Lihat aku, lihat,
diseret-seret bayang sendiri,
ke pucuk bukit.
Seperti digiring
menyalin nyali
mengaji dan menguji
rasa sakit lagi
Telah tajam sepi
terasah Sepi.
Tali besar di leher
bila kutentang
makin menggenting
bila kusentak
makin mencekik
O, betapa pengecut ini
tak setabah Ismail,
masih saja
sia-sia kuharap
lenguh tolol
seekor domba.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, November 28, 2008
Wednesday, November 26, 2008
Sajak Cinta Sederhana tentang Cinta yang Tak Sederhana
: Na, istriku
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda
Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji
Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.
Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.
Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."
*
DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.
Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.
Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.
Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.
Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.
Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.
*
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.
Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.
Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!
[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda
Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji
Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.
Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.
Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."
*
DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan
Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.
Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.
Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.
Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.
Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.
Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.
*
SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.
Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.
Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!
[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)
Monday, November 24, 2008
Friday, November 21, 2008
Mendung yang Kotor
: benz
mari singgah, sedakar lepas penat helm, dan
letakkan letih koper, pertahunan di jalur umur,
lalu kita tegakkan pandang pada tinggi menara,
"itu," kataku, "mendung yang kotor, bakal
ada hujan lumpur," kau menggeleng dan menatap
pada kunci motor. "Chevolusi, chevolusi," kudengar
seperti kata itu yang kau desiskan berkali-kali.
kau raih lagi setang motor, membanting ke arah
yang jauh menolak nyaman sangkar dan teduh sumur.
aku memetik ranting beringin, untuk bilah mengaji
lagi, kitab yang tak pernah bisa kita tamatkan...
udara tertinggal selepas kau tancap habis gas,
melaju ke arah yang jauh, aku kenal itu parfum,
lelaki yang tak meninggalkan jejak, kecuali
tumpah kopi di taplak, dan kering kembang tanjung.
mari singgah, sedakar lepas penat helm, dan
letakkan letih koper, pertahunan di jalur umur,
lalu kita tegakkan pandang pada tinggi menara,
"itu," kataku, "mendung yang kotor, bakal
ada hujan lumpur," kau menggeleng dan menatap
pada kunci motor. "Chevolusi, chevolusi," kudengar
seperti kata itu yang kau desiskan berkali-kali.
kau raih lagi setang motor, membanting ke arah
yang jauh menolak nyaman sangkar dan teduh sumur.
aku memetik ranting beringin, untuk bilah mengaji
lagi, kitab yang tak pernah bisa kita tamatkan...
udara tertinggal selepas kau tancap habis gas,
melaju ke arah yang jauh, aku kenal itu parfum,
lelaki yang tak meninggalkan jejak, kecuali
tumpah kopi di taplak, dan kering kembang tanjung.
Thursday, November 20, 2008
Mengeja Orgasmaya,Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh
Oleh: Abu Salman
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Selengkapnya baca di SINI
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Selengkapnya baca di SINI
Tuesday, November 18, 2008
Siklus Sirkus
: Benz, TSP
TAK ada lagi misteri itu sebenarnya
bila kau artikan dia sebagai rahasia
aku sudah berkali-kali datang jadi saksi
duduk di kursi majelis ini, di hadapan
mahkamah hakim yang lupa mengetuk palu
bisakah mereka buktikan bercak darah
di jemariku itu memercik dari lukamu?
bisakah mereka usut kemana ulur tambang
itu berujung? ke sumur di halaman penjaraku?
atau ke ujung tiang gantungan?
nasib seperti siklus pertunjukan sirkus,
hore, ada yang terampil memainkan nasib,
hore, ada yang ikhlas bertepuk tangan
nasib, pun seperti kepiting capit perisai
dia menggali hanya satu lubang di pantai
yang teramat lapang teramat jauh melandai
bukankah, telah runtuh tembok di kota kita
yang dulu begitu kukuh memisahkan aku yang
rindu dan engkau yang angkuh
ada pintu di sana, dijaga sepasukan tentara
yang menyodorkan formulir yang harus kau isi
dengan sedikit dusta dan selebihnya karanglah
cerita, tentang apa saja: buah semangka,
daun cincau, padang kerangka, jalan ranjau....
