Monday, April 30, 2007

[Kisah] Aku

"ENAK sekali dia sekarang. Sudah bertahun-tahun menikmati kematiannya," katanya. Bicaranya pelan saja. Tapi cukup jelas kutangkap kalimat itu. Yang dia maksudnya dengan "dia" adalah Chairil Anwar. Ya, penyair hebat yang lekas mati itu. Dan dia yang bicara padaku itu adalah si "Aku". Inilah yang hendak kuceritakan padamu.

***
Kau pernah baca sajak "Aku", kan? Besar kemungkian kau akan menjawab, "ya". Sajak ini adalah kutipan wajib di setiap buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Demi kelancaran dan kemudahan cerita ini, anggap saja kau sudah pernah membaca sajak itu. (Catatan: "Anggap saja kau pernah membaca sajak itu", mestinya kalimatnya begitu saja. Karena dalam kata "pernah" terkandung kata "sudah").

Kemarin malam, aku sedang membaca "Aku". Ini bacaan yang entah ke berapa kali. Banyak kali. Aku sudah membaca sajak itu sejak sekolah dasar. Aku pernah menyalin sajak itu di buku harianku waktu sekolah menengah pertama. Dan waktu sekolah menengah atas sajak itu untuk pertama kalinya saya bacakan di depan orang banyak. Tepatnya saya membacakannya ketika pelantikan anggota Pramuka di sekolah saya. Ketika itu tiap anggota baru harus menampilkan atraksi seni. Aku tak bisa main gitar. Aku tak bisa menyanyi. Yang terpikir ya cuma satu hal itu: membaca sajak. Sajak "Aku".

Aku. Kalau kusampai waktuku. 'Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu.

Ketika itu, maksudku ketika aku membaca sajak itu, malam sudah sampai di tengahnya. Ia mulai basah. Ia juga senyap, senyap yang bikin lapangan perkemahan ini sepi sekali. Syahdu. Aku membaca tanpa teks. Aku hafal sajak itu sejak sekolah dasar. Nah, ketika selesai dan bahkan ketika aku sedang membaca sajak itu, aku merasa si "aku" dalam sajak itu ada menyaksikan aku membaca sajak itu. Bukan. Dia bukan si penyair. Aku tak yakin, tapi begitulah yang kuyakini dari apa yang kurasakan.

***

Ya, kemarin malam aku membaca lagi sajak "Aku". Ini bacaan yang entah yang keberapa kali. Aku tidak pernah menghitung, mungkin sudah seribu kali.

"Ya. Sajak itu sudah kau baca seribu kali," kata dia, yang tiba-tiba saja ada di kamarku. Dia itulah yang kalimatnya kutulis di awal cerita ini. Dia adalah "Aku". Sebagai pengarang, aku tidak terkejut dengan kehadiran dia yang mengaku sebagai "Aku" itu. Sebagai pengarang saya justru harus pandai menyusun kejutan-kejutan untuk orang yang kelak membaca cerita karangan saya.
Kata si "Aku", dia dan Chairil Anwar dulu sempat bertaruh. Menurutnya, maksudku menurut si "Aku", sajak itu tidak akan dibaca orang. "Sajak itu tidak akan disukai orang," kata si "Aku" mengulangi apa yang dulu dikatakannya pada Chairil. Tapi si Chairil bilang sebaliknya.
"Ini akan jadi sajak yang hebat" kata Chairil.

"Apa hebatnya? Isinya cuma omong kosong begitu saja. Kok ada sih orang yang mengaku sebagai binatang jalang. Eh mengaku pula dari kumpulannya terbuang!"

"Beginilah. Kita taruhan saja."

"Baik. Apa taruhannya?"

"Saya yakin, ini sajak yang hebat, karena itu akan ada seseorang yang membaca sajak ini sampai seribu kali."

"Baik. Taruhannya apa?"

"Aku" dan Chairil membuat peraturan taruhannya begini: 1. Di antara mereka pasti ada yang mati lebih dahulu. Siapa yang matinya kalah cepat, maka dia harus menunggu sampai ada seseorang yang membaca sajak itu hingga seribu kali, sebagai bukti bahwa sajak itu memang sajak yang hebat; 2 .Pihak yang kalah cepat matinya, baru bisa menyusul mati kalau sudah ada orang yang membaca sajak itu seribu kali; 3. Kalau tidak, maka dia yang matinya kalah cepat harus menunggu kematiannya sampai usianya seribu tahun.
"Begitulah taruhannya," kata "Aku" padaku.

