LIHAT, betapa lihainya kami saling mencuri.
Sajak ini tadinya kutulis karena aku ingin
memakai kata "maling". Aku tak ingin membuka
kamus (besar atau kecil, lengkap atau tak
lengkap) untuk memastikan apa arti kata itu.
Di folder PUISI di laptopku, kucari sajak-sajak
lama di mana kata itu hadir. Hei, aku bertemu
kamu di beberapa sajakku itu. Aku kira kau
sedang mencuri beberapa kata dari sana. Aku
menemukan kata-kata yang kau curi itu di sajakmu,
tapi, aku tak pernah punya bukti bahwa kau memang
telah mencurinya dari sajakku. Aku tak kehilangan
apa-apa. Aku tak rugi, meski aku tahu pasti kau
mencuri beberapa kata dari beberapa sajakku.
Diam-diam, aku berharap kau juga telah tahu
bahwa, aku juga sering menyelinap ke sajakmu
dan mencuri beberapa kata untuk sajak-sajakku.
Sajak ini, tadinya ingin kuberi judul dengan
kata "maling", misalnya Betapa Malingnya
Penyair Besar, Betapa Malangnya Penyair Kecil,
tapi ah, anggap saja aku kehilangan judul sajakku
ini, dan aku tahu kaulah yang mencuri.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, March 4, 2009
Kau Beri Judulnya, Aku Tulis Sajaknya
KITA tak pernah peduli pada surat Penyair Besar
kepada Penyair Muda itu. Maka, kita pun terus
bertukar sajak cinta (dan akhirnya demikianlah:
sajak menjadi alasan dan jalan kita bercinta)
"Maukah kau menyajakkan (lagi) Mataku?" katamu.
Aku pun masuk ke matamu, dan di sebuah tempat
(seperti teluk pantai teduhnya), aku direbut
ombak. Mungkin saat itu kau sedang memejam
(aku seperti melayari malam), ketika itulah
kutemukan sebait yang kuyakini sebagai sajak:
Matamu lampu mercu, menyuar lelaki pelayar,
kau tak melihatku, aku menatapi dengan rindu.
"Hmmm, sekarang, sajakkanlah dadaku," pintamu.
Ah, betapa ingin dan alangkah takut aku menulis
sajak tentang bagian tubuh dari mana kelak kau
dipanggil Mama oleh anak-anak kita itu.
Banyak penyair di luar percintaan kita, menulis
dadadara kekasih mereka itu dengan berbagai
metafora, tapi aku (dalam bait sajak yang kutulis
setelah kau pinta itu) menjadikannya metafora,
(sebenarnya itu sajak paling gairah yang tak
pernah ingin kuselesaikan, selamanya...)
"Inilah sajak yang paling dada. Biar aku saja
yang menyimpannya, dan biar kuberitahu judul
apa yang aku ingin kau berikan pada sajak itu.
Judul sajak cinta ini paling tepat diletakkan di
dada bukan di kepala," katamu, mendekap sajakku.
Demikianlah, kita punya alasan yang kuat dan jalan
yang panjang untuk bercinta. Setiap kali menulis
sajak, aku seperti membaca dadamu, aku seperti
sedang menambahkan bait-bait baru pada sajak
tentang dadamu di dadadaramu itu.
kepada Penyair Muda itu. Maka, kita pun terus
bertukar sajak cinta (dan akhirnya demikianlah:
sajak menjadi alasan dan jalan kita bercinta)
"Maukah kau menyajakkan (lagi) Mataku?" katamu.
Aku pun masuk ke matamu, dan di sebuah tempat
(seperti teluk pantai teduhnya), aku direbut
ombak. Mungkin saat itu kau sedang memejam
(aku seperti melayari malam), ketika itulah
kutemukan sebait yang kuyakini sebagai sajak:
Matamu lampu mercu, menyuar lelaki pelayar,
kau tak melihatku, aku menatapi dengan rindu.
