Penyair IKRA BHAKTIANANDA
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, November 5, 2006
Parsel Kiriman Belum Juga Ia Terima
WAKTUNYA hampir tiba, tapi parsel kiriman
yang ditunggu belum juga ia terima. Sudah
lama. Masih sabar ia menunggu sambil belajar
agar bisa membaca dengan lancar, namanya
di kartu dan nama si pengirim dengan alamat
yang samar. Keranjang itu pernah dilihatnya
di sebuah toko. Sejak itu ia rajin menunggu.
IA merasa kini waktunya memang hampir tiba,
tapi parsel yang dia tunggu belum datang juga,
hanya keranjang kosong yang seakan minta
diisi dengan bagian-bagian tubuhnya sendiri,
dan selembar kartu ucapan: "Kirimkan saja
seutuhnya. Anda sudah ditunggu di sebuah
alamat. Jangan lupa cantumkan juga nama
Anda: selengkap-lengkapnya." Ia sudah lancar
membaca. Sejak itu ia makin rajin menunggu.
yang ditunggu belum juga ia terima. Sudah
lama. Masih sabar ia menunggu sambil belajar
agar bisa membaca dengan lancar, namanya
di kartu dan nama si pengirim dengan alamat
yang samar. Keranjang itu pernah dilihatnya
di sebuah toko. Sejak itu ia rajin menunggu.
IA merasa kini waktunya memang hampir tiba,
tapi parsel yang dia tunggu belum datang juga,
hanya keranjang kosong yang seakan minta
diisi dengan bagian-bagian tubuhnya sendiri,
dan selembar kartu ucapan: "Kirimkan saja
seutuhnya. Anda sudah ditunggu di sebuah
alamat. Jangan lupa cantumkan juga nama
Anda: selengkap-lengkapnya." Ia sudah lancar
membaca. Sejak itu ia makin rajin menunggu.
Jalan Salahkah dan Jalan Benarkah
JALAN pulang ke rumahnya bercabang sejak
di gerbang : Jalan Benarkah & Jalan Salahkah.
SETIAP kali melintasi di salah satu jalan itu, dia
selalu bertanya, "Siapa sebenarnya yang dulu
memberi nama kedua jalan tak bertanda ini?"
SETIAP kali melepas sepatu di teras rumahnya,
setelah lelah seharian keluyuran, dia selalu
bertanya, "jalan mana yang tadi sudah saya
lewati, ya?" Pada sepatu tak ada tanda-tanda.
di gerbang : Jalan Benarkah & Jalan Salahkah.
SETIAP kali melintasi di salah satu jalan itu, dia
selalu bertanya, "Siapa sebenarnya yang dulu
memberi nama kedua jalan tak bertanda ini?"
SETIAP kali melepas sepatu di teras rumahnya,
setelah lelah seharian keluyuran, dia selalu
bertanya, "jalan mana yang tadi sudah saya
lewati, ya?" Pada sepatu tak ada tanda-tanda.
Sutadji Calzoum Bachri
La Noche de las Palabras
Di Cafe jalanan Noventa y sista, Medellin, Colombia
Kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
Mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
Bekomplot dengan anggur dan cerbeza
bersesongkol dengan gadis-gadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
menjulang di Medellin
menampilkan sutra
di keharibaan malam cuaca
Ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebut-nyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah wajah usia
Kami para penyair
meneruskan zikir kami
--- palabras palabras palabras palabras
--- kata kata kata kata
Semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
Sampai kami bisa buat
Sesuka kami atas padat cahaya
Lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
Sampailah kami pada kerajaan kata-kata
Jika kami membilang ayah
Ia juga ayah kata-kata
Jika kami menyebut hari
Juga harinya kata-kata
Jika kami mengucap diri
Pastilah juga diri kata-kata
Di Cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
Kata-kata menjadi kami
Kami menjadi kata-kata
Medellin, Colombia 1997
La Noche de las Palabras
Di Cafe jalanan Noventa y sista, Medellin, Colombia
Kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
Mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
Bekomplot dengan anggur dan cerbeza
bersesongkol dengan gadis-gadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
menjulang di Medellin
menampilkan sutra
di keharibaan malam cuaca
Ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebut-nyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah wajah usia
Kami para penyair
meneruskan zikir kami
--- palabras palabras palabras palabras
--- kata kata kata kata
Semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
Sampai kami bisa buat
Sesuka kami atas padat cahaya
Lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
Sampailah kami pada kerajaan kata-kata
Jika kami membilang ayah
Ia juga ayah kata-kata
Jika kami menyebut hari
Juga harinya kata-kata
Jika kami mengucap diri
Pastilah juga diri kata-kata
Di Cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
Kata-kata menjadi kami
Kami menjadi kata-kata
Medellin, Colombia 1997
Saturday, November 4, 2006
[Ruang Renung # 170] Zikir Kata yang Memadatkan Cahaya Bulan dan Mengantar Penyair Pada Kerajaan Kata-kata*
PERJALANAN panjang seorang penyair dalam menyair adalah perjalanan menuju Kerajaan Kata. Sebuah tempat atau sebuah keadaan dimana penyair menjadi tak berjarak lagi dengan kata yang ia sajakkan. Jika penyair membilang 'ayah' yang yang terbilang adalah dia kata yang juga ayah kata-kata. Jika ia menyebut 'hari',maka yang tersebut adalah harinya kata-kata, dan jika dia mengucap diri, maka pastilah yang tersebut itu 'diri kata-kata'.
