Agak sulit saya memahami apa yang disebutkan Nirwan dalam tulisannya dengan kalimat ini: Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa.
Lalu apa yang dibawa oleh puisi? Kosong saja? Tak ada pesan apa-apa? Hanya membawa pembaca ke sebuah lingkungan bahasa? Apa itu lingkungan bahasa? Apakah maksudnya puisi itu semata-mata urusan linguistik saja? Urusan kata dan frase? Urusan "fisik" belaka?
Kalau puisi tidak membawa berita, bagaimana dengan syair Melayu yang "memberitakan" tentang perkawinan anak Kapitan Cina. Apakah maksud Nirwan ini sajak modern saja? Ada syair yang berisi ajaran moral, dan bukankah itu semacam berita juga?
Mungkin kita perlu bantuan kalimat berikutnya. Katanya: ...Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan “kepribadian” si pembuatnya.
Kita bisa mengajukan sederet pertanyaan pada Nirwan: Bukankah, si penyair itu yang memilih untuk mengunakan khazanah kekayaan bahasa yang mana yang hendak ia pakai untuk puisinya? Bukankah penyair itu justru diuji kepenyairannya dari sejauh mana ia menguasai kekayaan itu?
Apakah Nirwan menganggap proses "mengatakan kekayaan bahasa secara tersirat dan tersurat" oleh puisi itu sama sekali tak ada peran si penyair di situ? Apakah ia hanya menulis, dan tanpa sadar puisinya lantas menyiratkan dan menyuratkan seluruh kekayaan bahasanya? Lalu si penyair begitu saja menerima apa yang "diciptakan" oleh puisi sebagai kepribadiannya?
Saya kira, kalau mau setuju pada kalimat Nirwan di atas, saya seperti melihat bahwa proses menulis puisi itu diserahkan pada sesuatu di luar kuasa penyair. Semacam digerakkan oleh ilham yang berasal dari "kekayaan bahasa". Tapi bukankah Nirwan tak percaya pada ilham?
Kalimat sambungan dari Nirwan yang perlu dipetik juga dalam pergunjingan ini. "Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham," katanya.
Bahasa itu pasif. Dia diam saja. Ia memberikan potensi yang sama besarnya bagi siapa saja. Seberapa besar potensi itu bisa dimanfaatkan oleh penyair A, dan seberapa besar yang bisa digarap oleh penyair B ditentukan oleh - ah sederhana saja - seberapa dalam ia bisa menggali, menjajal, "memiuhkan", memain-mainkan, segenap khazanah kekayaan bahasa yang ada.
Bukankah kata "mandi", "kamar mandi", "kuburan" dan kata-kata lain itu, di tangan Joko Pinurbo menjadi punya "darah segar" yang menggairahkan puisi-puisinya? Potensi itu tidak dicomot begitu saja oleh Joko Pinurbo dari kekayaan bahasa, bukan? Ia dengan rajin dan gelisah mengolah bahasa itu. Ia mengasah.
:: Let's go! Pergunjingan belum selesai, dan akan makin tidak bermutu...
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Monday, October 19, 2009
Gunjing Sastra (2) - Perlukah Riwayat Hidup Penyair Dikaitkan dengan Puisinya?
Nirwan Dewanto tampaknya ingin membatasi atau menyempitkan kemungkinan kita mendekati puisi. Ia menulis, hanya dengan puisi itulah kita bersoal-jawab. Lalu katanya: sebuah puisi adalah sebuah artefak, yang membuat kita bisa menciptakan sejenis “arkeologi pengetahuan”.
Di tulisannya yang lain di blog yang sama, Nirwan Dewanto menulis: ...saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka.
Keinginan atau keyakinan Nirwan untuk membebaskan puisi dari hal-hal lain, termasuk riwayat hidup penyairnya, makin ditegaskan dari kutipan di atas.
Saya tidak sependapat dengan dia. Menurut saya, apapun yang bisa dikaitkan dengan puisi seseorang, itu sah digunakan untuk mendekati puisi. Kalau Nirwan dulu dalam riwayatnya sebagai kritikus bilang A, lalu dia menulis puisi yang tidak A tetapi B, bukankah perubahan dari A ke B itu menarik untuk digunjingkan? Kita tidak bisa melupakan A dulu yang pernah dia bilang. Itu jadi riwayat dia, orang seorang, orang yang sama yang menulis B. Kenapa harus disterilkan?
