Tuesday, April 29, 2008

[Pencerahan 24 # dari 365] Jalan Puisi

Penyair Guru, saya ingin menempuh jalan puisi, tetapi kenapa akhir-akhir ini saya merasa tambah asing dengannya? Padahal hampir tiap hari saya berupaya menikmati berbagai karya puisi dari buku, blog, milis, majalah. Saya seperti tidak sanggup meniti jalan tersebut, padahal saya sangat menginginkannya. Apa yang harus saya lakukan, Penyair Guru? Seringkali saya mengagumi ketika ada penyair menampilkan metafora-metafora yang memukau. Kapankah saya bisa membuat sesuatu yang Puisi?


Jangan berjalan di jalan puisi bila engkau merasa asing dengan puisi. Akrabilah dahulu puisi itu. Biarlah pelan-pelan keakraban itu yang mengajarimu melangkah. Jangan bertanya kemana langkahmu dibawanya. Nikmati saja.

Jangan terus-menerus engkau risau dan bertanya karena hendak memastikan dengan bertanya padanya, "inikah jalan puisi? Inikah jalanmu, Puisi?" Jangan bertanya, engkau akan rasakan ketika tahu jawabannya.

Jangan meragukan kesanggupanmu melangkah di jalan puisi. Jangan terlalu menginginkannya. Karena keinginan yang berlebih justru akan membuat langkahmu buru-buru. Engkau nanti akan jatuh tersandung banyak hal di jalan itu. Engkau nanti menyesal dan memilih berbelok ke jalan lain.

Nikmatilah Puisi, lebih dari sekedar engkau menikmati karya puisi. Nikmatilah puisi di mana saja tidak hanya di buku, blog, milis, dan majalah. Engkau bisa menemukan puisi di mana-mana. Di mana saja, dekati dia. Puisikanlah puisi itu. Hanya puisi yang memberi ilham kepada puisi.

Jangan membuat puisi karena engkau ingin orang mengagumi puisimu. Jangan membuat metafora dengan niat agar orang terpukau pada metafora itu.

Engkau bertanya kapankah saya bisa membuat sesuatu yang Puisi? Aku kira ketika kau bertanya begitu kau sudah kehilangan banyak kesempatan untuk melangkah menuju Puisi yang kau hendak tuju itu.

Gelman, Macarena, dan Cervantes



Pulanglah, Nak, Pulang/ Sebab mesti kukabarkan kematianmu.


Sebait sajak di atas ditulis oleh Juan Gelman. Kita bisa mengerti bagaimana bait itu lahir setelah membaca sekilas riwayat hidupnya. Ia lahir di Buenos Aires, di kawasan Villa Crespo, 3 Mei 1930. Dia anak ketiga dari imigran Rusia-Yahudi. Pada umur tiga tahun dia sudah belajar membaca. Seperti bocah lelaki kebanyakan dia menghabiskan masa kanak dengan bersepeda, main bola, dan membaca.

Sejak 1956, dia telah menerbitkan lebih dari 20 buku. Dan pada bulan April 2008, namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Cervantes 2007, sebuah penghargaan sastra dari Kerajaan Spanyol untuk karya-karya yang ditulis dalam bahasa Spanyol.

Dia dinilai layak mendapat penghargaan itu "untuk keteguhan komitmennya pada puisi, dimana keadilan dan perdamaian di dunia menjadi perhatian utamanya sebagai penyair". Dan bagi Gelman penghargaan senilai lebih dari Rp1 miliar itu, telah membela dan mempertahankan puisi agar tetap bertahan sebagai "pohon gugur daun yang bisa menaungi".

Gelman adalah sastrawan Argentina keempat yang menerima hadiah serupa, setelah Sabato (1979), Jorge Luis Borges (1984) dan Adolfo Bioy Casares (1990). Tahun ini Gelman mengalahkan para kandidat lain Nicanor Parra (Chile), Mario Benedetti (Uruguay), Blanca Varela (Peruvia) , Fina Garcia Marruz (Kuba) dan tiga nama dari Meksiko Elena Poniatowska, Margo Glanz , Jose Emilio Pacheco.

Sajaknya bertema kekayaan budaya Yahudi, keluarga, Argentina, keterusiran dan tango. Sajaknya merayakan kehidupan tetapi juga menyentuh dengan komentar-komentar sosial dan politik, refleksi dari kepedihannya sendiri akibat terlindas mesin politik di negerinya.

Ketertarikan pada puisi telah terbangun pada dirinya sejak usia dini. Ada lahir anekdot pada kurun usia kanaknya itu. Pada usia 11 atau 12, Gelman kerap mengigaukan puisi. Puisi yang ia rasakan luar biasa, yang sayangnya ketika ia bangun, tak sebait pun yang bisa ia ingat.