***
"Sudahlah. Taruhan kami sudah selesai. Saya sudah boleh pergi mati. Terima kasih karena telah membuat saya tak harus hidup seribu tahun lagi. Terima kasih. Chairil benar. Sajak itu memang sajak yang hebat. Permisi," si "Aku" pun melenggang keluar kamarku.

Aku tak sempat berbasa-basi menjawab pamitnya si "Aku". Kalau tadi aku bilang aku tidak terperanjat, sekarang aku pelan-pelan terkejut juga. Terkejutnya itu bukan kejutan biasa. Sekali kejut langsung terkejut, dan sekali itu pula kejutnya hilang. Aku baru merasakan terkejut yang lain. Kejutannya pelan-pelan. Makin lama makin kejut. Dan kejutnya tak langsung hilang.

Setelah kejutan tadi bisa saya kendalikan, saya baru sadar si "Aku" sudah tak ada lagi di kamar saya. Ah, sialan. Padahal tiba-tiba saja saya ingin bertanya sajak itu sebenarnya ditulis oleh siapa? Benar-benar oleh Chairilkah? Atau oleh si "Aku" sendiri? Saya juga ingin titip salam untuk Chairil kalau mereka saling bertemu di sana.

Ah, sudahlah. Semoga dia bisa juga menikmati kematiannya.[]

Tiban Indah Permai, April 2007.



[Ruang Renung # 195] Tujuh Hakikat Chairil

BAGAIMANAKAH seorang penyair mengolah kehidupannya sebagai bahan sajak-sajaknya? Ini pertanyaan mendasar dan abadi. Tugas menyair adalah menjawab pertanyaan itu terus-menerus. Chairil Anwar ada menulis sebuah paparan yang sangat bisa kita teladani. Saya membuat tujuh butir kesimpulan dari pemaparannya itu. Penjelasan dari butir-butir berikut ini sepenuhnya adalah pemaparan dari Chairil Anwar. Anda tentu boleh membuat kesimpulan sendiri.

1. HAKIKAT POKOK & BAHAN. Yang penting adalah hasil sajak yang dicapai, bukan bahan yang dipakai untuk membuat dan mencapai hasil sajak itu.


Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dan sebagainya. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kwalitet cat dan kain atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukanlah bahan-bahan yang dipakai yang penting; yang penting adalah hasil yang tercapai.

2. HAKIKAT BENTUK & ISI. Hasil sajak bisa dinilai dari bentuk dan isi, tetapi kedua hal itu tidak bisa dipisahkan, keduanya bisa dilihat satu per satu tapi keduanya juga bisa dipandang sebagai satu hal yang padu.


"Hasil" ini pada umumnya "terbagi" dalam bentuk dan isi. Tetapi "pembatasan" yang sangat nyata dan terang antara bentuk dan isi tidak pula bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian, bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama. Mereka gonta-ganti tutup menutupi. Karena hanyalah perasaan-perasaan si seniman yang benar-benar jadi bentuk dan caranya menyatakan yang istimewa, tersendiri yang sanggup membikin si penglihat, pembaca atau pendengar terharu - melambung atau terhenyak.

3. HAKIKAT 1 POKOK & 2 CARA MENYATAKAN. Satu pokok yang sama bisa menghasilkan dua sajak yang berbeda, sebab dua penyair yang berbeda memandang pokok yang sama tadi dengan perasaan yang berbeda, dan menyatakan perasaan tadi juga dengan perasaan yang berbeda.


Jika dua orang pelukis sama-sama melukiskan suatu bagian dari kota, bisa jadi kejadian yang lukisan satu mengagumkan kita, sedangkan lukisan yang lain kita rasa jelek. Perbedaan bukankah jadinya terletak pada "pokok", karena di sini pokok adalah sama. Perbedaan terletak dalam perasaan-perasaan yang mengiringi pemandangan di kota tadi, dan dalam cara bagaimana perasaan-perasaan itu mencapai pernyataannya.

4. HAKIKAT POKOK-POKOK & 1 SENIMAN. Penyair tidak bergantung pada satu pokok saja. Dari pokok-pokok yang berbeda jauh, seorang penyair bisa menghasilkan sajak yang sama mengharukan perasaan pembaca.