Ya, bisa saja puisi dianggap sebagai sebuah artefak, yaitu - menurut KBBI - benda-benda, spt alat, perhiasan yg menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama pd zaman dahulu) yg ditemukan melalui penggalian arkeologi; atau makna lain: benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata. Tapi, apakah lantas tak ada sama sekali jejak si pencipta artefak itu di situ? Kalau ada apakah jejak itu sama sekali tak bisa atau tak perlu digunakan untuk "memaknai arkeologi pengetahuan" pada artefak itu.
Saya menerjemahkan beberapa sajak Naomi Shihab Rye. Riwayat hidupnya yang berbapak Arab Palestina membantu saya memahami dan masuk ke dalam ruang dalam beberapa sajak-sajak yang saya terjemahkan itu. Bagaimana saya harus melupakan riwayat hidupnya itu, lalu hanya bersoal-jawab dengan sajak-sajaknya saja? Saya sangat terbantuk memahami sajak-sajaknya, dengan mengetahui riwayat hidupnya, sesingkat apapaun riwayat yang saya dapat.
Bila puisi adalah sebuah artefak, bukan dia bisa dipakai juga untuk "membongkar" hal-hal lain di luar dirinya? Dalam sajak Naomi, jika saya tak tahu apa-apa tentang riwayat hidupnya saat saya membaca, saya akan menebak pasti dia ada kait-mengait dengan tanah dan darah Arab. Untuk memastikan itu, saya akan merujuk ke riwayat hidupnya, bukan?
:: Pergunjingan ini masih bersambung.
Di tulisannya yang lain di blog yang sama, Nirwan Dewanto menulis: ...saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka.
Keinginan atau keyakinan Nirwan untuk membebaskan puisi dari hal-hal lain, termasuk riwayat hidup penyairnya, makin ditegaskan dari kutipan di atas.
Saya tidak sependapat dengan dia. Menurut saya, apapun yang bisa dikaitkan dengan puisi seseorang, itu sah digunakan untuk mendekati puisi. Kalau Nirwan dulu dalam riwayatnya sebagai kritikus bilang A, lalu dia menulis puisi yang tidak A tetapi B, bukankah perubahan dari A ke B itu menarik untuk digunjingkan? Kita tidak bisa melupakan A dulu yang pernah dia bilang. Itu jadi riwayat dia, orang seorang, orang yang sama yang menulis B. Kenapa harus disterilkan?
Ya, bisa saja puisi dianggap sebagai sebuah artefak, yaitu - menurut KBBI - benda-benda, spt alat, perhiasan yg menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama pd zaman dahulu) yg ditemukan melalui penggalian arkeologi; atau makna lain: benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata. Tapi, apakah lantas tak ada sama sekali jejak si pencipta artefak itu di situ? Kalau ada apakah jejak itu sama sekali tak bisa atau tak perlu digunakan untuk "memaknai arkeologi pengetahuan" pada artefak itu.
Saya menerjemahkan beberapa sajak Naomi Shihab Rye. Riwayat hidupnya yang berbapak Arab Palestina membantu saya memahami dan masuk ke dalam ruang dalam beberapa sajak-sajak yang saya terjemahkan itu. Bagaimana saya harus melupakan riwayat hidupnya itu, lalu hanya bersoal-jawab dengan sajak-sajaknya saja? Saya sangat terbantuk memahami sajak-sajaknya, dengan mengetahui riwayat hidupnya, sesingkat apapaun riwayat yang saya dapat.
Bila puisi adalah sebuah artefak, bukan dia bisa dipakai juga untuk "membongkar" hal-hal lain di luar dirinya? Dalam sajak Naomi, jika saya tak tahu apa-apa tentang riwayat hidupnya saat saya membaca, saya akan menebak pasti dia ada kait-mengait dengan tanah dan darah Arab. Untuk memastikan itu, saya akan merujuk ke riwayat hidupnya, bukan?
:: Pergunjingan ini masih bersambung.
Sunday, October 18, 2009
Gunjing Sastra (1): Puisi Itu Ditulis Berdasarkan Ilham, atau Apa?
Di blognya Nirwan Dewanto menulis begini: Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka mengerjakan puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.
Mari kita bergunjing tentang hal itu. Sastra, asyik juga kita gunjingkan, bukan? Rasanya ini bukan pergunjingan yang bikin dosa.
