Friday, May 25, 2007

Yang Tekun dan Yang Tabah



IA yang tekun, berbagi sisi sila dengan mufasir, di depan
sebuah kitab besar, sabar, menafsir lembar demi lembar.

IA yang tabah, menyejajarkan langkah di sebelah musafir,
menunjuk puncak paksi, menuju ke kehendak kedua kaki.


Thursday, May 24, 2007

[Telaah] Gambar Porno si Gadis Malam

Oleh Hasan Aspahani



* gambar sampul dicomot dari blog Jokpin

/1/
Penyair Joko Pinurbo, Jumat 25 Mei 2007, meluncurkan sebuah buku penting di Toko Buku Aksara, Jakarta. Tentu saja itu sebuah buku sajak. Judulnya "Celana Pacar Kecilku di bawah Kibaran Sarung". Ini memang sebuah buku yang merangkum tiga buku yang pernah terbit: "Celana" (1999), "Di bawah Kibaran Sarung" (2001), dan "Pacar Kecilku" (2002). Padahal Februari sebelumnya ia baru saja melahirkan kumpulan sajak terbarunya "Kepada Cium".
Penerbitan ulang ini menggembirakan, bahwa buku puisi ternyata bisa laku.


Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pasti mempertimbangkan pasar. Konon, tiga buku sulung Joko ini semakin banyak dicari tapi semakin susah dicari. Konon pula, penerbit lama tidak punya daya untuk menerbitkan ulang, maka penerbit baru pun mengambil kesempatan. Sebenarnya buku puisi memang bisa laku, kok. Tengoklah buku-buku Rendra, dan Chairil Anwar. Cetaknya pun telah banyak berulang-ulang. Lantas kenapa banyak buku puisi tidak laku? Jangan-jangan memang puisinya yang kurang "nendang".

Adakah hal lain yang bisa ditinjau dari terbit ulang ini? Mungkin banyak. Saya hanya ingin meninjau dari satu jurusan: penyuntingan puisi. Ya, penyuntingan puisi. Karena belum melihat buku baru maka bahan saya adalah satu dari sembilan sajak Jokpin yang muncul dalam dua buku berturut-turut. Sajak itu adalah "Gambar Porno di Tembok Kota" yang muncul di buku "Celana" dan "Gadis Malam di Tembok Kota" dari buku "Di bawah Kibaran Sarung". Kedua sajak itu adalah sajak yang sama. Perubahan semata-mata karena sang penyair sengaja menyuntingnya. Itu dilakukan dengan sesadar-sadarnya, penuh pertimbangan dan mungkin juga sedikit keisengan.

Di pengantar buku "Di bawah Kibaran Sarung"  sang penyair menulis pengakuannya. Katanya, "Hampir semua puisi yang telah diterbitkan, yang kemudian saya rekrut ke dalam buku ini, telah mengalami revisi, re-kreasi, dengan kadar bervariasi. Entahlah, ketika membaca-ulang (sampai kesekian kali) puisi-puisi yang telah "selesai" saya tulis, saya kerap digoda oleh berbagai "salah cetak" dan "salah gubah", sehingga tangan yang oh tidak suci ini sering gatal juga".

/2/
Sekarang marilah kita tengok dua sajak eh satu sajak itu dan mari kita telurusi revisi, re-kreasi yang dihasilkan oleh kegatalan tangan penyair yang oh tidak suci ini. Supaya penelurusan kita mulus maka pada bait saya beri angka Romawi, dan pada baris saya terakan nomor.

Judul Buku: Celana
Judul Sajak: Gambar Porno di Tembok Kota


I
1. Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
2. Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
3. Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
4. Seperti *angin* memamerkan *kecantiakan*:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan dunia
6. .... leher jenjang yang menyimpan beribu jeritan
7. .... dada montok yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang
9. .... dirimbuni semak berduri.

II
10. Dan malam itu datang seorang pangeran dengan celana
11. komprang, baju kedodoran, rambut acak-acakan.
12. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.

III.
13. "Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
14. yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot bergoyang-
15. goyang, yang jalannya sedikit goyang tapi gagah juga.
16. Selamat malam Alwy."

IV.
17. "Selamat malam Kitty. Aku datang membawa puisi.
18. Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
19. yang penuh pekik dan basa-basi.

V.
20. Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar mencecar
21. bunga-bunga layu yang bersolek di bawah cahaya merkuri.
22. Dan bila situasi politik memingkinkan, tentu akan
23. semakin banyak yang gencar bercinta tanpa merasa
24. was-was akan ditahan dan diamankan.