"Hari ini kita berkumpul di sini, untuk memastikan sekali lagi, bahwa puisi Anda bukan mimpi, tetapi kenyataan yang dahsyat, bergerak, dan tak terlupakan," kata Raja Spanyol Juan Carlos ketika menyerahkan medali simbol Hadiah Cervantes di Alcala De Henares, tempat kelahiran Miguel de Cervantes Saavedra, sang pengarang "Don Quixote" itu.

Pada usia delapan tahun ia sudah membaca karya Dostoevsky 'The Insulted and Humiliated'. Ketika remaja dia bergabung dengan beberapa komunitas sastra dan kemudian mendapatkan pekerjaan penting sebagai wartawan.

Sampai tahun 1975, dia menjadi aktivis politik yang gigih dan terlibat jauh dengan Mononeros, walaupun kemudian dia menjarakkan diri dengan kelompok itu. Setelah kudeta di tahun 1976, dia terpaksa melarikan diri dari Argentina, menjadi kaum eksilan, selama duabelas tahun.

Pada tahun 1976, anaknya Marcelo dan menantunya yang sedang hamil, Maria Claudia diculik, disembunyikanentah di mana dan kemudian mati dieksekusi. Dua orang terkasih yang hilang bersama ribuan orang yang dihabisi tanpa jejak selama rejim militer berkuasa di Argentina.

Dia menetap di Eropa hingga tahun 1988, dan ketika ia kembali ke Argentina dia bekerja untuk surat kabar terbitan Buenos Aires Pagina 12. Tahun 1997, Gelman menerima Hadiah Puisi Nasional Argentina, sebagai pengakuan atas karya sastranya. Saat ini ia tinggal Meksiko bersama istrinya dan tetap menulis untuk Pagina 12.

"Saya sudah mati berulang kali, dan lebih menderita lagi ketika mendengar berita kawan dan kerabat saya yang terbunuh dan hilang," ujar lelaki berambut kelabu, berbicara lembut dan bermata sedih ini.

Beberapa tahun kemudian di tahun 2000 di Uruguay, ia menemukan cucunya yang sempat dilahirkan sebelum sang menantu dibunuh. Bayi itu diadopsi dan dirawat oleh seorang keluarga yang propenguasa. Macarena nama anak itu. Anak perempuan itu segera mengubah nama belakangnya menjadi Macarena Gelman, dan dia dengan bangga menjadi penyaksi dari segelintir keluarga Gelman, saat kakeknya, sang penyair menerima medali simbol anugerah Cervantes.[]

Monday, April 28, 2008

Pidato JFK, Puisi dan Politik

DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "

Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.

Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.
W. H. AUDEN
The Art of Poetry No. 17
Interviewed by Michael Newman
Issue 57, Spring 1974

INTERVIEWER: You have always been a formalist. Today’s poets seem to prefer free verse. Do you think that’s an aversion to discipline?

AUDEN: Unfortunately that’s too often the case. But I can’t understand—strictly from a hedonistic point of view—how one can enjoy writing with no form at all. If one plays a game, one needs rules, otherwise there is no fun. The wildest poem has to have a firm basis in common sense, and this, I think, is the advantage of formal verse.

Besok, Baiklah

I.   besok, kotamu akan menjadi semacam pantun
     orang boleh berdusta, berdalih itu sampiran
     dengar di kamar remang itu, karaoke melantun,
     "Kami minta Pance atau Ungu, lekas putarkan!"

II. baiklah, aku mungkin tak jadi datang ke kotamu,
     aku takut terjebak di langit, sungai, dan laut
     bukankah aku hanya akan datang sebagai tamu?
     pantun penyambut tak akan pernah bisa kusahut

Thursday, April 24, 2008

Seperti Membaca Cerita Rekaan

SEBAGAI buku, katamu,
belum pernah ada yang habis membacamu

Aku menatap ke sampul matamu, menduga,
kau simpan kisah itu pada halaman berapa

Kisah yang kemudian asyik kutebak

Tentang lelaki Turki,
dan perempuan muda bunuh diri?

Atau tentang perempuan pedalaman Brazil,
lelaki pelukis, dan petualangan
yang berakhir di menit ke-sebelas?

Bukan, katamu, bukan itu

Dan kau menyibak selembar,
lalu selembar,
halaman dengan ilustrasi gambar
seperti engkau ditafsir
pelukis dengan jemari gemetar

Aku seperti membaca cerita rekaan,
dengan plot yang seakan kekal,
beberapa kata sifat yang dimiringkan,
dan kata kerja yang dicetak tebal.

Wednesday, April 23, 2008

[Pencerahan # 23 dari 365] Keindahan Sejati

"Penyair Guru, saya merasa puisi saya belum mencapai keindahan sejati... Apakah keindahan sejati itu, Guru?"

"Sabarlah. Nanti, kalau puisimu sudah mencapai itu, kamu akan tahu... Teruslah melangkah bersama puisimu menuju ke sana."