PERJALANAN menuju Kerajaan Kata itu ibarat mengepung bulan dengan zikir kata-kata. Para pembaca puisi yang telah dituliskan penyair atau pendengar puisi yang diresitalkan oleh penyair bukannya tak dihiraukan. Mereka ikut juga menaklukkan bulan dengan cara masing-masing. Cara yang tidak dibatasi oleh penyairnya. Cara yang tidak ditentukan dengan semena-mena oleh penyairnya. Bebas saja, terserah saja.
BAGI penyair ini bukan perjalanan yang tanpa godaan. Di sekitar penyair ratusan para lilin yang mengucap menyebut cahaya. Seakan ingin menyesatkan zikir penyair. Tapi, para penyair akan terus menaklukkan bulan, dan berpusir** pada cahaya bulan, meneruskan zikir: palabras palabras palabras kata kata kata, hingga cahaya bulan memadat, dan dari padat cahaya itu penyair bisa membuat apa saja sesuka hati. Dan cahaya yang bisa dipadatkan untuk dibentuk sajak apa saja itu tak akan habis. Selama bulan masih memberi terang, selama penyair terus menzikirkan kata, mengingat kata, masuk ke inti kata, berdetak bersama detak jantungnya kata.
LALU bulan kesadaran penyair meninggi, sementara sang bulan yang dituju turun juga mendekat kepada penyair. Itulah saatnya penyair berhasil mengatasi bulan dan itulah saatnya penyair telah sampai pada Kerajaan Kata-kata. Purnama pun ikhlas jatuh setelah mengantarkan penyair pada Kerajaan Kata-katanya. Itulah pencapaian tertinggi: kata-kata menjadi penyair, penyair menjadi kata-kata. Begitu akrabnya, begitu dekatnya.
* Tafsir bebas atas sajak Sutardji Calzoum Bachri "La Noche de Las Palabras".
** Berpusir saya ciptakan dari kata berpusat pikir. Sebagai pilihan lain untuk kata berkonsentrasi. Lebih ringkas.
PERJALANAN menuju Kerajaan Kata itu ibarat mengepung bulan dengan zikir kata-kata. Para pembaca puisi yang telah dituliskan penyair atau pendengar puisi yang diresitalkan oleh penyair bukannya tak dihiraukan. Mereka ikut juga menaklukkan bulan dengan cara masing-masing. Cara yang tidak dibatasi oleh penyairnya. Cara yang tidak ditentukan dengan semena-mena oleh penyairnya. Bebas saja, terserah saja.
BAGI penyair ini bukan perjalanan yang tanpa godaan. Di sekitar penyair ratusan para lilin yang mengucap menyebut cahaya. Seakan ingin menyesatkan zikir penyair. Tapi, para penyair akan terus menaklukkan bulan, dan berpusir** pada cahaya bulan, meneruskan zikir: palabras palabras palabras kata kata kata, hingga cahaya bulan memadat, dan dari padat cahaya itu penyair bisa membuat apa saja sesuka hati. Dan cahaya yang bisa dipadatkan untuk dibentuk sajak apa saja itu tak akan habis. Selama bulan masih memberi terang, selama penyair terus menzikirkan kata, mengingat kata, masuk ke inti kata, berdetak bersama detak jantungnya kata.