VI.
25. "Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
26. Ledakkan puisimu di nyeri dadaku."

VII.
27. "Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
28. Aku tak pandai meradang, menerjang."

VIII.
29. Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
30. leher hangat dan bibir lezat yang terancam kelu.
31. Dan dengan cinta yang agak *berangsan* diterkamnya
32. dada beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
33. yang menyerahkan diri pada sembilu.

IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya *beringsat* tapi
35. ada teduhnya, yang cintanya ganas tapi ada lembutnya,
36. yang jidatnya licin dan luas tempat segala kelakar
37. dan kesakitan begadang semalaman."

X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, mesti
39. kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar di puncak risau.
40. Maaf, aku tak punya banyak waktu buat bercinta.
41. Aku mesti lebih jauh mengembara di papan-papan iklan.
42. Tragis bukan, jauh-jauh datang dari Amerika cuma untuk
43. jadi penghibur di negeri orang-orang kesepian?"

XI.
44. "Terima kasih, gadisku"
45. "Peduli amat, penyairku."

Judul Buku: Di bawah Kibaran Sarung
Judul Sajak: Gadis Malam di Tembok Kota


I.
3. Tapi enak saja ia /nampang/, mengangkang
4. Seperti /ingin/ memamerkan /kecantiakan/:
5. .... wajah ranum yang merahasiakan /derita/ dunia
6. .... leher /langsat/ yang menyimpan beribu jeritan/;/
7. .... dada /segar/ yang mengentalkan darah dan nanah
8. .... dan lubang sunyi, di bawah pusar, / /
9. .... /yang/ dirimbuni semak berduri.

VIII.
31. Dan dengan cinta yang agak /beringas/ diterkamnya
33. yang menyerahkan diri /ke/pada sembilu.

IX.
34. "Aku sayang Mas Alwy yang matanya /beringas/
35. /tapi/ teduh /juga/, yang cintanya ganas tapi lembut /juga/,

X.
38. "Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, / /
39. /mesti/ kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar / /
40. /di puncak risau./ Maaf, aku tak punya banyak waktu / /
41. /buat bercinta./ Aku mesti lebih jauh mengembara / /
42. /di /poster-poster/ iklan/.Tragis bukan, jauh-jauh datang / /
43. /dari Amerika cuma untuk/ jadi penghibur / /
44. /di negeri orang-orang kesepian?"/

/3/
Dan inilah hasilnya:
1. Sajak ini terdiri atas sebelas bait dan 45 baris di versi pertama tetapi menjadi 46 baris di versi kedua. Penambahan satu baris terjadi di bait ke-10 yang semua barisnya dipenggal ulang.

2. Ada empat salah cetak yang ditemukan dan kemudian dibenarcetakkan.
- di baris ke- 4: "angin" dan "kecantiakan" dibenarkan menjadi "ingin" dan "kecantikan"
- di baris ke-31: "berangsan" diluruskan menjadi "berangasan"
- di baris ke-34: "beringsat dikembalikan menjadi "beringas"

3. Sejumlah baris di-reshuffle kata-katanya.
- di baris ke-3: "nongkrong" diganti dengan "nampang"
- di baris ke-6: "jenjang" ditukar dengan "langsat"
- di baris ke-7: "montok" ditendang oleh kata "segar"
- di baris ke-33: "pada" disundul oleh kata "kepada"
- di baris ke-41: "papan-papan" ditimpa dengan "poster-poster"

4. Ada kata yang ditambahkan.
- di baris ke-5: ditambahkan kata "derita" di depan kata "dunia"

5. Ada pula frasa yang digubah ulang:
- baris ke-35:
"ada teduhnya" menjadi "tapi teduh juga",
"ada lembutnya" menjadi "tapi lembut juga",

6. Yang terakhir yang mestinya disebut sejak awal: judul sajak ini berubah dari "gambar porno" menjadi "gadis malam". Pilihan terakhir itu terasa lebih santun memang. Penyair kita tampaknya rikuh juga dengan judul pertama yang terasa lebih vulgar itu.

/4/
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari perubahan itu?
1. Mengubah puisi yang sudah dianggap selesai bukanlah dosa. Ia bisa menawarkan kerisauan dan (karena itu juga menjanjikan sebuah) keasyikan yang harus kita sambut tawarannya itu.

2. Perubahan-perubahan di atas menunjukkan bahwa diksi adalah salah satu hal pokok dalam puisi. Sebuah kata di dalam puisi bisa bergantin menempati tempat yang sama dengan kata lain dan pergantian itu menawarkan sebuah permainan yang asyik: permainan makna dan permainan bunyi, juga permainan rasa. Tengoklah rasa yang berubah ketika kata "nongkrong" menjadi "nampang", atau ketika "dada montok" menjadi "dada segar".