"Hmmm, sekarang, sajakkanlah dadaku," pintamu.
Ah, betapa ingin dan alangkah takut aku menulis
sajak tentang bagian tubuh dari mana kelak kau
dipanggil Mama oleh anak-anak kita itu.
Banyak penyair di luar percintaan kita, menulis
dadadara kekasih mereka itu dengan berbagai
metafora, tapi aku (dalam bait sajak yang kutulis
setelah kau pinta itu) menjadikannya metafora,
(sebenarnya itu sajak paling gairah yang tak
pernah ingin kuselesaikan, selamanya...)
"Inilah sajak yang paling dada. Biar aku saja
yang menyimpannya, dan biar kuberitahu judul
apa yang aku ingin kau berikan pada sajak itu.
Judul sajak cinta ini paling tepat diletakkan di
dada bukan di kepala," katamu, mendekap sajakku.
Demikianlah, kita punya alasan yang kuat dan jalan
yang panjang untuk bercinta. Setiap kali menulis
sajak, aku seperti membaca dadamu, aku seperti
sedang menambahkan bait-bait baru pada sajak
tentang dadamu di dadadaramu itu.
Semua Kata di Sajak Ini Ingin Kuanggap Sebagai
Judul dan Sekalian Juga Isi, sebab Judul dan
Isi Sejak Kapan Mereka dengan Kejam Dipisahkan?
"HUJAN itu puisi kita, bukan?" katamu pada suatu
hujan. "Ya," kataku, "dan kita tak pernah peduli
apa judulnya." Kita baca sehuruf-sehuruf rintik
hingga basah bait terakhir habis dibasuhkan....
Aku mau kelak anak-anak kita, dan anak-anak anak
kita, mengenang kita sebagai sepasang puisi juga.
Aku mau mereka membaca betapa basah kita berdua,
sebab hujan cinta tak pernah reda di hari-hari
hidup kita. Hujan kita, cinta kita seperti juga
kita, adalah Sajak yang Tak Lagi Peduli Mana
Judul dan Mana Isi, seperti judul dan isi sajak ini.
Judul dan Sekalian Juga Isi, sebab Judul dan
Isi Sejak Kapan Mereka dengan Kejam Dipisahkan?
"HUJAN itu puisi kita, bukan?" katamu pada suatu
hujan. "Ya," kataku, "dan kita tak pernah peduli
apa judulnya." Kita baca sehuruf-sehuruf rintik
hingga basah bait terakhir habis dibasuhkan....
Aku mau kelak anak-anak kita, dan anak-anak anak
kita, mengenang kita sebagai sepasang puisi juga.
Aku mau mereka membaca betapa basah kita berdua,
sebab hujan cinta tak pernah reda di hari-hari
hidup kita. Hujan kita, cinta kita seperti juga
kita, adalah Sajak yang Tak Lagi Peduli Mana
Judul dan Mana Isi, seperti judul dan isi sajak ini.
FIKSIMINI - Jam dan Kalender
KALENDER itu berusaha merontok-rontokkan angka-angka tanggal dan nama-nama hari pada bulan-bulannya. Tapi, tak ada yang terlepas. Semua tetap terbaca, berurutan, satu hingga 28, 30 atau 31. "Ha ha ha. Sia-sia saja, Kawan," kata Jam di dinding itu.
Sejak itu, Kalender itu tak mau berusaha melepaskan diri dari angka tanggal dan nama hari yang melekat padanya (Sia-sia saja, kawan....). Abadi, seakan.
Jam itu pun tak pernah bicara apa-apa lagi. Ia seakan menyesali kata-katanya kepada Kalender itu (Sia-sia saja, Kawan....). Jam itu kini sadar, dengan atau tanpa angka padanya, ia tak pernah bisa mempercepat atau memperlambat tik tak tik taknya sendiri. Suara detik itu dengan seksama disimak oleh si Kalender itu. Kalender itu merasa seperti ada yang ikut berdetak pada angka-angka tanggal dan nama-nama hari bersama detak detik itu.
