Wednesday, October 31, 2007

[Majas # 008] Metonimia

METONIMIA. Menyebutkan sesuatu dengan tidak langsung, melainkan dengan menyebutkan benda atau sesuatu yang lain yang rapat hubungannya dengan sesuatu yang dimaksud itu.
Dalam kalimat biasa, majas ini lebih mudah dipahami dengan contoh berikut ini:
Raja mempertahankan mahkotanya dengan pedang dan tangan besi.
"Mahkota" adalah metonimia dari kuasa seorang raja atas sebuahkerajaan. "Mahkota" adalah benda yang dekat dengan kekuasaan seorang raja. Demikian juga "pedang". Ia dekat dengan cara memimpin yang menggunakan kekerasan, ancaman, atau ketegasan. Tapi, "tangan besi" bukan sebuah metonimia. Ia sebuah metafora, yang sudah kita bicarakan di bagian sebelumnya.

Kata sifat (kejam, sadis, dll) dan kata benda abstrak (kekuasaan, kekejaman, dll), kurang kuat mendorong terciptanya imaji dalam benak orang yang membaca. Dalam sajak, kata sifat dan kata benda itu bisa dicarikan pengganti berupa benda-benda yang bisa langsung mengingatkan pembaca kepada sifat dan benda abstrak yang dimaksudkan. Itulah salah satu fungsi majas metonimia.

Contoh:
a.

AMUK

ngiau! kucing dalam darah ia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena dia leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing

.......
("AMUK", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Sekilas baca, "kucing" dalam sajak ini adalah metafora atau simile dari "kerinduan dan pencarian" pada Tuhan. Tapi, penyair sebenarnya memakai majas metonimia dengan amat sempurna. Tidak ada bait dalam sajak ini yang menyebutkan "pencarianku adalah kucing yang mengamuk mencari Engkau" (metafora), atau "kerinduanku padaMu seperti kucing lapar yang mengamuk mencari daging" (simile). Sutardji langsung memulai dengan seruan ngiau sang kucing. Ia merasa kucing lapar yang mengamuk dapat mewakili dan dekat dengan dengan "kerinduan dan pencarian pada Tuhan". Kerinduan dan pencarian adalah kata benda abstrak, yang dikongkretkan Sutardji dengan "kucing".

b.
Burung Terbakar

Ada burung terbang dengan sayap terbakar
dan terbang dengan dendam dan sakit hati.
Gulita pada mata serta nafsu pada cakar.
Mengalir arus pedih yang cuma berakhir di mati.


("Burung Terbakar", W.S. Rendra, "Empat Kumpulan Sajak", Pustaka Jaya: Jakarta, 2003, Cet. ke-8)

Apakah yang hendak dikonkretkan penyair kita ini dengan "burung yang terbakar"? Yang pasti dia tidak, atau tidak sekadar, ingin bicara tentang burung yang terbang dengan sayap terbakar. Rasanya, dalam kenyataan yang sebenarnya, tidak akan pernah kita temui burung yang terbang dengan sayap berkobar api. Penyair telah mengolah bahasa. Ia telah sungguh-sungguh menyair, menggarap sajaknya.

"Burung yang terbakar" bisa saja kita artikan sebagai "kemarahan dan dendam serta hati yang panas berkobar bak api". Dengan majas metonomia, penyair memilih "burung" kemudian ia menguatkan wujud burung itu itu sayap, cakar, dan dengan itu sekaligus penyair juga menguatkan kehadiran "marah" dan "dendam" di dalam sajaknya, dan memang hal itulah yang ingin ia sampaikan.

c.
Pasir dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam plasmaku
Lalu di sana tersusun gurun
dan mungkin oase
tempat terakhir burung-burung


("Nota untuk Usia 40", Goenawan Mohamad, "Sajak Lengkap 1961-2001, Metafor: Jakarta, 2001)

Kata kunci dari sajak ini adalah "pasir". Apa yang ingin didekati penyair dengan menghadirkan "pasir"? Saya kira "pasir" boleh kita anggap dekat dengan satuan waktu terkecil yaitu detik. Pasir bermetonimia kepada detik waktu.