3. Frasa bisa dipolkan tarikan gasnya untuk memaksimalkan kualitas sajak. Tengoklah, hanya dengan menambahkan kata "derita" di depan "dunia" yang sudah nangkring lebih dahulu, lalu menjadi frasa "derita dunia", maka baris sajak menjadi lebih dahsyat efek maknanya.

4. Sajak, selain olah rasa, terutama adalah olah pikir. Mengutak-atik kalimat adalah permainan yang menuntut kemampuan pikiran yang tekun, teliti, usil, nakal, jeli, dan sekaligus jernih.

/5/
Akhirulkalam, sajak bisa dimasuki lewat banyak pintu. Pilihan pada sebuah pintu, tidak berarti menutup pintu lain. Silakan keluar masuk sajak, yang mana enak sajalah. Bahkan mungkin semua pintu masuk itu harus dicoba agar kita mendapat kenikmatan yang bermacam-macam pula, dan mendapat banyak pelajaran untuk membangun rumah sajak kita sendiri. Mau tidak mau, kita harus melengkapi kunci-kunci pintu rahasia itu agar bisa membukanya dan masuk ke dalam sajak.[]

Sebuah Sajak dan Selembar Surat Menjelang Darah Tumpah

Oleh Hasan Aspahani

/1/
Penyair itu bernama Mawie. Di Lampiran Kebudayaan Lentera, Bintang Timur, 21 Maret 1965, ada sebuah sajaknya terbit. Judulnya "Kunanti Bumi Memerah Darah". Enam bulan sebelum Gestapu 1965 alias G30S/PKI. Pada bait terakhir dari sajak itu tujuh bait itu terbaca:
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walapun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya.

Sajak itu dimulai dengan baris: bulan arit di langit. Baris bumi memerah darah itu adalah pengulangan dari baris yang sama di bait kedua. Enam bulan sebelum bumi Indonesia benar-benar memerah darah.

Begitulah tema dan gaya umumnya sajak-sajak penyair Lekra/PKI dan LKM/PNI yang terbit di lembar kebudayaan surat kabar kelompok itu, Harian Rakjat dan Bintang Timur (Lampiran Kebudayaan Lentera). Tema yang memanglimakan politik. Tilik judul-judulnya: Kepalaku Marxis, Diriku Leninis (Sobron Aidit), Leningrad (Setiawan Hs), Kepada Konferensi (Hersat Sudijono), Gayang Malaysia, dan Peking (Nusananta), Penerbangan Malam ke Leningrad (Verga Belan). Sajak-sajak itu terbit dalam selang waktu 1962-1965.

Adapun Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat dibentuk pada 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lembaga ini digagas oleh D.N. Aidit, M.S Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Anggota awalnya adalah para penggagas itu ditambah beberapa nama: Herman Arjuno, Henk Ngantung, dan Joebar Ajoeb. Pada awalnya Lekra punya lembaran kebudayaan tiap minggu di majalah Zaman Baru yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Iramani (alias Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Ashar. Setahun setelah berdiri, Lekra sudah punya cabang di 20 kota. Cepat dan sistematis sekali.

/2/
Iwan Simatupang, pengarang sejumlah novel dan kumpulan cerita pendek itu, ada menulis sejumlah surat politik sepanjang antara tahun 1964-1966. Akan kita kutip salah satunya yang sewaktu dengan sajak di bagian di atas. Surat itu ditulis 4 Februari 1965. Kurang lebih 7 bulan sebelum G30S/PKI.

Petikannya:
Larto,
        Suatu psikose menjalar kini di seluruh nusantara: bila persis PKI mau coup? Aidit boleh seribu kali membantah, rakyat dan AB kita makin teringat pada Madiun. Dan Aidit secara seratus prosen - Aidit sudah pula menggertak.
        Bila di tahun 1948 PKI dengan anggotanya yang cuma 100.000 orang bisa bikin korban begitu banyak sudah, maka bagaimana dengan PKI sekarang yang sudah punya anggota tiga juga (resmi)? Secara aljabar kelas 1 SMP: tentu seramnya bakal tiga puluh kali! Jadi, mayat yang bakal bergelimpangan akan berjumlah tiga puluh kali; darah kering di gedung-gedung pembantaian (yang mungkin juga nantinya bakal mereka sebut Marx House) tebalnya tiga puluh kali dari darah kering yang ditemukan di ubin Marx House di Madiun tempo hari.
        Semua gambaran seperti ini memang seram, Larto! dan memang, bukan tak punya alasan rakyat kita untuk mengenangkan kembali Madiun di tingkat pergolakan politik seperti kini ini di tanah air kita...