LALU bulan kesadaran penyair meninggi, sementara sang bulan yang dituju turun juga mendekat kepada penyair. Itulah saatnya penyair berhasil mengatasi bulan dan itulah saatnya penyair telah sampai pada Kerajaan Kata-kata. Purnama pun ikhlas jatuh setelah mengantarkan penyair pada Kerajaan Kata-katanya. Itulah pencapaian tertinggi: kata-kata menjadi penyair, penyair menjadi kata-kata. Begitu akrabnya, begitu dekatnya.
* Tafsir bebas atas sajak Sutardji Calzoum Bachri "La Noche de Las Palabras".
** Berpusir saya ciptakan dari kata berpusat pikir. Sebagai pilihan lain untuk kata berkonsentrasi. Lebih ringkas.
Friday, November 3, 2006
[Tadarus Puisi # 011] Tersebab Apa Sajak Terbentuk pada Sebuah Pola
BANYAK hal bisa dikaji pada sajak penyair asal Yogyakarta TS Pinang "Tersebab Apa". Sajak ini bisa ditelururi dari bagaimana penyair memadukan beberapa kelompok kata dari bait ke bait sehingga membangun sebuah imaji yang memancing makna yang kaya. Ia bisa dibentang sebagai sebuah hutan penuh hewan buruan: dan kita adalah pemburu yang bertugas menangkap sebanyak-banyak hewan di hutan itu, dengan berbagai siasat dan taktik perburuan.
SAYA ingin meletakkan sajak bagus ini di rehal tadarus kali ini untuk melihat bagaimana sebuah sajak dibangun dari bait ke bait dengan sebuah pola yang sama. Ada risiko besar pada jurus sajak yang begini ini, yaitu ia bisa jatuh membosankan jika tidak dikembangkan dengan cermat dari bait ke bait. Kebosanan itulah yang harus dibunuh benihnya dari bait ke bait. Keingintahuan dan ketertarikan harus terus menerus dipancing. Pembaca harus terus-menerus dipikat sebelum ditawan di akhir sajak.
SUTARDJI Calzoum Bachri memakai pemolaan ini pada beberapa sajaknya. Sajak "Mari" salah satunya. Pola bukan sekadar repetisi. Pola adalah semacam formasi imaji yang diisi dengan kata-kata yang berbeda dari bait ke bait dengan demikian ia juga menimbulkan rangsang makna yang berbeda. TS Pinang tidak ingin bercerita dalam sajak ini. Pola yang ia bikin bagi saya seakan mengantar saya sejenjang sejenjang menaiki puncak sajak yang ia persiapkan di bait terakhir. Tiap anak tangga adalah puncak juga yang mesti saya capai dan saya amati dengan cermat. Pendakian yang nikmat.
DAN puncak yang paling puncak pada sajak ini adalah bait terakhir: tersebab apa/kitab menulis hujan dalam koma/menghitung tasbih/di sajadah dusta/di bukit batu dan gunung kata:/saatnya laut tercangkul lingga. Saya tak pernah yakin dengan kesimpulan yang saya buat atas bait ini dan dengan kaitannya dengan sajak-sajak sebelumnya. Tapi saya tak perlu kepastian itu. Sama sekali tidak perlu. Tiap kesimpulan selalu diragukan oleh godaan kesimpulan lain. Begitulah terus menerus. Mungkin keragu-raguan itulah yang hendak disebutkan oleh TS Pinang? Mungkin. Mungkinkah TS Pinang hendak mengingatkan kesalihan palsu yang banyak dilakoni oleh kita? Kita yang sibuk menghitung tasbih, di sajadah yang cuma dusta, sujud yang pura-pura? Mungkin. Jika pada tiga belas bait sebelumnya kata "tersebab" selalu dikuti oleh kata yang pasti, pada bait puncak itu apa yang menjadi sebab itu dipertanyanan: "tersebab apa".