Sejak itu, Kalender itu tak mau berusaha melepaskan diri dari angka tanggal dan nama hari yang melekat padanya (Sia-sia saja, kawan....). Abadi, seakan.
Jam itu pun tak pernah bicara apa-apa lagi. Ia seakan menyesali kata-katanya kepada Kalender itu (Sia-sia saja, Kawan....). Jam itu kini sadar, dengan atau tanpa angka padanya, ia tak pernah bisa mempercepat atau memperlambat tik tak tik taknya sendiri. Suara detik itu dengan seksama disimak oleh si Kalender itu. Kalender itu merasa seperti ada yang ikut berdetak pada angka-angka tanggal dan nama-nama hari bersama detak detik itu.
Nanti Aku akan Singgah di Kafemu
: Solopuccino
DAN lekas memohon untuk segelas kopi
yang segera kubayangkan jadi puisi:
hitam matang serbuk keping-keping biji,
manis yang tak bisa dicicipi oleh
serat batang tebu - yakinkan di ujung
syaraf lidah kita - dan hangat kepul uap
pada ketel itu (siapa yang larut pada
apa, sebenarnya?)
Aku akan bayangkan, kopi yang kau sajikan
mengambil hitamnya dari langit malam,
menciptakan kepul uap dari hangat igauan
dan manis itu? Ia kristal yang tak berdaya
pada takaran, bahkan pun bila ditiadakan!
Ya, nanti aku akan singgah di kafemu itu
dan lekas meminta hangat perbincangan:
Mungkin tentang kaos yang kau kenakan,
Semar dan Mister Bean (siapa bicara
dalam bahasa apa, sebenarnya?)
DAN lekas memohon untuk segelas kopi
yang segera kubayangkan jadi puisi:
hitam matang serbuk keping-keping biji,
manis yang tak bisa dicicipi oleh
serat batang tebu - yakinkan di ujung
syaraf lidah kita - dan hangat kepul uap
pada ketel itu (siapa yang larut pada
apa, sebenarnya?)
Aku akan bayangkan, kopi yang kau sajikan
mengambil hitamnya dari langit malam,
menciptakan kepul uap dari hangat igauan
dan manis itu? Ia kristal yang tak berdaya
pada takaran, bahkan pun bila ditiadakan!
Ya, nanti aku akan singgah di kafemu itu
dan lekas meminta hangat perbincangan:
Mungkin tentang kaos yang kau kenakan,
Semar dan Mister Bean (siapa bicara
dalam bahasa apa, sebenarnya?)
Monday, February 23, 2009
Bukan Batu Petir Ponari
AKU akan melupakan Nobel Sastra, apalagi
cuma Khatulistiwa Literary Award (KLA)
dan
aku akan merasa berhasil mengatasi
semua angkatan dalam sejarah sastra
dan
aku tak akan lagi takjub pada mantra
Tardji, imaji Sapardi, balada Rendra
dan
aku tak akan menulis puisi lain lagi
bila
kutemukan sajak sebait saja, bait
yang ajaib yang kalau kubacakan
maka
orang melupakan batu petir ponari itu
lalu
mereka yang sedang sakit tersembuhkan
mereka yang dikepung sedih terhiburkan
mereka yang lama miskin tercukupkan
mereka yang diam bisu tersuarakan
mereka yang dirampas lumpur tergantikan
cuma Khatulistiwa Literary Award (KLA)
dan
aku akan merasa berhasil mengatasi
semua angkatan dalam sejarah sastra
dan
aku tak akan lagi takjub pada mantra
Tardji, imaji Sapardi, balada Rendra
dan
aku tak akan menulis puisi lain lagi
bila
kutemukan sajak sebait saja, bait
yang ajaib yang kalau kubacakan
maka
orang melupakan batu petir ponari itu
lalu
mereka yang sedang sakit tersembuhkan
mereka yang dikepung sedih terhiburkan
mereka yang lama miskin tercukupkan
mereka yang diam bisu tersuarakan
mereka yang dirampas lumpur tergantikan
Monday, February 2, 2009
Sejalan Panjang Kenangan
1. Ruang-ruang Kuliah Kampus Lama
AKU sering tertidur di deretan kursi belakang.
Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana
membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.
Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku
itu: pada-Nya, aku bertanya, "Aku, Kau tempa
dari tanah apa?" Dia menjawab, "Kenapa kau tanya
aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu..."
Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara
membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya,
aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.
2. Jalan Malabar, Bafak, Bagunde
KAMAR kosku dari timpa tumpuk diktat, bantal
gabus yang bantat, ransel yang tak pernah muat
menampung 23 SKS yang padat: praktikum yang ketat,
laporan yang cepat, praktek lapangan yang singkat
Kamar kosku tak bisa mengasingkanku dari parau
tenggorokan bemo, yang selalu ngebut tak sabar
di jalan Malabar, mengantar ke kios-kios fotokopi
di Bafak, ke kedai-kedai makan murah di Bagunde
Ada seorang sopir bemo yang bila kelak berjumpa
lagi ingin takzim kucium tangannnya. Dulu dia bilang,
"Buat apa jauh-jauh dari Kalimantan kuliah di
sini, Kang? Saya saja yang lahir dan besar di gubuk
di belakang kampus itu, tak tamat sekolah dasar..."
Ah, Engkau! Aku tiba-tiba sadar, betapa jauh telempar
ditendang oleh kaki nasib bertelapak kasar dan besar!
AKU sering tertidur di deretan kursi belakang.
Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana
membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.
Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku
itu: pada-Nya, aku bertanya, "Aku, Kau tempa
dari tanah apa?" Dia menjawab, "Kenapa kau tanya
aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu..."
Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara
membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya,
aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.
2. Jalan Malabar, Bafak, Bagunde
KAMAR kosku dari timpa tumpuk diktat, bantal
gabus yang bantat, ransel yang tak pernah muat
menampung 23 SKS yang padat: praktikum yang ketat,
laporan yang cepat, praktek lapangan yang singkat
Kamar kosku tak bisa mengasingkanku dari parau
tenggorokan bemo, yang selalu ngebut tak sabar
di jalan Malabar, mengantar ke kios-kios fotokopi
di Bafak, ke kedai-kedai makan murah di Bagunde
Ada seorang sopir bemo yang bila kelak berjumpa
lagi ingin takzim kucium tangannnya. Dulu dia bilang,
"Buat apa jauh-jauh dari Kalimantan kuliah di
sini, Kang? Saya saja yang lahir dan besar di gubuk
di belakang kampus itu, tak tamat sekolah dasar..."
Ah, Engkau! Aku tiba-tiba sadar, betapa jauh telempar
ditendang oleh kaki nasib bertelapak kasar dan besar!
Kantin Mahatani
AKU dan dia selalu memesan menu yang sama:
semangkok soto daging, nasi dua piring dan
dua botol teh, pakai es. Lalu, dengan
kecap manis dan sambal yang berlebih, kuah itu
menjelma menjadi seperti larutan sampel
tanah dalam percobaan tiga unsur tekstur..
Ini bukan soal kemesraan, ini penghematan.
Ini juga tentang wesel datang lambat bulan.
Lagi pula yang paling nikmat di meja-meja itu
adalah percakapan tanpa menu: jenaka selalu.
Semurung apapun mendung di matamu, seketika
terusir oleh riuh tinggi percakapan di kantin itu.
Kepada seorang kawan yang stres karena skripsi
tentang pengaruh zeolit terhadap pertumbuhan
jahe (atau jagung manis) kuceritakan lelucon
ini: "Tahukah kamu? Nama saudara aktor
Tabah Panemuan? Namanya, Sabar Penelitian!"