/3/
Apakah Marx House? Saya lupa atau mungkin tak pernah mendapatkannya dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah. Marx House adalah rumah pembantaian di Madiun, di lantainya darah kering setebal 2,5 cm! Rumah itu ada juga, di Dungus, Walikukun, Tulung Agung, Pacitan, dan nama-nama kota lain-lain.

/4/
Surat itu dtulis tujuh bulan menjelang darah tumpah. Darah yang dinanti oleh sebuah sajak lain, enam bulan sebelum benar-benar tumpahlah darah. Surat Iwan yang tinggal di Bogor ditujukan kepada sahabatnya pengarang B. Sularto (Yogya). Surat-surat pribadi yang kala itu tidak dibaca umum. Ia kelak dibukukan jauh hari, dan baru kita bisa membacanya dengan bebas. Sementara sajak itu? Ia terbit di surat kabar, yang tentu dibaca orang banyak. Bayangkanlah, semuanya terjadi enam-tujuh bulan menjelang darah tumpah. Ada sajak yang merindukan tumpahnya darah itu, ia dalam sajak itu menanti sambil memetik kecapi dan nyanyi. Dan surat itu meramalkan dengan kengerian -- tapi si penulis surat tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya, selain menulis surat untuk sahabatnya.

/5/
Selembar surat. Sebuah sajak. Dari keduanya kini kita bisa melihat banyak hal: ada penguasa yang lupa, ada partai dengan sebuah ideologi yang laku dijual dan pemimpinnya yang taktis dan jenius yang amat efektif merangkum massa dan menggerakkannya, sebuah catatan sejarah yang begitu mudah dilupakan, dan ancaman pertumpahan darah yang eh justru ada yang "merindukan".

Darah kemudian memang tidak saja tumpah, tapi mengucur dan mengalir dan merebak kemana-mana. Termasuk darah-darah mereka yang merindukan itu, juga mereka yang tidak tahu apa-apa, dan mereka yang tidak pernah tahu sajak itu.

* Sumber bacaan: Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Mizan, Cetakan ke-4, 1995.





Wednesday, May 23, 2007

SBSB di Batam: Jembatan Masyarakat Literal

Di Auditorium Politeknik Batam. Taufiq Ismail berdiri di panggung berkarpet biru setinggi dua jenjang tangga itu. Di belakangnya duduk bersaf Jamal D Rahman, Agus R Sarjono, Hoesnizar Hood dua bangku kosong dan Putu Wijaya. Di panggung tepi sebuah podium. Panggung itu berhadap-hadapan dengan 400-an siswa SMU dari beberapa sekolah di Batam.  Di belakang panggung sebuah spanduk terbentang dengan tulisan merah Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

"Di Rusia," kata Taufiq yang Rabu (23/5)  itu memakai batik putih bertabur hiasan merah dan bertopi hitam itu, "siswa SMA membaca 12 buku." Dan itulah kecemasannya. Di Indonesia, tidak ada peraturan yang mewajibkan pelajar membaca. Siswa SMA di Indonesia tidak dibiasakan membaca karya sastra. Itulah pula sebabnya SBSB digelar sejak 2000 oleh Horison. Penyair Taufiq adalah motor penggeraknya.  Tahun ini SBSB disinggahkan di 5 provinsi, dengan 13 sastrawan.

Taufik lantas menunjukkan buku novel "Perang dan Damai" karya Leo Tolstoy yang 1.400 halaman itu. Inilah salah satu dari 12   judul buku sastra yang jadi bacaan wajib di Rusia. Ia juga membawa buku Rusia lain yang masuk dalam daftar wajib baca itu.  Sebuah karya Mikhail Aleksandrovich Sholokhov, "Sungai Don Mengalir Tenang".  Sholokov adalah peraih nobel sastra tahun 1965. Agus R Sarjono membantu menating buku empat jilid itu. Masing-masing setebal 1.000 halaman.  20 buku karya sastra Indonesia masih kalah tebal dengan satu novel itu. 

"Dan 20 judul itu pun masih dalam angan-angan, " kata Taufiq. Itulah sebabnya SBSB digelar. Itulah sebabnya para sastrawan datang ke sekolah-sekolah.
 

"Pertama, kami para sastrawan ingin betul generasi muda suka membaca. Agar tercipta budaya literal. Gemar membaca. Kedua, kami para sastrawan berharap kalian suka menulis. Dan ketiga, mempertinggi apresiasi sastra," kata Taufiq. 