Nirwan sepertinya sedang tak percaya pada ilham. Ia tak percaya pada gerak hati yang membuat penyair menuliskan sesuatu, mendorong penyair untuk menggubah puisi.
Baginya puisi semata-mata "pekerjaan" dan pergulatan dengan bahasa. Ia dalam hal ini tampaknya mengutamakan bentuk. Betul itu, dan bagi saya bahasa itu tak lain adalah wadah. Puisi, itu selalu terdiri atas dua hal bentuk dan isi. Itu sebabnya, isi puisi bisa dipindahkan ke bentuk lain (tentu tanpa membawa wadahnya): lukisan misalnya, atau gubahan musik.
Ilham bukan berarti bisikan dewa atau Tuhan. Kenapa orang-orang memandang rembulan sempurna, lalu sebagaian melupakan kesan yang tertangkap hati dari peristiwa itu dan sebagian terilhami menuliskannya dalam sajak? Ini saya kira hanya bisa dijelaskan dengan Ilham. Ilham itu adalah apa yang menggerakkan hati. Ilham bukan bulan purnamanya itu. Itu hanya penyebab timbulnya ilham.
Jika tak percaya pada ilham: bagaimana Nirwan menjelaskan kenapa ia menulis sajak ketika sahabatnya meninggal? Kenapa ia tergerak menuliskan sajak untuk itu? Kenapa keharuan itu menyentuh hatinya, lalu ia bikin sajak? Kenapa untuk kematian sahabatnya yang lain dia tidak tergerak untuk menuliskan sajak juga?
Saya teringat bagaimana Matsnawi mulai digarap oleh Rumi. Di bawah pohon dengan seorang muridnya, ia mengeluarkan sesuatu dari lipatan surban: secarik kertas. Ia bacakan apa yang ia tulis di sana, lalu ia minta muridnya menyalin. Lalu, sang murid mencatat aja apa yang kemudian ia bacakan. Begitu seterusnya, secarik kertas adalah awalnya saja. Selanjutnya, Rumi tidak "menulis" syair. Ia begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Rumi betul-betul menyair. Rumi tidak "mengerjakan syair", jika yang dimaksud adalah bergulat dengan bahasa. Ia bergulat dengan ide syairnya. Ia menggarap syairnya. Rumi berada dalam keadaan yang terus-menerus terilhami.
:: bersambung.
Mari kita bergunjing tentang hal itu. Sastra, asyik juga kita gunjingkan, bukan? Rasanya ini bukan pergunjingan yang bikin dosa.
Nirwan sepertinya sedang tak percaya pada ilham. Ia tak percaya pada gerak hati yang membuat penyair menuliskan sesuatu, mendorong penyair untuk menggubah puisi.
Baginya puisi semata-mata "pekerjaan" dan pergulatan dengan bahasa. Ia dalam hal ini tampaknya mengutamakan bentuk. Betul itu, dan bagi saya bahasa itu tak lain adalah wadah. Puisi, itu selalu terdiri atas dua hal bentuk dan isi. Itu sebabnya, isi puisi bisa dipindahkan ke bentuk lain (tentu tanpa membawa wadahnya): lukisan misalnya, atau gubahan musik.
Ilham bukan berarti bisikan dewa atau Tuhan. Kenapa orang-orang memandang rembulan sempurna, lalu sebagaian melupakan kesan yang tertangkap hati dari peristiwa itu dan sebagian terilhami menuliskannya dalam sajak? Ini saya kira hanya bisa dijelaskan dengan Ilham. Ilham itu adalah apa yang menggerakkan hati. Ilham bukan bulan purnamanya itu. Itu hanya penyebab timbulnya ilham.
Jika tak percaya pada ilham: bagaimana Nirwan menjelaskan kenapa ia menulis sajak ketika sahabatnya meninggal? Kenapa ia tergerak menuliskan sajak untuk itu? Kenapa keharuan itu menyentuh hatinya, lalu ia bikin sajak? Kenapa untuk kematian sahabatnya yang lain dia tidak tergerak untuk menuliskan sajak juga?