Soto yang sama di kantin ini disantap oleh dosen,
mahasiswa, asisten dan penjaga laboratorium...
Lelucon yang sama ditertawakan selalu di sana!
Ah, Engkau. Aku selalu mengira Kau ada di situ duduk
di pojok, dengan sebatang rokok yang tak Kau bakar,
senyum ketika ada yang lucu, seakan ingin menceritakan
sesuatu.... Aku kira aku tahu selucu apa lelucon-Mu.
Tulis Akhir Postingan Anda
semangkok soto daging, nasi dua piring dan
dua botol teh, pakai es. Lalu, dengan
kecap manis dan sambal yang berlebih, kuah itu
menjelma menjadi seperti larutan sampel
tanah dalam percobaan tiga unsur tekstur..
Ini bukan soal kemesraan, ini penghematan.
Ini juga tentang wesel datang lambat bulan.
Lagi pula yang paling nikmat di meja-meja itu
adalah percakapan tanpa menu: jenaka selalu.
Semurung apapun mendung di matamu, seketika
terusir oleh riuh tinggi percakapan di kantin itu.
Kepada seorang kawan yang stres karena skripsi
tentang pengaruh zeolit terhadap pertumbuhan
jahe (atau jagung manis) kuceritakan lelucon
ini: "Tahukah kamu? Nama saudara aktor
Tabah Panemuan? Namanya, Sabar Penelitian!"
Soto yang sama di kantin ini disantap oleh dosen,
mahasiswa, asisten dan penjaga laboratorium...
Lelucon yang sama ditertawakan selalu di sana!
Ah, Engkau. Aku selalu mengira Kau ada di situ duduk
di pojok, dengan sebatang rokok yang tak Kau bakar,
senyum ketika ada yang lucu, seakan ingin menceritakan
sesuatu.... Aku kira aku tahu selucu apa lelucon-Mu.
Tulis Akhir Postingan Anda
Pendakian Malam Hari Gede-Pangrango
AKU jadi lebih mengerti kenapa Kau beri sepasang kaki
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu
Fiksi Mini tentang Si Agus dan Si Noor
: untuk Agus Noor
KEMATIAN INSTAN
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati. Cepat sekali.
SAAT DIA TIDAK MENELEPON KE MANA-MANA
IA menelepon ke Gedung Putih, Amerika. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?", Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon ke Menara Kembar di Malaysia. Waktu ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon pemain Barongsai, di Tiongkok. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus..."
SAAT dia tidak menelepon ke mana-mana, Agus bertanya pada teleponnya, "Kalau saya telepon Tuhan, apa dia juga bertanya siapa saya?"
Teleponnya bilang, "Mungkin saja. Memangnya kenapa? Kau tinggal jawab saja: Agus, Agus!"
HARI PERTAMA KERJA SI NOOR
NOOR diterima kerja menjadi seorang detektif partikelir di sebuah kantor detektif. Tugas pertamanya, di hari pertama bekerja adalah mencari di manakah gerangan kantornya berada.
KEMATIAN INSTAN
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati. Cepat sekali.
SAAT DIA TIDAK MENELEPON KE MANA-MANA
IA menelepon ke Gedung Putih, Amerika. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?", Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon ke Menara Kembar di Malaysia. Waktu ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon pemain Barongsai, di Tiongkok. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus..."
SAAT dia tidak menelepon ke mana-mana, Agus bertanya pada teleponnya, "Kalau saya telepon Tuhan, apa dia juga bertanya siapa saya?"
Teleponnya bilang, "Mungkin saja. Memangnya kenapa? Kau tinggal jawab saja: Agus, Agus!"
HARI PERTAMA KERJA SI NOOR
NOOR diterima kerja menjadi seorang detektif partikelir di sebuah kantor detektif. Tugas pertamanya, di hari pertama bekerja adalah mencari di manakah gerangan kantornya berada.
Subscribe to:
Posts (Atom)