Kenapa budaya membaca harus dimulai dari sastra? "Sastra hanya jembatan. Setelah kalian gemar membaca kalian harus membaca buku-buku lain. Tidak semua yang hadir di sini harus jadi sastrawan. Dua saja yang jadi sastrawan hebat. Yang lain jadi orang yang gemar membaca," kata Taufiq. Jawaban Taufiq menutup acara tanya jawab. Jamal D Rahman memandu acara dengan baik. 27 siswa berbaris di depan dua mikofon bergilir bertanya.  

Citra, salah satu siswa mengajukan pertanyaanb begini. "Kami merasa sastra itu seram. Kami tidak suka. Sebenarnya sastra itu apa, Pak?" Tengok, mereka seram pada apa yang mereka tidak tahu. Dikeluhkan juga soal buku sastra mahal dan tak tersedia di sekolah.

"Kalian tidak harus beli.  Tugas pemerintah yang mengadakan buku itu di sekolah. Itu yang sedang kami usahakan," kata Taufiq.  Pertanyaan lain dijawab bergiliran pula. 

Bagaimana menjadi sastrawan? "Melihatlah dengan cara pribadi. Bukan dengan cara umum. Menulis karya sastra itu hanya permainan. Tapi dikerjakan dengan tidak main-main. Dan hasilnya menjadi bukan main," kata Agus R Sarjono.

Dan ini jawaban ringkas dan bagus dari Putu Wijaya. "Kenapa harus membaca sastra? Karena sastra itu mengembangkan jiwa masyarakat. Kenapa menulis? Karena saya ingin membagi pengalaman batin saya. Jangan takut menulis. Kalau malu mempublikasikannnya, biar saja. Nanti karya yang bagus itu akan memberontak dan minta dipublikasikan sendiri. Berlatihlah menulis, membacalah, dengarkan apa kata pembaca dan apa kata sastrawan lain."

"Saya produktif menulis karena bagi saya menulis adalah pekerjaan. Kalau tidak menulis saya tidak dapat uang. Karya sastra bagi saya adalah hasil kerja saya," katat Putu yang tampil khas berbaret putih, dan kaos hitam. 

Lantas apakah karya sastra yang baik itu? Ini jawaban Putu: Sastra yang baik selalu membagikan pengalaman batin setiap kali dibaca. Karena itu dia tidak membosankan dan selalu ingin dibaca berulang-ulang. Sebaliknya, karya sastra yang buruk, dibaca sekali habis, tidak ingin lagi kita membacanya.[hasan aspahani] 


Sunday, May 20, 2007

Ketika Chairil Membacakan "Aku"

Oleh Hasan Aspahani

     Sajak "Aku" terbit dalam buku "Deru Campur Debu". "Semangat" terbit dalam buku "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus". Keduanya adalah sajak yang sama.

***

     Tahun 1943. Pemerintah dan Balatentara Dai Nippon masih berkuasa di Indonesia. Pada tahun itu, 1 April tepatnya dibentuk Keimin Bunka Sidosho atau Pusat Kebudayaan. Bagi Jepang ini lembaga yang penting untuk mendukung kekuasaannya. Karena itu, maka pada 18 April lembaga itu diresmikan oleh kepala Pemerintah Balatentara Dai Nippon.
     Seniman Indonesia yang berperan aktif di lembaga ini adalah penyair Sanusi Pane. Lembaga punya lima bagian: 1. Kesusasteraan, 2. Kesenian, lukisan, dan ukiran, 3. Musik atau seni suara, 4. Sandiwara an tari, 5. Film.
     Bagian Kesusasteraan dipimpin oleh orang Jepang Rintaro Takeda, sebagaimana bagian lain pun dipimpin oleh orang Jepang. Armjn Pane, adik Sanusi Pane, pengarang novel "Belenggu" menjadi wakil kepala bagian itu. Di bagian ini bergiat pula pengarang novel "Andang Teruna" Sutomo Djauhar Arifin, Usmar Ismail, Inu Kertapati, dan Amal Hamzah.
     Secara teratur Bagian Kesusasteraan ini menggelar perbincangan dan diskusi. Rosihan Anwar adalah wartawan cum sastawan yang tidak menjadi pengurus Pusat Kebudayaan tapi sering hadir dalam diskusi itu.
     "Kami membentuk Sasterawan Angkatan Baru," tulis Rosihan dalam buku "H Rosihan Anwar, Wartawan dengan Aneka Citra", Penerbit Kompas, 1992. Kelompok ini kerap menggelar malam deklamasai sajak-sajak. Salah satu yang sering tampil adalah H.B Jassin. "Jassin adalah deklamator sajak yang baik," kata Rosihan.
     Pada suatu ketika dideklamasikan sajak penyair angkatan Pujangga Baru: Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane.  Sehabis pembacaan sajak-sajak itu, ada seseorang berdiri dan dengan tegas mengatakan sajak-sajak itu sudah usang. Ia lalu mengemukakan sajak yang mengandung daya hidup dan padangan baru.
    "Saudara-saudara mau contoh?" tanya tokoh itu. Maka ia pun membacakan sajaknya. Sajak itu adalah sajak yang hingga kini mungkin tetaplah menjadi sajak yang paling banyak diketahui dan dibaca di Indonesia. Sajak itu berjudul ketika itu berjudul "Semangat". Dan kita kini mengenalnya sebagai "Aku".
    Dan penyair itu adalah Chairil Anwar.