SOAL "hamil anggur" di bait pertama pun telah pula menawarkan emosi kesal dalam seluruh jiwa sajak. Hamil anggur adalah kehamilan palsu. Kehamilan gagal. Kehamilan yang harus digugurkan. Alih-alih memerankan tugas suci rahim, hamil anggur justru mengotori. Rahim harus dibersihkan tuntas dari butir-butiran bak tandan anggur yang menyaru janin di rahim, bila ingin tetap berfungsi sebagai rahim. Ini pemeragaan diksi yang hebat dari TS Pinang.
SAYA ingin meletakkan sajak bagus ini di rehal tadarus kali ini untuk melihat bagaimana sebuah sajak dibangun dari bait ke bait dengan sebuah pola yang sama. Ada risiko besar pada jurus sajak yang begini ini, yaitu ia bisa jatuh membosankan jika tidak dikembangkan dengan cermat dari bait ke bait. Kebosanan itulah yang harus dibunuh benihnya dari bait ke bait. Keingintahuan dan ketertarikan harus terus menerus dipancing. Pembaca harus terus-menerus dipikat sebelum ditawan di akhir sajak.
SUTARDJI Calzoum Bachri memakai pemolaan ini pada beberapa sajaknya. Sajak "Mari" salah satunya. Pola bukan sekadar repetisi. Pola adalah semacam formasi imaji yang diisi dengan kata-kata yang berbeda dari bait ke bait dengan demikian ia juga menimbulkan rangsang makna yang berbeda. TS Pinang tidak ingin bercerita dalam sajak ini. Pola yang ia bikin bagi saya seakan mengantar saya sejenjang sejenjang menaiki puncak sajak yang ia persiapkan di bait terakhir. Tiap anak tangga adalah puncak juga yang mesti saya capai dan saya amati dengan cermat. Pendakian yang nikmat.
DAN puncak yang paling puncak pada sajak ini adalah bait terakhir: tersebab apa/kitab menulis hujan dalam koma/menghitung tasbih/di sajadah dusta/di bukit batu dan gunung kata:/saatnya laut tercangkul lingga. Saya tak pernah yakin dengan kesimpulan yang saya buat atas bait ini dan dengan kaitannya dengan sajak-sajak sebelumnya. Tapi saya tak perlu kepastian itu. Sama sekali tidak perlu. Tiap kesimpulan selalu diragukan oleh godaan kesimpulan lain. Begitulah terus menerus. Mungkin keragu-raguan itulah yang hendak disebutkan oleh TS Pinang? Mungkin. Mungkinkah TS Pinang hendak mengingatkan kesalihan palsu yang banyak dilakoni oleh kita? Kita yang sibuk menghitung tasbih, di sajadah yang cuma dusta, sujud yang pura-pura? Mungkin. Jika pada tiga belas bait sebelumnya kata "tersebab" selalu dikuti oleh kata yang pasti, pada bait puncak itu apa yang menjadi sebab itu dipertanyanan: "tersebab apa".
SOAL "hamil anggur" di bait pertama pun telah pula menawarkan emosi kesal dalam seluruh jiwa sajak. Hamil anggur adalah kehamilan palsu. Kehamilan gagal. Kehamilan yang harus digugurkan. Alih-alih memerankan tugas suci rahim, hamil anggur justru mengotori. Rahim harus dibersihkan tuntas dari butir-butiran bak tandan anggur yang menyaru janin di rahim, bila ingin tetap berfungsi sebagai rahim. Ini pemeragaan diksi yang hebat dari TS Pinang.
