Tentang Seseorang yang Mendengar
Requiem Mozart di Sebuah Gramofon
: Janet E Steele
Dan apakah tubuh? Dan apakah rumah?
Tubuh adalah rumah bagi rasa sakit,
di sana ada mulut yang menahan jerit
ada luka yang menampilkan wajah darah
Tubuh adalah rumah bagi ruh singgah,
dan di sana ia betah, menyimak lagu
waktu, jam & jantung berbalas-detak
*
Dan apakah rumah? Dan apakah tubuh?
Rumah adalah wilayah di mana tak ada
bayang-bayang tubuh, di sebuah sudut
gramofon ditaruh & doa dikirim ke jauh.
Rumah adalah tempat engkau kembali
dari pertemuan kecil, dan di sana kau
berbahagia sebab sempat mengucap cinta.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, November 30, 2007
Apa Kabar, Albar?
KERUBUNG
kabung
di punggung
panggung
genting ranting
digunting
malam-malam kering
di dingin semen
dinding apartemen
sesenyap sunyi
sembunyi
bunyi
seramah rumah
remah-remah
sepi
sentuh jari
yang tak berjanji
parah & perih
pada
jerat jeruji
kerubung
kabung
di patah
punggung
Albar,
apa kabar?
kabung
di punggung
panggung
genting ranting
digunting
malam-malam kering
di dingin semen
dinding apartemen
sesenyap sunyi
sembunyi
bunyi
seramah rumah
remah-remah
sepi
sentuh jari
yang tak berjanji
parah & perih
pada
jerat jeruji
kerubung
kabung
di patah
punggung
Albar,
apa kabar?
[Tadarus Puisi # 031] Soneta Tidur
Pakcik Ahmad menulis tiga serangkai sajak yang ia rangkum di bawah satu judul: Soneta Tentang Tidur. Sajak-sajaknya - saya tak peduli itu soneta atau bukan - entah dengan cara yang bagaimana, mengingatkan saya pada pertanyaan lama, apakah kata? Jawaban itu saya dapatkan juga dari sajaknya. Saya mungkin berlebihan, tapi kali ini ah saya tidak bisa tahan untuk tidak berlebihan.
Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.
Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.
Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.
Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.
Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!
Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.
Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.
Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.
Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.
Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!
tidurmu adalah kolam teratai
tujuh ekor katak berenang di antara akarnya yang merumbai
aku menyenangi bunyi dengkur bunda
ikat mengikat layaknya deretan iga
rumpun belulang tua berwarna gundah
dan otot liat yang menutup celah
kuinginkan selimut ini abadi
tubuh-tubuh kita tanpa kain bersepi-sepi
di mana suara dan warna seperti tak ada beda
tapi kita tetap saja mengejar angin dan tertawa
tidurlah tanpa gusarnya almanak
karena telah kutafsirkan mimpimu
: hijau sayap belalang, dan rampak
sekoloni embun yang menimbun dada ibu
[Tadarus Puisi # 030] Menutup Malam, Membuka Keluasan Sajak
Sajak Dedy T RiyadiSingkat saja: ini sajak yang bagus. Klise-klise ungkapan dihampiri sekaligus dielakkan dan tentu dia tidak menjadi klise lagi. Ungkapan-ungkapan baru ditawarkan dan ah betapa sayang kalau tawaran itu tak disambut oleh pembaca. Dedy makin menjanjikan. Sajak-sajaknya makin bisa diharapkan. Pertentangan antara menutup-buka, cinta kutukan, menghadirkan tekstur perasaan. Rima dihadirkan apa adanya, tidak dipaksakan ada. Saya bisa menebak siapa Penyair yang sedang menghantui Dedy di sajak ini, tapi, dia tidak melawan hantu itu tidak juga mentah-mentah menyembahnya.[]
Malam Telah Menutup Segala Pintu
Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela
rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu.
Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba,
lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan.
Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu
di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu.
Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu,
semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya.
Hanya badai buat malam ini semakin galau,
tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau.
Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta,
kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia.
Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih.
Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih.
Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap,
tersebab namamu terdengar sepenuh senyap.
2007
Thursday, November 29, 2007
Edisi Nonkomersial ORGASMAYA

INILAH sampul buku kumpulan puisi pertama saya Orgasmaya. Ini edisi tak komersial. Yayasan Sagang, penerbitnya, hanya mencetak 1.000 eksemplar dan membagikannya ke sekolah-sekolah di Riau. Saya boleh mencetak lagi, mencari penerbit lain yang tertarik. Adakah? Penerbit yang berminat bisa melihat dulu bukunya.
Hasan Aspahani
Wednesday, November 28, 2007
[Imajinasi Wawancara 005] Membaca, Memanggungkan Sajak
Membaca sajak di depan hadirin atau penonton pada hakikatnya ialah menampilkan diri dalam situasi tertentu untuk mengucapkan sajak dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap sajak tersebut dalam intensitas yang maksimal kepada para penonton.
.:. Selengkapnya baca di sini.
.:. Selengkapnya baca di sini.
Binhad, Kuda Ranjang, Bau Betina (2)
Binhad adalah penyair yang terobsesi pada tema-tema perkelaminan? Kata obsesi mungkin tidak tepat. Ada kesan ia tertarik ke sana tanpa daya untuk menghindarinya. Lebih tepat mungkin termotivasi. Ia dengan sadar memilih tema itu, dengan alasan-alasan yang bisa kita tebak, tetapi tentu hanya dia yang tahu persis apa dan kenapa ia memotivasi diri dengan pilihan itu.
.:. Selengkapnya baca di sini.
.:. Selengkapnya baca di sini.
Binhad, Kuda Ranjang & Bau Betina (1)
Pertanyaan saya berikutnya kenapa panitia KAKUS-Listiwa memilih kategori puisi untuk diejek? Kenapa bukan prosa? Lantas kenapa Khatulistiwa Literary Award - ini nama lengkapnya - harus diejek? Apa salahnya KLA?
.:. Selengkapnya baca di sini.
.:. Selengkapnya baca di sini.
Tuesday, November 27, 2007
Refrain Sebuah Lagu Pop
AKU iri padamu
karena
kau bisa
membuatku jatuh cinta
sehebat cintaku padamu.
AKU heran padaku
karena
aku tak tahu kenapa aku
bisa mencintaimu
sehebat cintaku padamu.
karena
kau bisa
membuatku jatuh cinta
sehebat cintaku padamu.
AKU heran padaku
karena
aku tak tahu kenapa aku
bisa mencintaimu
sehebat cintaku padamu.
Subscribe to:
Posts (Atom)