Sebagaimana suatu pokok bisa mengesankan pada dua orang pelukis, begitu juga sebaliknya, dua bagai pokok bisa meninggalkan keterharuan yang sama pada seorang pelukis. Lukisan yang sederhana dari sepasang sepatu tua bisa "sebagus" lukisan satu pot kembang yang berbagai warna. Karena yang tampak oleh kita bukanlah semata-mata sepatu tua itu, tapi adalah sepatu tua yang "terasa bagus" - dan karena si seniman sanggup menyatakan sepenuhnya dengan garis dan bentuk, karena itu pula maka bisa dia memaksa kita mengakui hasil keseniannya.

5. HAKIKAT TENAGA PERASAAN & PERKAKAS SAJAK. Bahasa menyediakan perkakas sajak bagi penyair. Perkakas itu hanya alat bantu yang berguna bila si penyair punya tenaga perasaan untuk mencipta pokok sajak menjadi sajak.


Jadi yang penting ialah: si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaannya. Perkakas-perkakas yang bisa dipakai oleh si penyair untuk menyatakan adalah bahan-bahan bahasa, yang dipakainya dengan cara intuitif. Dengan "memakaikan" tinggi-rendah dia bisa mencapai suatu keteraturan, dan dalam keteraturan ini diusahakannya variasi: irama dari sajaknya dipakainya sebagai perkakas untuk menyatakan. Lagu dari kata-katanya bisa pula dibentuknya sehingga bahasanya menjadi berat dan lamban atau menjadi cepat dan ringan. Dia bisa memilih kata-kata dan hubungan-kata yang tersendiri, ditimbang dengan saksama atau kata-kata itu menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya bisa dibikinnya menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya.

6. HAKIKAT KETERHUBUNGAN PEMBACA & POKOK SAJAK. Jika sajak yang istimewa sudah selesai, maka pembaca berhak menikmati keistimewaan itu. Kenikmatan yang diperoleh pembaca sajak tidak lagi ditentukan oleh hanya oleh perkakas yang dipakai oleh penyair, tetapi oleh kesamaan pautan perasaannya pada pokok sajak.


Dengan irama dan lagu, dengan kalimat dan pilihan kata yang tersendiri dan dengan perbandingan-perbandingan si penyair menciptakan sajaknya dan hanya jika si pembaca sanggup memperhatikan dengan teliti "keistimewaan" yang tercapai oleh si penyair, bisalah si pembaca mengertikan dan merasakan sesuatu sajak dengan sepenuhnya. Merasa sebuah sajak bagus tidaklah harus didasarkan atas suatu atau beberapa dari "perkakas" bahasa yang disebut tadi, tapi harus didasarkan atas kerja sama dan perhubungannya yang sama dengan "pokok".

7. HAKIKAT MEMILIH POKOK & KETERHARUAN YANG BERULANG. Penyair memilih - dengan sadar atau dengan tidak sadar - pokok-pokok mana yang ia ambil untuk ia sajakkan. Ia juga bisa digerakkan oleh satu pokok yang sama, lalu menyajakkannya berulang-ulang.


Bahwasanya pokok tidak menentukan nilai hasil kesenian, bukanlah berarti bahwa semua pokok bisa membawa keterharuan yang sama pada penyair. Sebaliknya malahan: sudah tentu saja bahwa berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia tidak kita hiraukan, karena dia tidak menduduki tempat yang "penting" dalam kehidupan kita. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan, ketuhanan - inilah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman.

* Tulisan ini disimpulkan dari sebuah tulisan dalam buku Chairil Anwar, Pulanglah Dia Si Anak Hilang, Kumpulan Terjemahan dan Esai, Granit, Jakarta, 2003. Tulisan ini dimuat dalam Internasional, No. 8 Juni 1949; dimuat juga dalam berita, 27 Juni 1949 dengan judul "Membaca Sajak, Melihat Lukisan".


ensiklopuisi: Anak

 anak: I. bisakah kau berkata tidak pada dia yang
       bersandar di dadamu dan berkata, "Bapak,
       bolehkah aku bermain dengan kawan hujan?"
       setelah padanya kau bercerita tentang keberanian,
       petualangan, keriangan, ujian dan kekuatan?

       II. adakah beban di kakimu dan getar di punggungmu,
       ketika dia memasang sepatu dan memikul ranselnya
       lalu mencium tanganmu dan memelukmu, sambil
       berkata, "Bapak, cuaca memang tidak menentu, tapi
       aku telah mengerti ceritamu, dan kini saatnya memulai
       petualangan sendiri yang kelak kukisahkan padamu,
       dan kusimpan untuk anak-anakku."