TS Pinang
Tersebab Apa*
/1/
tersebab laut
batu hamil anggur
menghitung kalender
di dinding hujan:
saatnya merebus bubur
/2/
tersebab kata
patungpasir pun gugur
menghitung racau
di atap kemarau:
saatnya menabur galau
/3/
tersebab batu
sungai lupa lumpur
menghitung musim
di kerut wajah:
saatnya menggaru sawah
/4/
tersebab bukit
pohon pingsan di ladang
mengitung lidi
di daun enau:
saatnya menanam surau
/5/
tersebab cangkul
sawah menulis siput
menghitung cangkang
di gigir pagi:
saatnya menganyam tali
/6/
tersebab gunung
sungai menumbak laut
menghitung alir
di bulir pasir:
saatnya membaca tafsir
/7/
tersebab kitab
padi menyepi di dapur
menghitung malu
di tungku beku:
saatnya mengubur tinju
/8/
tersebab dusta
hati larikan diri
menghitung senyum
di televisi:
saatnya melarik puisi
/9/
tersebab lingga
mata menggali danau
menghitung garba yang hangus
di sula para lelaki:
saatnya membeli peci
/10/
tersebab hujan
malam menjerang kopi
menghitung getar sepi
di gentar hati:
saatnya menjahit luka
/11
tersebab koma
wajah memar oleh tanya
menghitung tembok retak
di mimbar khutbah:
saatnya membalut candi
/12/
tersebab tasbih
embun mengaji doa
menghitung daun dan ranting
di masjid berlantai marmar:
saatnya menenggak memar
/13/
tersebab nama
tuhan memahat arca
menghitung sebab
di biji jagung:
saatnya menumbuk ingat
/14/
tersebab apa
kitab menulis hujan dalam koma
menghitung tasbih di sajadah dusta
di bukit batu dan gunung kata:
saatnya laut tercangkul lingga
* nomor-nomor bait dari HAH
Tuesday, October 31, 2006
[Tadarus Puisi # 010] Doa Api yang Minta Disederhanakan
Saya penggemar sajak-sajak Aan M Mansyur. Penyair asal Makassar ini dari sajak ke sajak mengukuhkan gaya berucap yang sederhana tapi tapi selalu bernas. Tak mudah bertahan pada satu gaya, seraya terus menerus menawarkan kesegaran baru dari sajak ke sajak. Aan memilih jalan itu dan ia tampak semakin asyik menempuhnya. Ini salah satu sajak terbarunya: Doa Api yang Membakar Hutan, sajak yang indah, penuh bermakna.
Matikanlah sebagian besar hidupku? Saya tercenung, ketika baru saja sampai pada baris ini. Hakikat hidup dan mati yang selama ada di jagad raya pikiran saya tiba-tiba terhantam. Terkelucak. Sumur ironi tergali dalam dengan sekali keruk saja. Api tak ada jika dia mati. Tak ada bangkai api. Tak ada mayat api. Abu dan arang adalah apa yang disebabkan oleh api. Ia bukan bekas api. Bukan perkara gampang untuk sampai pada pengucapan sederhana tapi bernas itu: api yang meminta rendah hati itu meminta ia dimatikan saja sebagian besar hidupnya.
Pesona sajak ini makin memancar pada bait kedua. Membakar adalah takdir api. Ini semacam pemancing imaji. Pembaca tak akan menolak ini sebab memang itulah takdir api. Karena sadar akan takdir itu dan tak bisa ditolak oleh si api, maka si api meminta agar ia hanya mengabukan daun-daun kering di kaki pohonan. "Agar kelak lebih hutanlah mereka." Dari bait ke bait keutuhan sajak ini amat terjaga, seraya kekomplekan makna dibangun, perlahan-lahan. Salah satunya dengan mengubah kata hutan yang benda itu menjadi sifat. Kata-kata ditransformasikan, dialihfungsikan. Ini salah satu jurus puisi. Dalam puisi ini jurus itu langsung menohok telak.
Ah, manisnya imaji ini. Hujan yang diharapkan diminta dengan sangat sopan. Hujan yang diharapkan dibayangkan sebagai tangis langit yang ikut bersedih karena kisah duka akibat bencana kebakaran hutan. Bencana itu tidak disebutkan. Hanya disarankan dengan indah lewat pengamatan yang tajam pada tubuh hutan: anggrek liar, buah jatuh, dan burung sesat yang jadi korban.
Pesona itu belum berlalu. Api yang sederhana tidak ingin hidupnya mati sepenuhnya. Ia yang hidup seadanya ingin tetap berguna bila dikembalikan pada sampah di kota, tungku dapur orang kelaparan, aliran darah orang kesepian, dan suami istri yang tak lagi hangat di peraduan. Api tak lagi dilihat sebagai api tapi diluaskan maknanya pada panas dan hangat, sifat yang ia bawa. Apa yang dijajarkan pada bait ini tak sejajar sebenarnya, tapi ketaksejajaran itu menjadikan bait ini indah dan imaji api dan hangat itu semakin indah terasa.
Sajak yang luar biasa. Sederhana pada kata. Indah pada makna. Tak ada kata-kata rumit dalam sajak ini. Tak ada kalimat-kalimat aneh dalam sajak ini. Tak ada tabrakan-tabrakan imaji yang ruwet. Tapi segalanya terhampar membentangkan keluasan makna. Luar biasa.
jadikanlah aku lebih rendah hati. matikanlah sebagian besar hidupku.