***

     Sajak "Aku" terbit dalam buku "Deru Campur Debu". "Semangat" terbit dalam buku "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus". Keduanya adalah sajak yang sama.


***

     Ada cerita lain ihwal sajak itu. Ini kita petikkan dari buku skenario "Aku" Sjuman Djaya, Pustaka Utama Grafiti, 1987. Bila difilmkan ini adalah film tentang sang penyair itu: Chairil Anwar.

     Adegan ke-42:

     "Kita sedang ditugaskan mencari.
     Bagaimana sesungguhnya sastra di jaman perang seperti ini?"
     "Semangat! Dari tadi saya bilang semangat, 'kan?"
     "Baik, lantas bagaimana itu misalnya?"

     Dialog ini terjadi di sebuah ruang pertemuan Keimin Bunka Shidosho. Percakapan tadi melibatkan Armjn (Pane) dan Asmara. Di antara mereka ada perempuan muda. Namanya? Sri atau Nur, atau bisa juga nama lain.
     Sri lantas tampil ke depan ruang, setelah Bung Asmara mengisyaratinya. Sri segera membacakan sebuah sajak kepahlawanan yang sangat romantis dengan suaranya dan gayanya yang lembut. Ketika sajak selesai dibacakan, sebuah tawa yang sangat khas terdengar dari arah pintu masuk.
     Semua yang hadir, tanpa kecuali, menoleh ke sana. Yang berdiri di sana ternyata Qodrat, tapi di sebelahnya adalah lelaki bermata merah itu. Qodrat ini yang lantas berkata:

     "Kawan-kawan, saya perkenalkan: Chairil Anwar!"

    Maka tanpa kecuali lagi, semua menjadi terperangah memandang kepadanya. Armjn yang lantas mendatanginya dan memberinya salam:

    "Bung barusan mendengarnya?"

     Chairil jadi tertawa lagi, khas seperti tadi. Sambil disapunya dengan pandang seluruh ruang dengan matanya yang merah. Sesudah itu dia maju ke depan sambil bicara terus terang:

     "Manis, sajakmu barusan cukup romantis! Tapi bukan itu semangat! Kalau mau semangat...ini!"

     Chairil mengambil kapur tulis dan mulai menulis di papan tulis yang memang tersedia di tengah ruang itu. Ternyata juga sebuah tuisan dari sebuah jiwa yang gelisah. Cepat, keras, tapi juga pasti. Sambil menulis, mulutnya ikut berbunyi:

     "Aku!
      Kalau sampai waktuku
      Kumau tak seorang kan merayu
      Tidak juga kau
      Tak perlu sedu sedan itu
      Aku ini binatang jalang
      Dari kumpulannya terbuang
      Biar peluru menembus kulitku
      Aku tetap meradang menerjang
      Luka dan bisa kubawa berlari
      berlari
      Hingga hilang pedih peri
      Dan aku akan lebih tidak peduli
      Aku mau hidup seribu tahun lagi."

------
Sumber bacaan:
1. Tribuana Said (Penyunting), "H. Rosihan Anwar, Wartawam dengan Aneka Citra", Penerbit Kompas, 1992. Tulisan tentang Keimin Bunka Sidosho dipetik dari "Seniman Merdeka" tulisan Rosihan Anwar di buku itu.
2. Sjuman Djaya, "Aku", Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1987, cetakan pertama. Cetakan berikutnya diterbitkan oleh Metafor Publishing, 2003.
3. Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kedelapan, 2000.