Saturday, April 28, 2007

ensiklopuisi

                                                    :  akmal nasery basral

umur:
apakah hari? Bumi berputar dan kita menua!
     apakah bulan? Bumi melingkar dan kita menunda!
     apakah tahun? Bumi tak beranjak, kita tak berduka!
     apakah umur? Kita bertanya sebanyak-banyaknya
     dan mencari jawaban sesempatnya saja.

     "Umur hanya menegaskan kita: betapa fana!"


hidup: buku besar yang kau robek selembar-selembar,
     diam-diam ada yang dengan tekun mengumpulkan,
     dan dia sangat kecewa ketika ditemukannya pada
     robekan itu kau tak menuliskan apa-apa. Dia ingin
     sekali mengingatkanmu:

    "Apa yang nanti bisa kubacakan untukmu ketika
     semua lembar di buku besarmu telah kau habiskan?



rumah : yang membiru di tubuh dan kaki petualang, melangkah
     pulang ke halaman dan tangga yang ramah ; yang berburu
     jauh pergi ke gunung ke lembah, mengembalikan
     tangan ke lumpur sawah ; yang berguru pada langit lepas,
     makin bisa merangkum semilir harum bunga tanah.

      "Dia berumah pada engkau, kaukah juga padanya?"


tangan: I. genggamlah lumpur persawahan, dapatkan bau perjalanan ;
     peganglah duri rotan, nikmati lukanya ; peluklah batang kayu
     hutan, bagikan detak jantung kehidupan; sentuh akar rerumputan,
     bayangkan ketabahan ; biarkanlah hinggap kupu-kupu, lalu
     lepaskan ; sentuh gerak sungai dan basah hujan, bentangkanlah
     sepi, lalu tadahkan; panaskan batu, lalu bikin api sekedar
     menyalakan malam.

     "Akan kucium dahulu, bila tangan-Mu & tanganku berpegangan!"

     II. di tangan anak-anak berilah kebebasan, dia akan menggambar
     dunia dengan garis-garis di telapaknya ; di tangan perempuan berilah
     sehelai kain dan setangkai bunga, dia akan menyulam indah
     huruf namanya dan mengabadikan wangi di ujung kukunya ;
     di tangan lelaki berilah kayu dan batu, dia akan mencari sebidang
     tanah lalu meletakkan batu sebagai tanda dan mendirikan tiang
     pertama sebuah rumah ; di tangan orangtua, dekatkan wajah dan
     bacakanlah kisah perjalanan yang dia tuliskan di sela-sela jarinya.

     "Di tangan-Nya, berikan tanganmu, berikan semua tanganmu!"




 

Friday, April 27, 2007

[Ruang Renung # 194] Harga Penyair

 HARGA penyair, ujar Asrul Sani, harus dinilai menurut buah tangannya yang terbesar dan bukan menurut buah tangannya yang paling kandas. Padanya diminta untuk memuatkan perasaan-perasaan dalam kalimatnya. Sampai ke mana ia dapat menggunakan bahasa untuk menyimpan perasaan ini yang nanti harus keluar kembali jika dibaca pembaca.

Sajak-sajak penyair Prancis Arthur Rimbaud ditulisnya pada selang usia pendek antara 16 hingga 19 tahun. Setelah itu ia tidak menulis lagi. Ia lalu mengikuti dinas tentara Hindia Belanda dan sempat ikut bertempur di Jawa. Ia melarikan diri dari kesatuannya. Ia menjadi penyeludup senjata di Ethiopia dan akhirnya dalam kemiskinan yang parah ia mati akibat penyakit di negerinya pada usia 37 tahun.

Sebagai apakah dunia kemudian mengenang Rimbaud? Sebagai pelopor gerakan Simbolisme. Sajak-sajaknya adalah peletak dasar-dasar bahkan pencapaian puncak dari faham estetika itu. Dia tidak dikenang sebagai prajurit pengecut yang lari dari kesatuan. Dia tidak dikenang sebagai penjahat pemasok senjata yang menyebabkan perang saudara di sebuah negeri, dia tidak dikenang sebagai gelandangan miskin dan kotor yang penyakitan.