TAK ada lagi misteri itu sebenarnya
bila kau artikan dia sebagai rahasia
aku sudah berkali-kali datang jadi saksi
duduk di kursi majelis ini, di hadapan
mahkamah hakim yang lupa mengetuk palu
bisakah mereka buktikan bercak darah
di jemariku itu memercik dari lukamu?
bisakah mereka usut kemana ulur tambang
itu berujung? ke sumur di halaman penjaraku?
atau ke ujung tiang gantungan?
nasib seperti siklus pertunjukan sirkus,
hore, ada yang terampil memainkan nasib,
hore, ada yang ikhlas bertepuk tangan
nasib, pun seperti kepiting capit perisai
dia menggali hanya satu lubang di pantai
yang teramat lapang teramat jauh melandai
bukankah, telah runtuh tembok di kota kita
yang dulu begitu kukuh memisahkan aku yang
rindu dan engkau yang angkuh
ada pintu di sana, dijaga sepasukan tentara
yang menyodorkan formulir yang harus kau isi
dengan sedikit dusta dan selebihnya karanglah
cerita, tentang apa saja: buah semangka,
daun cincau, padang kerangka, jalan ranjau....
Monday, November 17, 2008
Proyek Poster
Saya sedang menggarap sebuah proyek nonpuisi, yakni membuat poster. Rasanya kok ada yang tak bisa disalurkan lewat puisi. Poster lebih tepat. Saya muak melihat banyak sekali poster-poster calon anggota legislatif di Batam. Ah, di kota Anda juga pasti demikian.
Tema poster berangkaian ini berangkat dari situ: MEREKA BIKIN SAYA MALU MELIHAT WAJAH SAYA SENDIRI.
Beberapa poster sudah beres:
POSTER # 01 - Saya Ingin Melihat Bagian Diri Saya Sendiri tapi Saya Tak Bisa Membuka Pintu Ini.

POSTER # 02 - Saya hanya Bisa Membeli Diri Saya Sendiri, Itupun karena Harganya Sangat Murah.

POSTER # 03 - Beginilah Nasibku: Recycle Body, Reuse Mind, Replace Soul.

Tema poster berangkaian ini berangkat dari situ: MEREKA BIKIN SAYA MALU MELIHAT WAJAH SAYA SENDIRI.
Beberapa poster sudah beres:
POSTER # 01 - Saya Ingin Melihat Bagian Diri Saya Sendiri tapi Saya Tak Bisa Membuka Pintu Ini.
POSTER # 02 - Saya hanya Bisa Membeli Diri Saya Sendiri, Itupun karena Harganya Sangat Murah.
POSTER # 03 - Beginilah Nasibku: Recycle Body, Reuse Mind, Replace Soul.
Diskusi Buku Puisi Afrizal "Teman-temanku dari Atap Bahasa"
Diskusi sastra
Jumat November 21, 2008,
Pukul 3:00pm - 6:00pm
di Cemara 6 Galeri,
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng, Indonesia
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
DescriptionTelah lewat dua dekade semenjak buku puisi pertama—penanda pemikiran Afrizal Malna memperkaya khazanah sastra di negeri ini. selama itu, puisi-puisi beserta karya-karya lain Afrizal memberikan kepada kita sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda.
Pembaca dapat menemukan hadirnya obyek dan pengalaman menyehari yang ditata dengan strategi instalasi pada puisi Afrizal. Puisi Afrizal mengemban sebutan mesra puisi instalasi. Tetapi, instalasi Afrizal yang terkadang sukar dipecahkan itu, memberikan kesempatan untuk susastera yang tidak menyangkal pengalaman keseharian dan setia kepada diri.
Menyambut penerbitan kumpulan puisi yang terbaru berjudul “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, Bale Sastra Kecapi berkeinginan membahas lebih lanjut karya-karya Afrizal, melihat bagaimana perkembangannya serta posisinya dalam kesusasteraan mutakhir Indonesia.
Pembicara:
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Demikianlah pemberitahuan ini kami buat. Atas perhatian Anda kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam,
Geger Riyanto, Koordinator Bale Sastra Kecapi
Jumat November 21, 2008,
Pukul 3:00pm - 6:00pm
di Cemara 6 Galeri,
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng, Indonesia
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
DescriptionTelah lewat dua dekade semenjak buku puisi pertama—penanda pemikiran Afrizal Malna memperkaya khazanah sastra di negeri ini. selama itu, puisi-puisi beserta karya-karya lain Afrizal memberikan kepada kita sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda.