Saya teringat bagaimana Matsnawi mulai digarap oleh Rumi. Di bawah pohon dengan seorang muridnya, ia mengeluarkan sesuatu dari lipatan surban: secarik kertas. Ia bacakan apa yang ia tulis di sana, lalu ia minta muridnya menyalin. Lalu, sang murid mencatat aja apa yang kemudian ia bacakan. Begitu seterusnya, secarik kertas adalah awalnya saja. Selanjutnya, Rumi tidak "menulis" syair. Ia begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Rumi betul-betul menyair. Rumi tidak "mengerjakan syair", jika yang dimaksud adalah bergulat dengan bahasa. Ia bergulat dengan ide syairnya. Ia menggarap syairnya. Rumi berada dalam keadaan yang terus-menerus terilhami.
:: bersambung.
Seorang Tubuhku
JAUH sekali tubuhku, membawaku sampai padamu
Tubuhku adalah sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan: si penerima tak mengenal Anda!
*
Ingin sekali tubuhku, membawamu sampai padaku
Tubuhku adalah sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di ruang paling bimbang, aku seperti
sedang menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat, semakin lurus, dan semakin makin.
*
Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu.
Tubuhku adalah jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti sepertiga malam, malam semalam.
Tubuhku adalah sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan: si penerima tak mengenal Anda!
*
Ingin sekali tubuhku, membawamu sampai padaku
Tubuhku adalah sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di ruang paling bimbang, aku seperti
sedang menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat, semakin lurus, dan semakin makin.
*
Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu.
Tubuhku adalah jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti sepertiga malam, malam semalam.
Friday, October 16, 2009
Dua Negeri
Sajak Naomi Shihab Nye
Kulit ingat berapa lama tahun-tahun tumbuh,
ketika kulit tak tersebntuh, ada lorong kelabu
kesendirian, bulu lepas dari ekor seekor
burung, berputar-putar pada langkah selangkah,
tersapu hilang, kaki seseorang yang tak pernah
melihat itu adalah bulu. Kulit menyantap, berjalan,
tidur sendiri, tahu bagaimana melambaikan
tangan-sampai-jumpa-lagi. Tapi kulit merasakan
itu tak pernah tampak, tak pernah tertandai
sebagai pulau di peta, mengendus bagai kota,
melenggang bagai kota, gemerlap kubah masjid
dan ratusan koridor kayumanis dan tali-temali.
Kulit punya harapan, itulah yang telah dibuatnya.
Menenteramkan wilayah rawan, membuka jalan.
Cinta berarti engkau bernafas di dua negeri.
Dan kulit ingat -- sutera, rumput berduri,
dalam di relung kantong, di mana kulit simpan rahasia.
Bahkan kini, ketika kulit tak lagi sendiri,
dia kenang arti bersendiri dan menerimakasih pada
sesuatu yang lebih luas, ada pelancong di sana,
orang-orang bertandang wilayah ke wilayah, yang
lebih luas dari punya mereka sendiri.
Kulit ingat berapa lama tahun-tahun tumbuh,
ketika kulit tak tersebntuh, ada lorong kelabu
kesendirian, bulu lepas dari ekor seekor
burung, berputar-putar pada langkah selangkah,
tersapu hilang, kaki seseorang yang tak pernah
melihat itu adalah bulu. Kulit menyantap, berjalan,
tidur sendiri, tahu bagaimana melambaikan
tangan-sampai-jumpa-lagi. Tapi kulit merasakan
itu tak pernah tampak, tak pernah tertandai
sebagai pulau di peta, mengendus bagai kota,
melenggang bagai kota, gemerlap kubah masjid
dan ratusan koridor kayumanis dan tali-temali.
Kulit punya harapan, itulah yang telah dibuatnya.
Menenteramkan wilayah rawan, membuka jalan.
Cinta berarti engkau bernafas di dua negeri.
Dan kulit ingat -- sutera, rumput berduri,
dalam di relung kantong, di mana kulit simpan rahasia.
Bahkan kini, ketika kulit tak lagi sendiri,
dia kenang arti bersendiri dan menerimakasih pada
sesuatu yang lebih luas, ada pelancong di sana,
orang-orang bertandang wilayah ke wilayah, yang
lebih luas dari punya mereka sendiri.
Darah
Sajak Naomi Shihab Nye
"Arab sebenarnya tahu cara menangkap lalat dengan tangannya,"
ayahku bilang begitu. Dan dia membuktikannya,
memerangkap serta-merta, sang serangga pendengung itu,
si tuan rumah terpana, pemukul lalat di tangannya.
Pada musim semi telapak kami mengelupas bagai ular.
Arab sebenarnya percaya semangka bisa sembuhkan 50 penyakit.
Aku mengubah semua, agar serasi seperistiwa.