Begitulah, Rimbaud diberi harga atas buah tangannya yang paling berhasil: Sajak, seperti yang dengan bijak disarankan oleh Asrul Sani. Asrul Sani bicara bukan tentang Rimbaud, tetapi sebagai pembelaan atas sahabatnya Chairil Anwar. Chairil -- saat Asrul menulis kalimat itu -- telah lima tahun dimakamkan. Dan kala itu serangan atas tuduhan plagiat pada beberapa karyanya tak juga mereda.

"Orang masih dapat menulis pelbagai disertasi perihal penyair ini," tulis Asrul. "Ia seolah-olah dapat dibandingkan dengan sebidang tanah luas yang kosong yang belum dikerjakan."[]

[Ruang Renung # 193] Yang Tak Selesai Dimaknai

 PENYAIR harus menulis puisi sampai selesai. Puisi yang belum selesai hendaknya disimpan dahulu untuk diselesaikan kelak. Puisi yang tidak selesai atau setidaknya dianggap belum selesai oleh penulisnya bukanlah puisi yang bagus. Tetapi, penyair boleh berubah fikiran. Ia boleh menganggap selesai puisi yang tadinya dinilai belum selesai. Joko Pinurbo sering menyimpan satu dua baris "puisi" yang disebutnya "telur" puisi yang harus dierami agak menetas jadi puisi. Tapi, kemudian beberapa "telur" itu dikirimnya ke surat kabar dan dimuat. Artinya apa yang dianggapnya "telur", ternyata dibiarkannya saja sebagai telur, tidak dia dierami lagi dan dianggapnya telah menetas dan menghasilkan makhluk puisi yang serupa dengan telur tadi.

Tetapi puisi yang terbaik, adalah puisi yang tak pernah selesai dimaknai oleh pembaca. Lebih tepat, ia tak akan pernah habis dimaknai. Ia selalu bisa mengulurkan benang-benang konteks ke berbagai peristiwa aktual. Dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri "Tanah Air Mata", adakah petunjuk yang jelas dia bicara soal apa persisnya? Orang bilang itu bicara soal kerusuhan menjelang reformasi, tapi sajak itu juga bisa mewakili derita bangsa Palestina. Begitulah, sajak yang amat bagus itu relevan dengan bangsa manapun yang tidak beres, yang rakyatnya tidak terayomi.

Sajak Sapardi Djoko Damono "Aku Ingin" adalah sajak yang sangat bagus. Bicara soal apa sajak itu sebenarnya? Tidak jelas. Tak ada petunjuk yang pasti. Dan begitulah seharusnya sebuah sajak yang baik. Dia tak pernah habis dimaknai. Sajak "Aku Ingin" bisa kita maknai sebagai pernyataan cinta yang luar biasa atau sebuah cinta yang apa adanya. Bisa juga ia dimaknai sebagai sebuah pernyataan cinta yang ikhlas, atau sebaliknya sebuah keinginan memiliki atau menguasai yang sangat kuat. Ia bisa dimaknai sebagai cara mencintai yang sambil lalu atau sebuah cinta yang dalam. Apapunlah, tapi yang pasti sajak itu memang menyentuh perasaan. Ia membangkitkan kangen, ia membuat cinta kita pada orang yang kita cintai seperti naik pasang tiba-tiba.[]

kamus satu kata: Rumah

rumah : yang membiru di tubuh dan kaki petualang, melangkah
         pulang ke halaman dan tangga yang ramah ; yang berburu
         jauh pergi ke gunung ke lembah, mengembalikan
         tangan ke lumpur sawah ; yang berguru pada langit lepas,
         makin bisa merangkum semilir harum bunga tanah.
         - Dia berumah pada engkau, kaukah juga padanya?

[Kisah] Kisah

MEREKA duduk berempat. Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi. Saya duduk di sebelah meja mereka. Saya mendengar mereka berdebat. Kedai kopi sedang tidak terlalu ramai. Rupanya mereka sedang bekerja sama membuat sebuah Kisah. Yang mereka perdebatkan adalah siapakah yang telah memberi sumbangan terbesar pada keberhasilan kerjasama mereka itu.

Saya saat itu sedang membaca membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Agaknya, orang yang ingin menjadi pengarang harus lebih tabah daripada yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain. Seorang dokter boleh bekerja di rumah sakit atau membuka praktek sendiri, apabila ijazah kedokteran sudah dalam kantongnya. Tidak demikianlah dengan seorang pengarang. Tidak ada universitas yang dapat memberikan ijazah sebagai pengarang kepadanya, walaupun di mana-mana terdapat Fakultas Sastra. Fakultas-fakultas itu hanya mengajarkan teori, tetapi praktek mesti dicari pengarang sendiri...