Saturday, May 19, 2007

ensiklopedi: Batu

batu: aku tidak menenggelami danau ini, aku memang
       ada di dasar ini; aku tidak cemburu pada angin,
       akulah yang susah-payah mengajarinya berdiam;
       aku bukannya tidak ingin mengikuti ajakan ikan, aku
       justru memberi contoh bagaimana merahasiakan
       sirip-sirip; aku bukannya bersembunyi di lumpur ini,
       kami malah lama saling bertanya, sebenarnya kenapa
       kau membedakan kami: aku dan lumpur ini?

[Ruang Renung # 207] Sejumlah Catatan dari Hasif

A. Tantangan Puisi atas Bahasa Biasa

Berhadapan dengan puisi kita menjadi pembaca yang terusik untuk mempertanyakan atau mempedulikan makna, makna puisi dan dengan demikian juga pada makna bahasa itu sendiri. Inilah, kata Hasif Amini, tantangan paling ganjil yang diajukan puisi terhadap kebiasaan berbahasa kita sehari-hari. Hasif, redaktur puisi di Kompas itu, menulis sebuah pengantar yang amat bernas untuk sejumlah puisi dalam buku "Puisi Tak Pernah Pergi", Penerbit Buku Kompas, 2003.

1. Membaca sebuah sajak yang baik adalah menghirup setiap partikel atau gelombang yang tersusun dalam sebangun komposisi kata-kata: segenap bunyi, irama, barik dan sunyi juga.

2. Dalam dunia puisi segenap anasir renik-pelik bahasa justru kerap hadir mencolok sebagai pokok yang menyokong kembangnya kesedapan sebuah karya.

3. Tindak apresiasi adalah proses bergelut atau bermain menggerai pelbagai citra atau lambang yang terangkai dalam suatu sajak.

4. Pada puisi, terutama persoalan makna - sesuatu yang seakan terang tapi tak pernah gampang - sering, dengan atau tanpa sadar, terusik secara mendasar.

5. Bahasa puisi hadir sebagai suatu gejala yang nyaris pejal: sebangun artifak: sebentuk gubahan yang terdiri dari kata-kata (dan tanda baca, dan jeda dan ruang kosong di sekitarnya), yang menyosok bagaikan suatu zat yang telah disuling atau dipadatkan, atau bahkan sewujud organisme yang berdenyut dan berwatak.

6. Makna tak selalu merupakan pokok yang utama dalam tubuh teks, melainkan terserap bersama unsur-unsur lain. Kadang makna bahkan menjadi semacam akibat akisdental dari komposisi bunyi-kata tertentu, misalnya kombinasi pilihan kata yang berirama.



B. Puisi, Kembimbangan Antara Bunyi dan Arti

Ada bunyi dan ada arti. Antara keduanyalah puisi menjadi punya alasan untuk dinikmati. Di antara keduanya - dengan kesadaran penuh atau setengah sadar - penyair mempertaruhkan harkat sajaknya. Ini serangkum kedua butir-butir yang bisa saya himpun dari tulisan Hasif Amini dari buku yang sama. Puisi, kata Hasif, dengan majas dan musiknya, bekerja mengirimkan mimpi sekaligus mengusik tidur panjang kita dalam kebiasaan sehari-hari.

1. Puisi tak jarang tampak sebagai bimbang yang berlarut antara bunyi dan arti. Ada tarik menarik yang bisa tak putus-putus antara arah-arah yang berlainan itu.

2. Makna muncul dari teks, atau dari pertemuan antara pembaca dan teks - bukan sesuatu yang ada lebih dahulu yang lalu coba ditangkap, disingkap, diungkap oleh tanda-tanda yang terjalin dalam teks.

3. Makna dan bunyi - di tengahnya bekerja asosiasi yang merupakan proses silang-seluk antara keduanya.

4. Kekayaan resonansi bunyi dan makna kata-kata dalam puisi mengundang pembaca untuk menghubungkan pelbagai wilayah pengalaman yang mungkin tersembunyi di tengah hingar-bingar keseharian, dan dari pertemuan (atau penemuan) itu terkuak atau terbangunlah sebidang dunia yang tak terduga.



C. Berkah dan Petaka Sajak Bebas

Puisi Indonesia tidak dibangun atas dasar disiplin yang kokoh. Ini bisa jadi berkah, bisa jadi sumber petaka. Sajak bebas menjadi pilihan utama, dan pegangan satu-satunya adalah licentia poetica. Berikut rangkuman ketika berisi sembilan butir yang saya petik dari Hasif Amini dalam tulisan dan buku yang sama.

1. Perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh.

2. Hukum tertinggi yang dipeluk erat-erat dan tak dapat diganggu-gugat adalah licentia poetica: hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang lazim bila perlu.

3. Bergantung pada gairah dan bakat (maupun kenaifan) masing-masing penyair, puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya.