Beberapa tahun lalu, ada gadis mengetuk,
dia ingin bertemu Arab sebenarnya.
Aku bilang tak ada, di sini tak ada.
Lalu, ayahku bilang padaku, dia Arab sebenarnya,
"Shihab" - "bintang kembara"--
nama baik, dipinjamkan angkasa.
Sekali waktu aku bilang, "Kalau mati, kita kembalikan ke sana?"
Ayahku bilang, itulah yang diyakin Arab sebenarnya.
Hari ini berita utama membeku di darahku.
Bocah Palestina menjuntaikan truk mainan di halaman utama.
Tak berumah buah kurma, tragedi berakar ngeri ini
terlalu raksasa buat kita. Bendera apa bisa kita kibarkan?
Aku kibarkan bendera batu dan bebijian,
taplak meja bersulam biru.
Aku memanggil ayahku, kamu baca bersama itu berita.
Ini buatnya sungguh sudah terlalu,
tak terucap dengan dua bahasa di lidahnya.
Aku berkendara mencari lembu, domba,
mengajak mereka memohon ke angkasa:
Siapa yang menyerukan perabadan?
Di mana hati yang menangis bisa menggembala?
Sekarang, apa yang bisa dilakuan Arab yang sebenarnya?
"Arab sebenarnya tahu cara menangkap lalat dengan tangannya,"
ayahku bilang begitu. Dan dia membuktikannya,
memerangkap serta-merta, sang serangga pendengung itu,
si tuan rumah terpana, pemukul lalat di tangannya.
Pada musim semi telapak kami mengelupas bagai ular.
Arab sebenarnya percaya semangka bisa sembuhkan 50 penyakit.
Aku mengubah semua, agar serasi seperistiwa.
Beberapa tahun lalu, ada gadis mengetuk,
dia ingin bertemu Arab sebenarnya.
Aku bilang tak ada, di sini tak ada.
Lalu, ayahku bilang padaku, dia Arab sebenarnya,
"Shihab" - "bintang kembara"--
nama baik, dipinjamkan angkasa.
Sekali waktu aku bilang, "Kalau mati, kita kembalikan ke sana?"
Ayahku bilang, itulah yang diyakin Arab sebenarnya.
Hari ini berita utama membeku di darahku.
Bocah Palestina menjuntaikan truk mainan di halaman utama.
Tak berumah buah kurma, tragedi berakar ngeri ini
terlalu raksasa buat kita. Bendera apa bisa kita kibarkan?
Aku kibarkan bendera batu dan bebijian,
taplak meja bersulam biru.
Aku memanggil ayahku, kamu baca bersama itu berita.
Ini buatnya sungguh sudah terlalu,
tak terucap dengan dua bahasa di lidahnya.
Aku berkendara mencari lembu, domba,
mengajak mereka memohon ke angkasa:
Siapa yang menyerukan perabadan?
Di mana hati yang menangis bisa menggembala?
Sekarang, apa yang bisa dilakuan Arab yang sebenarnya?
San Antonio
Sajak Naomi Shihab Nye
Malam ini aku tak ingin pergi dari namamu,
serangkai lembut huruf hidup
suara yang diam di dalam kepalaku.
Engkau sedang tidur, ketika aku sampai.
Aku berdiri di samping ranjangmu
menatap sarung tilam itu perlahan bangkit
Aku tahu remang cahaya apa yang
membuat engkau bertukar rupa.
Yaitu ketika aku merasa
jalan raya meluncur keluar dari tanganku.
Aku terkenang lelaki tua
di sisi barat kafe,
menekuri domino seperti pukau sihir.
Yaitu ketika kemudian aku tahu,
seperti perempuan menatap halaman belakang,
Aku tak bisa pergi dari engkau, atau
menemukan orang lain yang bisa lebih kucintai.
Malam ini aku tak ingin pergi dari namamu,
serangkai lembut huruf hidup
suara yang diam di dalam kepalaku.
Engkau sedang tidur, ketika aku sampai.
Aku berdiri di samping ranjangmu
menatap sarung tilam itu perlahan bangkit
Aku tahu remang cahaya apa yang
membuat engkau bertukar rupa.
Yaitu ketika aku merasa
jalan raya meluncur keluar dari tanganku.
Aku terkenang lelaki tua
di sisi barat kafe,
menekuri domino seperti pukau sihir.