Sambil membaca saya mendengarkan juga pembicaraan di sebelah meja saya.

"Tentu saja saya yang punya peran paling penting," kata Si Tokoh. "Apakah ada kisah kalau tak ada tokoh? Tak ada tokoh, tak ada kisah," kata Si Tokoh.

"Okelah, tak ada kisah, tak ada tokoh. Tapi, kalau cuma tokoh, tanpa alur cerita, tokohnya mau bikin apa? Cuma narasi sendirian? Narasi saja sudah bisa jadi plot. Tanpa plot, tokoh mati. Tidak pernah bisa bikin kisah apa-apa," kata Si Plot.

"Sebentar dulu, Tuan Tokoh dan Tuan Plot. Anda berdua bicara soal tokoh dan plot. Anda berdua bergerak dalam cerita dari waktu ke waktu. Artinya kalian memerlukan saya," kata Si Waktu, "Anda jangan menyepelekan saya, dong."

"Ah, sebuah kisah kadang hanya menyebut 'pada suatu hari', atau 'pada zaman dahulu'. Jadi waktu sangat tidak penting. Waktu hanya pelangkap," kata Si Tokoh.

"Nah, apa yang kau sebut sebagai contoh tadi justru adalah bukti betapa pentingnya waktu. 'Pada suatu hari' dan 'pada zaman dahulu' itu adalah saya, adalah waktu. Mana bisa disepelekan," kata Si Waktu.

"Tunggu dulu. Kalian lupa sama saya?" kata Si Lokasi. "Lupa ya? Tokoh, Plot, Waktu, kalian boleh bikin kisah apa saja. Tapi kisahnya mau dihadirkan di mana?"

"Ya, bisa di mana saja. Di negeri antah berantah. Di sebuah kerajaan. Di negeri dongeng."

"Nah, di manapun itu, artinya kalian perlu lokasi. Perlu saya, 'kan?"

Saya tidak bisa membayangkan pembicaraan mereka itu akan berakhir seperti apa. Sebenarnya perdebatan mereka itu menarik sekali. Tapi, saya punya urusan lain. Saya ingin menyelesaikan membaca buku yang dulu saya beli di kedai buku di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, kedai yang dikelola oleh seniman Yoserizal Manua. Setelah menumbukkan puntung rokok ke asbak, saya membayar kopi dan saya pun keluar dari kedai itu. Saya lihat mereka berempat masih saja berdebat.

***

TENGAH malam Drusba datang ke rumah saya. Wajahnya nol. Seperti sedang kehilangan sesuatu yang penting. Saya tidak bertanya. Saya biarkan saja dia duduk bingung, saya lanjutkan membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Selain daripada itu fakultas-fakultas itu bukan hendak membentuk mahasiswa-mahsiswanya menjadi pengarang melainkan untuk mendidik agar mereka menjadi ahli sastra atau guru. Namun demikian tentu seorang pengarang yang mendapat kuliah di fakultas-fakultas serupa itu banyak manfaatnya. Kebanyakan di atara kita meski mencari sendiri. Akan tetapi pun mereka yang telah menamatkan universitas itu mesti terus mencari sebab pengarang adalah pencari ...

"San, kau tak bertanya apa masalah aku?" akhirnya Drusba buka suara.

"Tak aku tanya pun kau akan cerita sendiri. Kau kalau tak ada masalah tak akan datang ke rumahku ini, kan?"

Drusba terdiam.

"Baiklah, apa masalahmu?"

Drusba pun berkisah tentang rencanya menulis sebuah kisah. Tapi rencana itu tak pernah berhasil ia wujudkan sebab Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi yang ia ajak kerja sama membuat kisah itu diam-diam berkomplot mengkhianatainya.

Saya teringat mereka waktu berdebat di kedai kopi. Saya katakan itu pada Drusba. Itulah terakhir kali saya melihat mereka. Saya katakan itu pada Drusba. Saya tak tahu kalau mereka sebenarnya sedang ada kerjasama dengan kawan saya ini. Saya katakan itu pada Drusba.

"Lantas kemana mereka pergi?"

"Saya tak tahu."

Drusba terdiam lagi.

Lama.

"Kau baca apa, San?"

"Kau mau dengar?"