Matikanlah sebagian besar hidupku? Saya tercenung, ketika baru saja sampai pada baris ini. Hakikat hidup dan mati yang selama ada di jagad raya pikiran saya tiba-tiba terhantam. Terkelucak. Sumur ironi tergali dalam dengan sekali keruk saja. Api tak ada jika dia mati. Tak ada bangkai api. Tak ada mayat api. Abu dan arang adalah apa yang disebabkan oleh api. Ia bukan bekas api. Bukan perkara gampang untuk sampai pada pengucapan sederhana tapi bernas itu: api yang meminta rendah hati itu meminta ia dimatikan saja sebagian besar hidupnya.
kalau membakar adalah takdirku, biarkan aku hanya mengabukan daun-daun kering di kaki-kaki pohonan agar kelak lebih hutanlah mereka.
Pesona sajak ini makin memancar pada bait kedua. Membakar adalah takdir api. Ini semacam pemancing imaji. Pembaca tak akan menolak ini sebab memang itulah takdir api. Karena sadar akan takdir itu dan tak bisa ditolak oleh si api, maka si api meminta agar ia hanya mengabukan daun-daun kering di kaki pohonan. "Agar kelak lebih hutanlah mereka." Dari bait ke bait keutuhan sajak ini amat terjaga, seraya kekomplekan makna dibangun, perlahan-lahan. Salah satunya dengan mengubah kata hutan yang benda itu menjadi sifat. Kata-kata ditransformasikan, dialihfungsikan. Ini salah satu jurus puisi. Dalam puisi ini jurus itu langsung menohok telak.
ceritakanlah kisah-kisah sedih pada langit; tentang anggrek liar yang mati sebelum berbunga, tentang buah-buah yang jatuh sebelum berbiji, tentang burung-burung sesat dalam asap dan kehilangan sarang, agar menangislah ia, agar tumpahlah airmatanya dan hutan bertunas berdaun dan hijaulah kembali.
Ah, manisnya imaji ini. Hujan yang diharapkan diminta dengan sangat sopan. Hujan yang diharapkan dibayangkan sebagai tangis langit yang ikut bersedih karena kisah duka akibat bencana kebakaran hutan. Bencana itu tidak disebutkan. Hanya disarankan dengan indah lewat pengamatan yang tajam pada tubuh hutan: anggrek liar, buah jatuh, dan burung sesat yang jadi korban.
kembalikanlah aku pada tumpukan sampah di kota, pada tungku dapur orang-orang kelaparan, pada aliran darah orang-orang gigil kesepian juga pada sepasang suami istri yang sudah lama tidur saling berbagi punggung.
Pesona itu belum berlalu. Api yang sederhana tidak ingin hidupnya mati sepenuhnya. Ia yang hidup seadanya ingin tetap berguna bila dikembalikan pada sampah di kota, tungku dapur orang kelaparan, aliran darah orang kesepian, dan suami istri yang tak lagi hangat di peraduan. Api tak lagi dilihat sebagai api tapi diluaskan maknanya pada panas dan hangat, sifat yang ia bawa. Apa yang dijajarkan pada bait ini tak sejajar sebenarnya, tapi ketaksejajaran itu menjadikan bait ini indah dan imaji api dan hangat itu semakin indah terasa.
jadikanlah aku lebih sederhana!
Balikpapan, 14/10/06
Sajak yang luar biasa. Sederhana pada kata. Indah pada makna. Tak ada kata-kata rumit dalam sajak ini. Tak ada kalimat-kalimat aneh dalam sajak ini. Tak ada tabrakan-tabrakan imaji yang ruwet. Tapi segalanya terhampar membentangkan keluasan makna. Luar biasa.
Pada Sebuah Songkok
       SEMUA ini hanya terjadi pada sebuah puisi yang usil. Yaitu ketika ia
meninggal dan ingin dikubur dengan tenang. Maka, kepada saudara-saudaranya
yang masih berstatus prasejahtera ia tinggalkan: Warisan Langsung Tunai.
       BERARTI, ketika itu semua warisan telah terbagi. Kebun karet,
burung-burung betet, kitab mantera penjinak jin, koleksi cerita silat Kho Ping Ho,
saham-saham perusahaan, pun lahan kavling kuburan elit.