Lantas penyair menyusun bangunan sajaknya dari sana. Pasir dalam jam pasir (hour glass - gelas waktu), pasir itu menghambur (nyatanya pasir dalam gelas waktu memang jatuh lewat celah sempit, menumpuk di gelas bagian bawah). Tapi dalam sajak ini pasir itu menghambur ke dalam plasmanya, ke dalam unit terkecil - setelah sel - dari tubuh manusia. Demikianlah, sajak pendek ini tersusun utuh dan indah. Memancing imajinasi, dan menggoda untuk dimaknai.

d.
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
      berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan --- keduanya telah jatuh
cinta kepada sepasang telapak kaki itu.

.....

("Sepasang Sepatu Tua", Sapardi Djoko Damono, "Mata Pisau", Balai Pustaka: Jakarta, 2000, Cet. ke-6)

e.
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

....

("Celana 1", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung", IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan
meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.


("Celana 2", ibid)



Kabel 4
--- sehabis badai hujan

RENTANG kabel dan tegak tiang listrik itu berbincang
tentang tangan besar yang, "hendak memutusku" kata
si kabel, dan "nyaris menumbangkanku" kata si tiang.



Kabel 5
--- kwatrin kabel putus

DI rumah itu, ada gelap yang akrab, bertamu,
saklar di dinding, lampu di plafon, televisi,
dan kaset penyanyi lama itu saling berdiam,
padahal banyak sekali yang ingin dibicarakan.

Tiang listrik yang berdiri di simpang jalan,
tak jauh dari rumah itu ingin sekali berseru
mengabarkan nasib sahabatnya: kabel yang putus
yang kini lehernya menjuntai, tak berdarah.
 






Bersama Putu Wijaya di Bintan, 2005


Kabel 3

AKU telah jauh jatuh, memang, di reruntuhan jembatan,
mencari segumpal kabel yang kukira bisa menyelamatkan.

Segumpal kabel yang kusut, memang, tapi bila kelak ia
kubentang, maka alir air yang diseberanginya akan
sewarna Pelangi: warna yang terurai tujuh helaian
dari hujan tangisanmu dan sinar matatahari matamu.






Kabel 2

AKU bergantung pada ujung kabel kosong!
Kaukah mengulur pelangi dari ujung itu?

Hanya segumpal cahaya tua yang terjatuh.
Aku kira itu batu yang beku dari diammu.

Aku adalah kabel yang dilukakan cuaca.
Sejuta tahun membentang, di pucuk tiang.


Kabel 1

KENAPA belum putus juga kabel-kabel ini?

Ada yang mengalir deras dari silam zaman,
siapa mengitir kincir di huluan kenangan?

Masih akan lama: bertinju dengan bayangan

ini gelanggang, berpagar kabel telanjang,
kaki terelak jarak, tangan tertolak halang,
tapi leher yang tercekau, yang terpegang.

Kenapa belum putus juga kabel-kabel ini!

Tuesday, October 30, 2007

[Majas # 008] Aptronim

APTRONIM. Pemberian nama, atau penyebutan diri seseorang sesuai dengan keadaan, sifat atau pekerjaan orang tersebut.

Contoh:
a.
....
Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,"
kata orang-orang kampung yang membantu
mendorong perahunya.

....

("Perahu", Joko Pinurbo, ibid)

Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
dan menemukan sesobek surat: "Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil
dan buku tulis ini kepada anak-anakku

....

("Perahu, ibid)


b.
"Mau ke mana, Wuk?"
"Ke Selatan situ."
"Mau apa, Wuk?"
"Menangkap kupu-kupu."


("Tiga Sajak Kecil", Sapardi Djoko Damono, "Ayat-ayat Api", Pustaka Firdaus: Jakarta, 2000)

c.
"Selamat malam, ular," sapaku
Langit merayap di luar
bersama gerhana yang tak wajar


("Refrein Hotel", D Zawawi Imron, "Refrein Sebuah Dam", Bentang: Yogyakarta, 2003)

d.
....
Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa.
Aku gemetar. Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya.
Ibukata, temanilah aku.