Yaitu ketika kemudian aku tahu,
seperti perempuan menatap halaman belakang,
Aku tak bisa pergi dari engkau, atau
menemukan orang lain yang bisa lebih kucintai.
Wednesday, October 14, 2009
Di Kamar Hotel
INI boleh dimulai dari apa saja.
Kau didihkan air, demi segelas teh seduh,
atau kopi, untuk menjamu diri sendiri.
Bukankah, di kamar ini, kau adalah tuan
yang lelah dan juga tamu yang sedih?
Atau kau cari arah kiblat yang biasanya
mereka sembunyikan di plafon itu. Lalu
kau salatlah. Singkat saja, tak bersajadah.
Kau tak tahu, ada yang ingin sekali
menjadi makmum di belakangmu,
mengajakmu sembahyang berjamaah.
Atau kau telepon petugas room service,
memesan apa yang berhasil menipumu dan
laparmu di lembar menu itu. Sepanjang
siang tadi, kau bertahan tetap puasa.
Atau kau hidupkan televisi. TV-One atau
Metro-TV, apa bedanya? Toh, bencana itu
adalah bencana yang sama? Duka itu adalah
duka yang sama? Tangis itu adalah tangis
yang sama. Dan kau tak di sana. Kau jauh
dari episentrum itu. Kau yang juga tak mampu
meredam gempa di dada dan kepalamu.
Atau?
Ah, ini boleh dimulai dari mana saja.
Toh, segalanya akan berujung sama: Kau
tak tahu apakah ini telah berakhir atau masih
akan lama?
Kau didihkan air, demi segelas teh seduh,
atau kopi, untuk menjamu diri sendiri.
Bukankah, di kamar ini, kau adalah tuan
yang lelah dan juga tamu yang sedih?
Atau kau cari arah kiblat yang biasanya
mereka sembunyikan di plafon itu. Lalu
kau salatlah. Singkat saja, tak bersajadah.
Kau tak tahu, ada yang ingin sekali
menjadi makmum di belakangmu,
mengajakmu sembahyang berjamaah.
Atau kau telepon petugas room service,
memesan apa yang berhasil menipumu dan
laparmu di lembar menu itu. Sepanjang
siang tadi, kau bertahan tetap puasa.
Atau kau hidupkan televisi. TV-One atau
Metro-TV, apa bedanya? Toh, bencana itu
adalah bencana yang sama? Duka itu adalah
duka yang sama? Tangis itu adalah tangis
yang sama. Dan kau tak di sana. Kau jauh
dari episentrum itu. Kau yang juga tak mampu
meredam gempa di dada dan kepalamu.
Atau?
Ah, ini boleh dimulai dari mana saja.
Toh, segalanya akan berujung sama: Kau
tak tahu apakah ini telah berakhir atau masih
akan lama?
Tuesday, October 13, 2009
Di Lobi Hotel
APA yang kita bayangkan tentang kamar?
Nomor yang hanya akan kita ingat sebentar. Kunci yang kenapa kita terima dengan tangan gemetar? Semacam kecemasan selamat datang - yang di sajak ini, ingin sekali kutulis dalam tanda petik atau tanda kurung. Tapi, apa gunanya mengistimewakan perasaan yang rutin itu? Apa bedanya dengan pilihan single bed atau doube bed, sebab toh pada akhirnya kita hanya akan sendiri, berpeluk dengan sunyi sendiri, setelah menutup tirai tebal jendela itu, semacam sembunyi dari risau sendiri?
Apa yang kita harapkan dari sarapan?
Menu rutin yang buru-buru kita habiskan. Aku mungkin akhirnya hanya tergembirakan oleh jus jambu biji. Manis-masamnya itu, persis seperti apa yang dulu kucuri, di nakal masa kecilku. Aha, berapa lama ya aku sudah tak pernah mencuri lagi? Aduh, perasaan itu, seperti kata asing, yang dalam sajak ini harus kutulis dengan teks huruf miring. Tapi, apa gunanya juga membedakannya? Bukankah semuanya bisa tiba-tiba terasa jadi sangat asing? Terasa sangat huruf miring?
Nomor yang hanya akan kita ingat sebentar. Kunci yang kenapa kita terima dengan tangan gemetar? Semacam kecemasan selamat datang - yang di sajak ini, ingin sekali kutulis dalam tanda petik atau tanda kurung. Tapi, apa gunanya mengistimewakan perasaan yang rutin itu? Apa bedanya dengan pilihan single bed atau doube bed, sebab toh pada akhirnya kita hanya akan sendiri, berpeluk dengan sunyi sendiri, setelah menutup tirai tebal jendela itu, semacam sembunyi dari risau sendiri?