       DI akhirat, Sang Almarhum belum bisa lengser dari karir
politiknya. Ia ikut pemilihan umum di sana. Cuma ia terganjal satu syarat:
ia tak tahu nomor songkoknya sendiri. Padahal di formulir ia tak boleh
sembarangan menerakan angka. Ia hanya hafal nomor sepatu, ukuran
kemeja dan celana, ukuran merek kondom favorit, PIN kartu ATM di sebelas
bank, bahkan ia masih ingat nomor masing-masing tujuh belas kartu kreditnya.
"Nomor songkok Anda, Tuan?" tanya malaikat, petugas pendaftaran,
yang tak bisa disogok dengan apapun bentuk rayuan dan godaan.
Tapi ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang usil. Lalu apa
soalnya? Lalu apa masalahnya?
       SI Bungsu, kini sudah kaya raya. Ia beli sebidang tanah yang luas
tak terkira. Di sana ia bangun Taman Pemakaman "Pintu Surga". Ia pasang
iklan di televisi dan koran: mau mati dengan nyaman? Jauh-jauh hari Anda bisa
persiapkan. Kami sediakan kavling kuburan, bebas banjir dan penggurusan.
Kematian makin praktis. Memang. Masuk surga, cita-cita luhur itu tampak makin
sederhana dan mudah mencapainya. Di gerbang pemakaman ia pasang peringatan,
ia pasang tanda: SILAKAN MENANGISI SEPUASNYA.
       SI almarhum ingin sekali kembali ke dunia fana. Keabadian itu ternyata
tak lain tak bukan hanya ancaman. Juga siksaan. Ia ingin sekali memakai songkok
yang tak pernah sempat ia pakai. Dan mengintip nomor ukuran yang tertera
di sisi dalamnya.
       SI Bungsu malah tenang-tenang saja. "Hidup atau mati sama saja. Yang hidup
toh pasti mati juga. Untuk itu, untukmu dan untuknya, sudah kusiapkan kavling
khusus dengan harga istimewa. Harga untuk keluarga. Sedikit terjangkit kronisme,
toh tak akan jadi apa-apa."
meninggal dan ingin dikubur dengan tenang. Maka, kepada saudara-saudaranya
yang masih berstatus prasejahtera ia tinggalkan: Warisan Langsung Tunai.
DI lapangan tempat bekas pemungutan suara,
tinggal bilik yang kosong dengan paku yang masih juga
berlumuran darah, bekas coblosan di gambar wajah.
Harapan itu masih terbaca
: semoga nasib orang banyak dimenangkan juga.
Angin ngadat. Langit pucat.
Si Bungsu datang terlambat.
       BERARTI, ketika itu semua warisan telah terbagi. Kebun karet,
burung-burung betet, kitab mantera penjinak jin, koleksi cerita silat Kho Ping Ho,
saham-saham perusahaan, pun lahan kavling kuburan elit.
SI Bungsu akhirnya hanya kebagian songkok. Sebuah. Masih mulus
dan terbungkus rapi dalam kotak kemasannya. "Saudara? Ini belum
pernah dipakai sama sekali ya?" ia tak sempat bertanya.
Kepada lelaki tua (keriputnya pertanda mestinya
ia sudah pensiun lama) petugas kantor pos yang membagikan
kupon warisan, ia minta alamat almarhum di akhirat.
"Maaf, alamat beliau belum jelas.
Masih dihisaf amal ibadahnya. Belum tuntas"
Si Bungsu akhirnya menerima takdir:
"Barangkali memang di songkok ini
ada terselip benih rezeki."
Barangkali.
Kemiskinannya
bisa ia entaskan sendiri.
       DI akhirat, Sang Almarhum belum bisa lengser dari karir
politiknya. Ia ikut pemilihan umum di sana. Cuma ia terganjal satu syarat:
ia tak tahu nomor songkoknya sendiri. Padahal di formulir ia tak boleh
sembarangan menerakan angka. Ia hanya hafal nomor sepatu, ukuran
kemeja dan celana, ukuran merek kondom favorit, PIN kartu ATM di sebelas
bank, bahkan ia masih ingat nomor masing-masing tujuh belas kartu kreditnya.
