yang hendak ia tikamkan
itu, yang sudah sejak lama
ia tajamkan di dalih lidah,
di keras batuasah?

"Oh," katamu, "Badik itu kini
jadi pembatas buku."

Jantungmu itu, kini menjadi
kutubuku.

Ia suka sekali membaca
sajak-sajakmu. Walau harus
menduga-duga banyak hal,
menebak nama-nama yang sering
kau sebut di sana, dan
sesekali tergoda, ingat pada
keinginan lamanya.


*

Di kota bernama Jakarta kau
membeli banyak sekali buku.
Aku kira itu oleh-oleh untuk
Jantungmu.

"Di perpustakaan kami," katamu,
(aku menduga siapa dia yang
jadi kami dengan kau di kata
ganti orang pertama jamak itu)
banyak sekali pembaca seperti
Jantungku itu. Mereka datang
mencari buku yang pas untuk
dicumbui saat hati sepoi sepi,
setelah atau menjelang kekasih
pergi."

Aku bayangkan, akan banyak
sekali badik, yang harus kau
persiapkan untuk menjadi
pembatas buku-buku baru itu.

*

Dan kau bercerita tentang
bukumu sendiri yang tak perlu
badik sebagai pembatasnya,
yang tak pernah bisa selesai
kau tulis dan kau baca.

"Buku itu, seperti badik,
tertancap abadi di Jantungku!"
katamu. Buku itu, bercerita
tentang perempuan yang memeluk
kekasihnya, di sebuah diskusi
buku puisi, di sebuah tempat
bernama Taman Ismail Marzuki.

"Pelukan yang lama tapi tak
cukup lama baginya untuk
memastikan bahwa badik lain yang
bernama Cinta (atau tentah apa)
itu masih tertanam dan tumbuh
subur di dalam tubuhku," katamu.

Akhirnya, aku mendengar cerita
itu langsung darimu, di kota
bernama Jakarta, kota yang kini
menyembunyikan si Pemeluk itu.




Monday, October 19, 2009

Gunjing Sastra (4) - Kenapa Malu Membuat Pembaharuan?

Nirwan Dewanto betul. Siapa saja bisa mengalami pengalaman batin yang sama, juga penyair, misalnya ketika mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak, dan lain-lain. Ini mungkin yang disebut Subagio Sastrowardoyo: keterharuan. Dia betul, pengalaman batin itu belum pasti akan menjadi sebuah puisi, apa yang ia sebut sebagai artefak kata-kata.

Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair.
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi?



Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.

Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.

Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata?

Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya.

"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya.

Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya.

Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan!

Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan.

Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?

Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.

Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?

Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.

Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya?

Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?

:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!

Gunjing Sastra (3) - Apa Sih yang Dibawa Puisi?

Agak sulit saya memahami apa yang disebutkan Nirwan dalam tulisannya dengan kalimat ini: Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa.

Lalu apa yang dibawa oleh puisi? Kosong saja? Tak ada pesan apa-apa? Hanya membawa pembaca ke sebuah lingkungan bahasa? Apa itu lingkungan bahasa? Apakah maksudnya puisi itu semata-mata urusan linguistik saja? Urusan kata dan frase? Urusan "fisik" belaka?



Kalau puisi tidak membawa berita, bagaimana dengan syair Melayu yang "memberitakan" tentang perkawinan anak Kapitan Cina. Apakah maksud Nirwan ini sajak modern saja? Ada syair yang berisi ajaran moral, dan bukankah itu semacam berita juga?

Mungkin kita perlu bantuan kalimat berikutnya. Katanya: ...Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan “kepribadian” si pembuatnya.

Kita bisa mengajukan sederet pertanyaan pada Nirwan: Bukankah, si penyair itu yang memilih untuk mengunakan khazanah kekayaan bahasa yang mana yang hendak ia pakai untuk puisinya? Bukankah penyair itu justru diuji kepenyairannya dari sejauh mana ia menguasai kekayaan itu?

Apakah Nirwan menganggap proses "mengatakan kekayaan bahasa secara tersirat dan tersurat" oleh puisi itu sama sekali tak ada peran si penyair di situ? Apakah ia hanya menulis, dan tanpa sadar puisinya lantas menyiratkan dan menyuratkan seluruh kekayaan bahasanya? Lalu si penyair begitu saja menerima apa yang "diciptakan" oleh puisi sebagai kepribadiannya?

Saya kira, kalau mau setuju pada kalimat Nirwan di atas, saya seperti melihat bahwa proses menulis puisi itu diserahkan pada sesuatu di luar kuasa penyair. Semacam digerakkan oleh ilham yang berasal dari "kekayaan bahasa". Tapi bukankah Nirwan tak percaya pada ilham?

Kalimat sambungan dari Nirwan yang perlu dipetik juga dalam pergunjingan ini. "Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham," katanya.

Bahasa itu pasif. Dia diam saja. Ia memberikan potensi yang sama besarnya bagi siapa saja. Seberapa besar potensi itu bisa dimanfaatkan oleh penyair A, dan seberapa besar yang bisa digarap oleh penyair B ditentukan oleh - ah sederhana saja - seberapa dalam ia bisa menggali, menjajal, "memiuhkan", memain-mainkan, segenap khazanah kekayaan bahasa yang ada.

Bukankah kata "mandi", "kamar mandi", "kuburan" dan kata-kata lain itu, di tangan Joko Pinurbo menjadi punya "darah segar" yang menggairahkan puisi-puisinya? Potensi itu tidak dicomot begitu saja oleh Joko Pinurbo dari kekayaan bahasa, bukan? Ia dengan rajin dan gelisah mengolah bahasa itu. Ia mengasah.

:: Let's go! Pergunjingan belum selesai, dan akan makin tidak bermutu...