("Malam Pertama", Joko Pinurbo, "Kekasih", KPG: Jakarta, 2004)

"Selamat malam, pasien." Tanpa bicara ia periksa mata saya.
"Dokter, apakah saya harus pakai kacamata."
Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.


("Dokter Mata", ibid)

Bukankah dia sendiri yang dulu menghadiahkan
topeng itu kepada saya? Saya periksa si culun,
wajahnya tetap saja begitu: dingin, menggoda, pemalu.

....

("Teman Lama," ibid)

Ibunya menepuk pantanya: "Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"


"Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,"
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.

......

("Dengan Kata Lain", ibid)

e.
Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.

Kebebasan. Akhirnya datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari, berabad-abad memikul kata: Makna,
....

hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.

....

("Kutukan Itu", Gus tf, "Daging Akar", Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2005)

Gus tf, pada contoh terakhir itu, dengan sangat baik memanfaatkan majas aptronim. Dia memberi nama kepada yang membisiki, yang mengatur takdir manusia. Siapa yang bisa menolak bahwa itu adalah pekerjaan Tuhan yang kita percayai ada? Siapa yang bisa menyalahkan kalau penyair kita ini lantas memberi nama Jurus Bisik, dan Juru Takdir kepada-Nya? Sebuah jurus menyair yang pintar, dan kita tentu boleh meneladaninya.

Sekilas, majas aptronim memang mirip dengan antonomasia. Lantas apa bedanya? Agak sulit mencari contoh penggunaan aptronim dalam sajak. Contoh aptronim yang paling mudah adalah penyebutan nama-nama seperti: Hasan Gerobak, untuk membedakan si Hasan yang tukang gerobak itu dengan Hasan Kebo atau Hasan Jagal, yang jelas-jelas kata Kebo dan Jagal itu merujuk ke pekerjaan si Hasan dan Hasan yang lain yang bukan Hasan Gerobak. Contoh lain misalnya nama Udin Nganga. Banyak sekali Udin, tapi hanya ada satu yang mulutnya kebanyakan selalu menganga, dia adalah Udin Nganga. Nganga merujuk ke sifat, atau keadaan si Udin, bukan pekerjaannya.

[Majas # 007] Antonomasia

ANTONOMASIA. Penggunaan status, sebutan kehormatan, nama kesayangan, atau gelar penghargaan seseorang, sebagai pengganti nama diri orang itu.

Contoh:
a.
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala, yang dikira orang mati di alam ini!
....


("Sajak Putih", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Grasindo: Jakarta, 1990)

b.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong.
melambai-lambaikan bendera.
"Gadisku, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi."


("Poster Setengah Telanjang", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung", IndonesiaTera: Magelang, 2001

c.
"Di sini tak ada teratai, Sayangku.
Ia tumbuh di dalam kalbu.
Biar mekar ia,
bunga yang purba,
semoga jadi lambang keabadian cinta kita."


("Kuungkapkan Lewat Bunga", Sitok Srengenge, "Kelenjar Bekisar Jantan", Garba Budaya: Jakarta, 2000)

d.
"Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?
"Aku mau cari jangkrik di kuburan."


("Pasar Sentir", Joko Pinurbo, "Celana", IndonesiaTera: Magelang, 1999)

e.
"Katakanlah, ki sanak, di manakah ini."
"Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya."


("Penangkapan Sukra", Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap 1961-2001", Metafor Publishing: Jakarta, 2001)

"Tidak, Gusti."
"Kausangka kau pemberani?"


(ibid)

Dalam sajak, selalu saja ada peluang untuk bermain-main memanfaatkan kreativitas. Lihatlah contoh yang saya ambil dari sajak Joko Pinurbo. "Pangeran" yang ia pakai sebagai pengganti sebutan seseorang, sesungguhnya bukanlah pangeran dalam arti sesungguhnya putra seorang raja. Joko Pinurbo sedang berolok-olok, membuat lelucon pahit sebagai tanggapan atas kehidupan yang hendak ia potret. Antomonasia, sebuah majas, yang mungkin secara tak sengaja ia berdayakan, di sajaknya itu, menambah kegetiran sajaknya.