4. Puisi Indonesia berjalan hampir tanpa mengenal prosodi, misalnya disiplin yang mendalami anatomi puisi menurut metrum, ritme, rima itu.

5. Ketiadaan pendalaman atas anatomi puisi, bisa dilihat sebagai hikmah yang mungkin menyelamatkan penyair dari kesibukan berlebih terhadap tetek-bengek yang terlalu teknis dalam merangkai karya.

6. Semenjak sajak bebas muncul pada abad ke-19, metrum menjadi sesuatu yang tampak kian mengekang dan merepotkan dan karenanya disingkiri jauh-jauh.

7. Tanpa metrum, sajak bebas seharusnya melahirkan musiknya sendiri-sendiri. Sajak-sajak bebas yang unggul telah membuktikan hal itu.

8. Tapi tanpa metrum, sajak bebas juga kemungkinan bisa celaka akibat miskinnya latar pemahaman dan penguasaan akan kompleksitas puisi, dan yang lahir adalah sajak yang tak mempertimbangkan kekuatan setiap unsurnya sebagai pembangun sebuah komposisi yang mantap.

9. Puisi yang tak memiliki kesadaran bentuk yang memadai, dan hanya meluncur ringan tanpa beban (selain beban pesan), tapi juga tanpa kekokohan, hanya gairah yang menggebu-gebu tapi bisa tanpa arah.

Demikianlah. Tentu, cara terbaik untuk memahami catatan pendapat Hasif adalah membaca apa yang dia tulis di buku itu. Saya merangkum, menghimpun dengan sebuah risiko, yaitu hilanglah detil-detil penjelasan Hasif dalam tulisannya itu.

Atau bila ada kesempatan bertanyalah langsung padanya. Atau Anda pun tentu boleh mengamati sendiri perjalanan puisi Indonesia dan membuat kesimpulan lain yang memberi gambaran yang lain.

* Bacaan: "Puisi tak Pernah Pergi, Sajak-sajak Bentara 2003", Penerbit Buku Kompas, 2003.

Hantumu dan Waktuku

/1/
Dari pintu otomatis ke lift yang mekanis,
kudengarkan keretuk sepatu sendiri
bertumbukan dengan keras keramik.

Aku tidak menyanyi, aku hanya bergegas.
Seakan hantumu berjaga. Di mesin absensi.

Aku tidak menyanyi, aku hanya bergegas.

/2/
DASAR gelas, sisa sepersekian belas,
kopi tanpa ampas. Ah, betapa lekas.

Hantumu dan waktuku beradu bergegas.

Friday, May 18, 2007

Aku Belum Berani

AKU belum berani menghadapimu, Sajakku. 

Kenapa? Karena aku belum bisa menyajakkan
diriku sendiri dengan jujur dan benar-benar.




Thursday, May 17, 2007

[Ruang Renung # 206] Membaca Syair

Syahdan, jika sahabat hendak bermain-main satu waktu, coba panggil
seorang orang Melayu yang pandai bersyair, suruh baca dengan lagunya yaitu
seperti nyanyi, maka lebih terang lagi maknanya. Demikianlah adanya.

[Surat Raja Ali Haji kepada Von De Wall, 6 Juli 1858/14 Zulkaidah 1274]

Syair dituliskan oleh penyair. Ia bisa dibaca langsung dari teks tertulisnya oleh orang lain. Ia juga boleh dibacakan oleh orang lain untuk orang lain. Ada cara membaca syair itu. "Yaitu seperti nyanyi," kata Raja Ali Haji kepada sahabatnya Von De Wall. Maka apa? "Maka lebih terang lagi maknanya," kata Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji mengirimkan syair yang ia tulis setelah menerima tempat dawat perak dari gubernemen - demikian menyebut pemerintah Belanda di Tanjungpinang kala itu. Bagi seorang penulis, itu adalah hadiah yang amat menggembirakan. Tersebab kegembiraan itu ia menyusun syair yang ia beri nama Syair Ikat-ikatan yang terdiri atas dua puluh empat bait dan dua belas puji. Syair itu berguna sebagai, "Peringatan kepada ahli-ahli kita di belakang hari," kata Raja Ali Haji.

Demikianlah pula agaknya puisi buat kita sekarang. Ada puisi yang bisa dibacakan entah dengan lagu seperti nyanyi atau dengan gaya membaca yang khas lainnya agar jelas maknanya. Dan ia dituliskan agar ada yang menjadi peringatan orang tentang kita, atau tentang apa yang kita tuliskan itu kelak bagi orang yang hidup setelah kita.

Demikianlah.[]