Saya membaca dengan suara keras, buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... dalam menulis hendaknya jangan ditunda-tunda. Kalau kita menunda karangan -- lebih-lebih untuk masa yang lama -- suka sulit kita mengumpulkan lagi pikiran dan semangat untuk melanjutkannya. Maka seberapa dapat menulislah dalam satu jalan. Tetapi yang paling penting, kita harus hidup dalam ciptaan, dan jika pikiran sudah begitu hidup tidak mungkinlah jiwa mati. Itulah salah satu segi yang cemerlang dalam penghidupan pengarang bahwa jiwanya tidak mati, bahkan tidak mau melempem. Jiwa pengarang selalu memancarkan cahaya yang berbinar-binar....

"Drus...." Tak ada jawaban. "Drus?"

Aku lihat Drusba tak ada lagi.

Kemana dia? []

Tiban Indah Permai, April 2007.

Thursday, April 26, 2007

[Kisah] Kotakami

      TENGAH malam pintu rumahku diketuk seseorang. Aku menduga orang yang mengetuk pintu itu adalah Drusba. Temanku yang perangainya aneh. Ternyata benar.
     "Ada apa, Drus?"
     "Aku mau beli rokok. Tolong ganti ini dong?" katanya menyodorkan flashdisk. 256 megabyte. Sebenarnya saya sedang tidak memerlukan benda itu. Saya sudah punya. Tapi, ini bukan saat yagn tepat untuk menolak permintaan Drusba. Tidak pernah ada saat yang tepat, sebenarnya. Dia sering muncul tiba-tiba pada malam hari, seperti saat ini. Dan memberi sesuatu, atau minta tolong begitu saja.
     "Buat beli rokok aja, 'kan?"
     "Ya, kasihlah lebih sedikit. Kau tahukan berapa harga flashdisk dengan kapasitas sebesar ini?"
     "Ah, kau ini. Aku sedang tidak perlu."
     "Kau kan habis dapat honor. Dua minggu lalu kulihat puisi kau di surat kabar."
     Aku pun membayar, tepatnya memberinya selembar uang Rp50 ribuan-an. Drusba pun berlalu. Kantukku tiba-tiba hilang. Aku tak bisa segera tidur lagi. Aku hidupkan laptop. Siapa tahu dapat satu atau dua puisi. Buntu. Aku teringat flashdisk dari Drusba tadi. Tapi kuletakkan di mana ya? Aku cari kemana-mana, akhirnya kutemukan di balik bantal. Flashdisk itu kusambungkan ke laptop. Saya tidak berharap menemukan apa-apa, tapi di dalamnya ada satu arsip 90 kilobyte. Sebuah kisah. Bukan. Tepatnya semacam pendahuluan sebuah kisah.
     Ini dia isinya:
     ...................
     Kotakami adalah kota kecil. Penduduknya tak banyak. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih banyak dari penduduk Kotakami. Tapi juga tak bisa dibilang sedikit. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih sedikit daripada jumlah penduduk di Kotakami. Kalau ada pendatang dari luar kota bertanya kepada penduduk Kotakami berapa jumlah penduduk Kotakami maka jawabannya selalu sama, "Saya adalah salah satunya." Mereka menjawab begitu dengan bangga.
     Kalau pendatang itu bertanya, "Apa buktinya?" Maka jawabannya, "buktinya Anda bertanya kepada saya berapa jumlah penduduk Kotakami. Kami sendiri tak pernah bertanya seperti itu. Kami selalu ditanya seperti itu oleh pendatatang seperti Anda." Kadang-kadang jawaban itu dilanjutkan dengan menunjukkan kartu penduduk Kotakami. Kartu itu tampak seperti sepotong kaca jernih, atau kartu plastik tembus pandang. Perhatikanlah, di dalam kartu itu terlihat wajah si pemilik kartu. Bukan, bukan gambar. Wajah itu hidup.Wajah itu tersenyum, mengedipkan mata, seperti si pemilik kartu sedang bercermin di sana.
     Kotakami adalah kota kecil yang selalu tampak sibuk. Tetapi ini bukan kota yang terburu-buru. Penduduk Kotakami selalu punya waktu untuk melakukan apa saja, karena mereka benar-benar tahu harus melakukan apa saja dalam sehari. Selalu ada penduduk berjalan atau berkendaraan yang terlihat di jalan, sepanjang tiga kali delapan jam. Ya, tiga kali delapan jam. Penduduk Kotakami lebih suka menyebut waktu sehari dengan 3 kali 8 jam. Bukan 2 kali 12 jam, bukan juga 1 kali 24 jam.