Sajak Misbach
AKU MELIHAT DIA BERSALAMAN DENGAN NERUDA


                                                                                       : hah

ia bercerita tentang pertemuannya dengan pablo neruda
sambil membiarkan aku mereka-reka di mana kira-kira tempatnya

aku mencoba melacaknya
berdasar sehelai sajak yang nyangkut di rambutnya

di sebuah ruang kulihat ia dan neruda bertukar kata
namun aku tak cerita padanya

kelak saja, jika aku sudah bisa membaca
akan kuceritakan
bahwa aku telah mencuri biji-biji puisi
dari saku baju dia dan neruda
tepat saat mereka
saling bersalaman

jakarta, 31 oktober 2007

*) Kang HAH, selamat atas kemunculan bukunya

Pengantar untuk Buku "Bibirku Bersujud di Bibirmu"



Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda


Oleh Hasan Aspahani

YA, seandainya Pablo Neruda masih hidup, saya akan mencoba mencari alamat e-mailnya. Saya akan minta nomor telepon genggamnya, dan saya akan memperlancar bahasa Spanyol saya, supaya bisa mewawancarai dia lewat pesan pendek. Tapi, tentu pengagum dia bukan hanya saya, dan dia pasti sibuk sekali. Lagi pula, dalam wawancara dengan Paris Review dia bilang, dia tak mau memberi nasihat tentang penulisan puisi kepada penyair muda.

Baiklah. Tapi, kami - saya dan Pablo Neruda - akhirnya bertemu juga. Kami tidak tahu bahasa apa yang kami pakai. Tapi terasa bahasa itu indah sekali. Sebuah bahasa yang mudah. Yang terdengar seperti dinyanyikan dan kalimat-kalimatnya seprti puisi. Bukan bahasa Spanyol bukan Bahasa Indonesia. Kami bercakap-cakap dan saya harus menuliskan percakapan itu dengan bahasa Indonesia.

Hasan Aspahani (HAH): Don Pablo Neruda, saya menyukai sajak-sajak Anda. 100 Soneta Cinta, Kitab Pertanyaan, 20 Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Harapan, Ode...

Pablo Neruda (PN): Saya heran kenapa orang menyukai puisi, dan kenapa orang menyukai puisi saya...

HAH: Lho, memangnya Anda berharap puisi Anda tidak disukai orang?

PN: Bukan. Maksud saya, saya menulis puisi bukan untuk menyenangkan orang, tapi saya menulis puisi terutama untuk diri saya sendiri,...

HAH: Mungkin itu sebabnya, orang menyukai sajak Anda. Apa yang Anda puja, apa yang Anda gelisahkan, apa yang Anda pertanyakan adalah pertanyaan orang banyak itu.

PN: Tapi kan pemujaan, kegelisahan dan pertanyaan tentang kehidupan itu kan tidak harus dipuisikan? Bisa saja diekspresikan dengan cara lain?

HAH: Puisi lebih mudah mencapai hati orang banyak, Don Pablo. Karena itu panitia Nobel sejak awal memberi tempat yang sama bagi sastra dengan bidang lain. Ah, Anda sebagai salah satu penerima penghargaan itu tentu lebih tahu.

PN: Bagus. Bagus. Saya yakin Anda penyair juga. Setidaknya menyukai puisi.

HAH: Betul. Bahkan saya menggilai puisi. Karena puisilah itulah saya menemui Anda. Puisilah yang membawa saya pada Anda. Saya mau menerbitkan sebuah buku puisi. Saya sebenarnya tertinggal eh terlambat. Anda pada usia 20-an, sudah menerbitkan buku pertama. Anda gigih sekali memperjuangkannya, sampai jual perabot rumah.

PN: Anda sudah menjual perabot juga untuk buku yang hendak terbit ini? Oh, ya apa judul bukumu itu?