"Bagaimana saya tahu kalau saya melangkah ke sana bersama puisi saya?"

"Nanti, kalau kau sampai ke sana, kau tahu mana langkahmu yang menuju dan tidak menuju ke sana..."

"Bagaimana kalau saya tidak pernah sampai ke sana?"

"Ah, lihatlah, nikmatilah keindahan sejati itu ada di sepanjang perjalananmu..."

Tuesday, April 22, 2008

Surat Untukmu

AKU kembalikan celana bekasmu lengkap dengan
dekil dan kumalnya. Oh ya, ada tambahan sedikit
tambalan di pantat dan di dengkul. Maaf, ya, Maaf.

Dulu kupinjam celana itu tanpa setahumu, Kawan.
Aku tahu kau tidak akan pernah merasa kehilangan,
kau suka sarungan, bahkan tak pakai apa-apa, bukan?

Ada bekas KTP lamamu di saku kirinya. KTP yang
sudah mati, dan fotomu nyaris tak mengenali aku. "Kamu
siapa? Aku dimana? Apakah penyairku sudah merdeka?"

Aku tak tahan mendengar pertanyaan itu. Nyaris saja
KTP itu kurobek dan kubuang. Dasar KTP penyair.
Sudah mati masih juga memikirkan kemerdekaan.

Aku tidak jadi membuang KTP-mu, karena tak lama lagi,
akan ada pemungutan suara. Aku takut suara pada
KTP-mu itu disalahgunakan, diselewengmanfaatkan.

KTP-mu lalu kuamankan di dompetku, di dekat kartu ATM,
di sebelah KTP-ku, dan berdempetan dengan Surat Izin
Mengemudi, Surat Izin Jalan Kaki, Surat Main Sulapan.

Kadang-kadang aku suka mendengar mereka bercakap-cakap.
"Sudah kamu bayar biaya kematiannya?" tanya KTP-ku,
kepada kartu ATM. "Ah, birokrasi yang lamban,"
kata kartu ATM menirukan gerutuanku. "Lho, kok aku
pernah juga dengar kata-kata itu?" kata KTP-mu.

Baiklah, aku kembalikan celana bekasmu, kawan. Lengkap
dengan darah bekas lukaku, coretan pedihku, dan biji tajam
rumput liar yang belum sempat aku cabuti. Maaf, ya...

Saturday, April 19, 2008

Beberapa Cara Menyajakkan Empat Kata Itu

           : Damora, Fachrizal

/1/
NASIB yang menggumpal, gombal,
tembus, terembus dari kanal ke panas kental
bara biru, puting kayu, pokok bakau, rawa payau
angin, mereken oksigen, dari tebal tuas bulu ayam
"Tuan Pandai Besi, boleh kupesan parang
tak berhulu? Sambung sambang, kujepit
jempol di sela telunjuk dan jari hantu,
parang pesananku memanjang di situ..."

/2/
DIA dia sangat mengenal, panas bara api
di tungku tua itu, seperti nafas naga, katanya.
Seperti nar neraka? Tidak. Aku hampir
tak percaya pada siksa, katanya. Maka, padanya
datanglah selalu para lelaki, dengan
sepotong mentah besi, dibungkus
segumpal gombal, yang kelak ia peram
di panas apinya.

Keras besi tak seperti kayu, panas ditempa,
memipih menajam, sebelum kokok ayam.

Dari jauh, orang orang akan mendengar
seperti suara gamelan, besi ditabuh,
bertalu, suara lenguh, dan selalu saja
ada selingan desis, besi panas yang dicelupkan
ke air sumur. Seperti suara ular besar. Lalu,
ketika lelaki pemilik besi datang lagi, maka
ia akan menerima sepotong pedang yang
menyimpan taring singa, hunus kuku jempol
seekor naga dan seekor ular di dalamnya.

/3/
DULU ada sekawanan unggas
pemberani, terbang mengacaukan awan,
mengembalikan hujan,
dan menghalang matahari.

Kamu kira garuda?

Bukan, mereka bukan garuda.
Mereka unggas yang bentang
sayapnya memutus pelangi.

Di antara kawanan itu, ada sepasang
yang sejak ditelurkan sudah berbeda.

Ketika menetas mereka berdua
membenci kawan-kawannya,
"kebengisan yang gombal," katanya.

Dua unggas itu tidak memangsa, tidak
ingin belajar terbang dan mereka menjinak
mendekat ketika dipanggil dengan
jentik jempol dan jari, dan membagi telurnya
untuk pak pandai besi, bahkan kelak ketika
beranak-pinak, mereka rela dijadikan sajian
di kenduri panen para petani.

Thursday, April 17, 2008

O

O,
ENGKAU
BUTUH
DUA F
UNTUK OFF

DAN HANYA
SATU N
UNTUK ON

"KENAPA
KAU TAK
MEMBERI
AKU
SATU R
SAJA?"