Pembaca dapat menemukan hadirnya obyek dan pengalaman menyehari yang ditata dengan strategi instalasi pada puisi Afrizal. Puisi Afrizal mengemban sebutan mesra puisi instalasi. Tetapi, instalasi Afrizal yang terkadang sukar dipecahkan itu, memberikan kesempatan untuk susastera yang tidak menyangkal pengalaman keseharian dan setia kepada diri.
Menyambut penerbitan kumpulan puisi yang terbaru berjudul “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, Bale Sastra Kecapi berkeinginan membahas lebih lanjut karya-karya Afrizal, melihat bagaimana perkembangannya serta posisinya dalam kesusasteraan mutakhir Indonesia.
Pembicara:
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Demikianlah pemberitahuan ini kami buat. Atas perhatian Anda kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam,
Geger Riyanto, Koordinator Bale Sastra Kecapi
Siapakah Sebenarnya Kamu, Benz?
Penyair muda dari Yogya itu mengajak saya bermain. Dia kirim sepuluh kata dan kami menyajakkannya. Di blognya ia lebih dahulu menampilkan sajaknya. Padahal sudah kubilang, jangan buru-buru, kita ini pemburu. Baiklah, Benz. Ini sajakku.
Siapakah Sebenarnya Kamu
:Benz
AKU dan malam, kami saling menjaketkan,
aku lihat kamu ada di redup sebuah musala,
memang kami tak buru-buru, tapi kami
tak menyinggahimu, aku dan malam sedang
menelusuri kabel panjang: berisi arus
waktu dan alir kehidupan, tak kemana
berujung, tapi kemana-mana menyambung,
dan aku tahu, pasti juga ke alamat mu.
aku pernah juga melihatmu, hinggap di
bentang kabel itu. Letih sekali tampakmu.
seperti pelanggan tak taat pada rekening,
tagihan yang kau abaikan, takut pada
peringatan, nyaris sambungan diputuskan.
*
AKU dan malam, kami gelar karpet besar
aku berbaring dan kulihat kamu amat sibuk
di langit itu memalu paku, tempat nanti
aku mengantung lipatan kertas permintaan.
*
AKU suka bikin mangkuk dari tangan
lalu malam menumpahi dengan sisa cahaya
kalau aku tertidur, malam diam-diam
meninggalkan aku, tapi kami nanti bertemu
di banyak tempat, di lantai diskotik, di
karpet futsal, di tilam pasien gawat
darurat, di gelang nama bayi neonatus,
dan kulihat juga kau selalu ada di
mana-mana itu. Aku tak mau terlalu jauh
bertanya, siapakah sebenarnya kamu?
Siapakah Sebenarnya Kamu
:Benz
AKU dan malam, kami saling menjaketkan,
aku lihat kamu ada di redup sebuah musala,
memang kami tak buru-buru, tapi kami
tak menyinggahimu, aku dan malam sedang
menelusuri kabel panjang: berisi arus
waktu dan alir kehidupan, tak kemana
berujung, tapi kemana-mana menyambung,
dan aku tahu, pasti juga ke alamat mu.
aku pernah juga melihatmu, hinggap di
bentang kabel itu. Letih sekali tampakmu.
seperti pelanggan tak taat pada rekening,
tagihan yang kau abaikan, takut pada
peringatan, nyaris sambungan diputuskan.
*
AKU dan malam, kami gelar karpet besar
aku berbaring dan kulihat kamu amat sibuk
di langit itu memalu paku, tempat nanti
aku mengantung lipatan kertas permintaan.
*
AKU suka bikin mangkuk dari tangan
lalu malam menumpahi dengan sisa cahaya
kalau aku tertidur, malam diam-diam
meninggalkan aku, tapi kami nanti bertemu
di banyak tempat, di lantai diskotik, di
karpet futsal, di tilam pasien gawat
darurat, di gelang nama bayi neonatus,
dan kulihat juga kau selalu ada di
mana-mana itu. Aku tak mau terlalu jauh
bertanya, siapakah sebenarnya kamu?
Subscribe to:
Posts (Atom)