HAH: Oh, tidak, Ada seorang yang amat saya hormati, dan dia berbaik hati menerbitkan buku itu. Saya tahu dia juga mencintai puisi. Buku puisi saya itu judulnya "Bibirku Bersujud di Bibirmu".

PN: Hmm, kenapa memilih judul itu? Ini buku puisi pertamamu, bukan?

HAH: Judul yang hebat bukan? Itu judul salah satu puisi saya dalam buku itu. Puisi itu juga pernah saya bacakan di TIM, awal 2006 lalu. Ya, ini buku puisi pertama saya. Beberapa kali saya memang ikut dalam sejumlah antologi. Saya memang tidak buru-buru. Saya tidak seberuntung Anda. Ketika sekolah rendah saja Anda sudah mendapatkan seorang guru bahasa seorang peraih hadiah Nobel Sastra juga. Tapi, kenapa ya di antara sekian muridnya hanya Anda yang jadi penyair besar?

PN: He he. Artinya, bukan guru hebat yang menentukan. Tapi murid yang hebat. He he he. Saya, tetap berterima kasih pada Gabriella Mistral. Dia guru yang hebat. Saya tahu di Indonesia ada Rendra yang pernah saya lihat ketika dia membaca puisi. Wah, hebat sekali. Saya melonjak-lonjak melihat dia membaca puisi ketika itu. Anda berguru padanya?

HAH: Tidak. Saya bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Saya belajar otodidak saja. Nanti, saya kira saya juga bisa membuat Anda melonjak kalau saya bacakan puisi saya di depan Anda. He he he. Don Pablo, Anda mau memberi kata pengantar untuk buku itu?

PN: Wah, maaf, bukannya saya tidak mau. Tapi, saya kira puisi tidak perlu diantar. Nanti dia tidak bebas. Saya takut kehadiran saya sebagai pengantar justru mengganggu kemandirian sajak-sajak Anda.

HAH: Baiklah. Terima kasih. Paling tidak percakapan kita nanti saya transkripsikan. He he he. Dan saya sebenarnya ingin mempersembahkan sajak-sajak itu kepada Anda salah satunya, dan tentu kepada istri saya Dhiana Daharimanoza, istri saya. Sebuah persembahan yang belum sempurna, sebab belum bisa menggubah 100 Soneta seperti yang Anda persembahkan kepada Matilda Urrutia. Juga kepada anak-anak saya Shiela dan Ikra, dan teman-teman yang banyak mendukung kepenyairan saya. Ridak K Liamsi, orang baik hatiu yang saya hormati itu, dan tentu saja pada teman-teman di Yayasan Sagang. Harry Koriun, sang editor, dan FurqonLW, sang perancang wajah. Juga Pak Arwawi KH yang seleksi awalnya mempertajam keyakinan saya, bahwa memang ada sesuatu pada sajak-sajak saya.

PN: Terima kasih untuk ucapan persembahanmu kepadaku. Adakah kamu menulis puisi untuk saya? Eh, jangan lupa terima kasih untuk orangtuamu. Dia tidak melarangmu untuk menulis puisi kan?

HAH: Ya. Tentu juga buat mereka berdua. Saya juga tidak harus mengganti nama seperti Anda. Orang tua saya membebaskan saya untuk jadi apa saja. Puisi untuk Don Pablo? Belum. Belum.

PN: Baiklah. Saya tunggu. Berarti ada alasan kita bertemu lagi nanti. Saya ingin kamu membuat saya melonjak-lonjak, ketika kelak kamu bacakan sajak untukku itu di depanku.

HAH: Terima kasih, Don Pablo. Semoga saya bisa menjadi penyair sebesar Anda.

Sebenarnya saya ingin minta izin padanya untuk menerbitkan sajak-sajaknya yang sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi, kan ada pertemuan selanjutnya, jadi saya harus buru-buru mengetikkan percapakan kami, sebelum saya lupa. Saya tidak mencatat dan tidak membawa perekam.

Tiban Indah Permai, Oktober 2007