     Perhitungan waktu dimulai saat matahari tenggelam. Itulah waktu 00.00 waktu Kotakami. Delapan jam pertama mereka namakan Serafiana. Delapan jam kedua mereka namakan Kanyalania. Delapan jam ketiga mereka sebut Fatsawasya.
     Sekarang mari kuceritakan tentang kendaraan di Kotakami. Jangan bayangkan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Umumnya kendaraan di Kotakami adalah sepeda, beroda dua dan beroda tiga. Yang paling banyak yang beroda tiga. Bukan, bukan seperti beca. Sepeda roda tiga di Kotakami berbeda: satu roda di depan terhubung pada setang. Dua roda di belakang digerakkan oleh mesin berbahan bakar minyak dari sejenis tumbuhan. Sepeda roda tiga itu, namanya tripeda, bisa membawa seorang pengemuda dan seorang penumpang di belakangnya.
     Tengoklah peta Kotakami. Bentuknya semakin lama semakin seperti segitiga sama sisi. Meskipun tidak pernah ada yang bisa meyakini memang seperti itulah bentuk kota ini. Bentuk itu adalah rekaan yang paling mungkin mendekati bentuk sebenarnya. Ada tiga gerbang masuk ke Kotakami, tepat di titik tengah sisi setiap segitiga itu. Di titik-titik sudut segitiga itu didirikan tugu. Mereka memberi nama Tugu Angin, Tugu Air, dan Tugu Api.
     Begitulah aku sekelumitkan kisah Kotakami.
     Lalu siapakah aku? Aku semula adalah pendatang yang akhirnya diakui sebagai penduduk di Kotakami. Mendapatkan pengakuan itu sangat tidak mudah. Itulah yang hendak kukisahkan. Aku menuliskan kisah itu di halaman-halaman berikutnya di buku ini. Aku hendak berkisah tentang beberapa orang yang sangat menarik yang kutemui yang akhirnya mereka menjadi teman akrabku di Kotakami. Aku hendak berkisah tentang dongeng-dongeng yang hidup di Kotakami. Tiap tempat punya dongeng sendiri, tiap penduduk Kotakami punya dongeng masing-masing.
     ....................
    Ini kisah karangan Drusba? Saya mengambil telepon genggam dan menghubungi nomornya. Dia tadi sebenarnya inign memberi kisah ini kepada saya? Tapi nomornya tidak aktif. Terus-terang saya penasaran. Dia ingin saya melanjutkan kisah ini? Saya cari-cari mungkin ada arsip lain di flashdisk itu.
     Percuma saya mencari, itu memang satu-satunya arsip yang ada. Saya tertarik untuk melanjutkan kisah itu. Saya harus minta izin dulu pada Drusba. Saya yakin ini kisah dia yang mengarang. Saya coba menelepon dia lagi. Tak juga terhubung.
     Ah, sudahlah. Anda yang kebetulan berjumpa dengan Drusba, tolong katakan padanya, saya ingin membuat novel dari kisah itu. Atau kalau Anda ingin melanjutkan kisah itu, mintalah izin padanya. Tapi, apa benar itu kisah Drusba? Saya tidak tahu juga. Hanya Drusba yang tahu. Kalau Anda bertemu dia tanyakanlah. Kalau saya bertemu nanti akan saya tanyakan juga padanya. []

Tiban Indah, April 2007





Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu

                                                                          : Joko Pinurbo

/1/
Waktu singgah di rumahmu, engkau dengan bangga
memamerkan beberapa celanadalam istimewamu.

Saat kau lengah, kucuri salah satu celanadalam itu.

Di rumahku, aku langsung menjajal celanadalammu itu.

/2/
Harus kuakui celanadalammu memang istimewa. Enak
dipakai dan tidak membuat anuku nyelip ke mana-mana.

Saking enaknya, aku lupa menggantinya. Padahal, seenak
apapun celanadalam 'kan harus dicuci, supaya tetap suci.

Itulah mungkin sebabnya, sekarang aku terserang gatal-gatal.
Celanadalam yang enak jadi tidak enak. Anuku pun berontak.

"Bagaimana, Tuan? Anda sudah ketularan penyakit saya?"
tiba-tiba kuterima pesan pendekmu di telepon genggamku.