Apa yang kita harapkan dari sarapan?
Menu rutin yang buru-buru kita habiskan. Aku mungkin akhirnya hanya tergembirakan oleh jus jambu biji. Manis-masamnya itu, persis seperti apa yang dulu kucuri, di nakal masa kecilku. Aha, berapa lama ya aku sudah tak pernah mencuri lagi? Aduh, perasaan itu, seperti kata asing, yang dalam sajak ini harus kutulis dengan teks huruf miring. Tapi, apa gunanya juga membedakannya? Bukankah semuanya bisa tiba-tiba terasa jadi sangat asing? Terasa sangat huruf miring?
Diskusi tentang Jantung dan Atap
Diskusi ini dua sesi, dimulai pukul 4 sore.
Dua buku puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna (Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2008) dan Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) menerima dua penghargaan sastra pada tahun lalu. Buku pertama ditahbiskan sebagai buku sastra terbaik 2008 versi majalah Tempo, dan buku kedua memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award.
Sementara penghargaan sastra hanyalah salah satu cara untuk menilai buku sastra—mendudukkannya berdasarkan kriteria tertentu dalam khazanah sastra yang bersangkutan—yang diperlukan sesungguhnya lebih dari itu. Yang lebih penting adalah menilik ke dalam karya itu sendiri, menguji apa sumbangannya untuk perkembangan sastra dan bahasa.
Diskusi ini berniat menyajikan kritik sastra, khususnya kritik puisi, yang sangat jarang dikerjakan dewasa ini. Para pembicara akan menyajikan uraian tertulis tentang aspek keperajinan (craft) puisi maupun “kelainan” sekaligus keterhubungan kedua buku puisi termaksud dengan khazanah sastra yang sudah ada. Dengan kata lain, mereka akan mengajukan argumen tentang kehadiran dua buku itu dalam sastra (berbahasa) Indonesia terkini.
Adi Wicaksono (penulis seni) dan Bramantyo Prijosusilo (seniman) akan mengulas Teman-temanku dari Atap Bahasa, sedangkan Bagus Takwin (penulis) dan Zen Hae (penyair) akan menilik Jantung Lebah Ratu.
Diskusi 2 Buku Puisi
Serambi Salihara
Senin, 19 Oktober 2009
Pukul 16:00 WIB TEMAN-TEMANKU DARI ATAP BAHASA karya Afrizal Malna
Pembicara: Adi Wicaksono & Bramantyo Prijosusilo
Pukul 19:00 WIB JANTUNG LEBAH RATU karya Nirwan Dewanto
Pembicara: Bagus Takwin & Zen Hae
Moderator: Nirwan Ahmad Arsuka (untuk dua sesi)
GRATIS
Dua buku puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna (Lafadl Pustaka, Yogyakarta, 2008) dan Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) menerima dua penghargaan sastra pada tahun lalu. Buku pertama ditahbiskan sebagai buku sastra terbaik 2008 versi majalah Tempo, dan buku kedua memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award.
Sementara penghargaan sastra hanyalah salah satu cara untuk menilai buku sastra—mendudukkannya berdasarkan kriteria tertentu dalam khazanah sastra yang bersangkutan—yang diperlukan sesungguhnya lebih dari itu. Yang lebih penting adalah menilik ke dalam karya itu sendiri, menguji apa sumbangannya untuk perkembangan sastra dan bahasa.
Diskusi ini berniat menyajikan kritik sastra, khususnya kritik puisi, yang sangat jarang dikerjakan dewasa ini. Para pembicara akan menyajikan uraian tertulis tentang aspek keperajinan (craft) puisi maupun “kelainan” sekaligus keterhubungan kedua buku puisi termaksud dengan khazanah sastra yang sudah ada. Dengan kata lain, mereka akan mengajukan argumen tentang kehadiran dua buku itu dalam sastra (berbahasa) Indonesia terkini.
Adi Wicaksono (penulis seni) dan Bramantyo Prijosusilo (seniman) akan mengulas Teman-temanku dari Atap Bahasa, sedangkan Bagus Takwin (penulis) dan Zen Hae (penyair) akan menilik Jantung Lebah Ratu.
Subscribe to:
Posts (Atom)