"Nomor songkok Anda, Tuan?" tanya malaikat, petugas pendaftaran,
yang tak bisa disogok dengan apapun bentuk rayuan dan godaan.
Tapi ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang usil. Lalu apa
soalnya? Lalu apa masalahnya?
SOALNYA, Si Bungsu yang kebagian warisan songkok
tampak sangat sejahtera ketika memakai songkok itu.
Saat menghadiri prosesi pemakaman
ia bahkan diminta membaca talkin.
Berkat songkoknya, ia disangka ustadz spesialis
pembaca doa pengantar perjalanan ke ruang remang kematian.
MASALAHNYA, sejak pemakaman itu,
ia selalu diminta untuk memimpin penguburan
para tokoh-tokoh penting yang putus kontrak kehidupan.
Alias mati. Dan harus dikembalikan lewat kuburan.
DIA bahkan sudah dipesan agar mempersiapkan
doa khusus bagi seorang tokoh amat penting
yang merasa orang-orang masih
menyimpan seribu alasan
untuk mencintainya. Terus-terusan.
"SONGKOK warisan. Songkok hoki.
Berapakah nomor ukuranmu?
Di kepalaku, kok Engkau pas sekali mencloknya."
       SI Bungsu, kini sudah kaya raya. Ia beli sebidang tanah yang luas
tak terkira. Di sana ia bangun Taman Pemakaman "Pintu Surga". Ia pasang
iklan di televisi dan koran: mau mati dengan nyaman? Jauh-jauh hari Anda bisa
persiapkan. Kami sediakan kavling kuburan, bebas banjir dan penggurusan.
Kematian makin praktis. Memang. Masuk surga, cita-cita luhur itu tampak makin
sederhana dan mudah mencapainya. Di gerbang pemakaman ia pasang peringatan,
ia pasang tanda: SILAKAN MENANGISI SEPUASNYA.
       SI almarhum ingin sekali kembali ke dunia fana. Keabadian itu ternyata
tak lain tak bukan hanya ancaman. Juga siksaan. Ia ingin sekali memakai songkok
yang tak pernah sempat ia pakai. Dan mengintip nomor ukuran yang tertera
di sisi dalamnya.
SEMENTARA, saudara yang
menghabiskan warisan, sibuk berdoa:
"Tuhan, kembalikan dia, agar bisa mewariskan
lagi pada kami harta yang tak terkira."
       SI Bungsu malah tenang-tenang saja. "Hidup atau mati sama saja. Yang hidup
toh pasti mati juga. Untuk itu, untukmu dan untuknya, sudah kusiapkan kavling
khusus dengan harga istimewa. Harga untuk keluarga. Sedikit terjangkit kronisme,
toh tak akan jadi apa-apa."
Dari Khazanah Pikiran Rakyat
Tiga Sajak ini:
1. Laut dan Hujan Memandikan Aku
2. Jam Dinding Hadiah Darimu
3. Rumah Berpagar Bunga-bunga
terbit di Khazanah Pikiran Rakyat, Sabtu 21 Oktober 2006.
1. Laut dan Hujan Memandikan Aku
2. Jam Dinding Hadiah Darimu
3. Rumah Berpagar Bunga-bunga
terbit di Khazanah Pikiran Rakyat, Sabtu 21 Oktober 2006.
Sunday, October 29, 2006
Ziarah ke Disneyland
UNTUK persiapan mengikuti lebaran, dia tamasya ke pasar.
TANGANNYA digandeng seorang pengemis buta yang berperan
      sebagai pemandu wisata. Dia pun diajak berkenalan dan
      bersalaman dengan tokoh-tokoh pedagang kawakan. "Silakan.
      Berbelanjalah sampai pingsan. Sampai dompet Anda kewalahan."
      Kepadanya ditawarkan air zamzam asli dari amerika, peci
      bergengsi produksi singapura, kurma segar made in jepang,
      dendeng unta buatan cina dan kemeja model ustadz ibukota.
PULANG dari pasar ia sewa beca. Menyelamatkan belanjaannya.
      Ia lewati jalan-jalan kota yang suasananya sudah sepi. Tak ada
      arak-arakan jemaah takbiran, tak ada dak duk dak duk suara beduk.
      "Wah, saya keasyikan melancong ke kawasan perniagaan. Tak
      sadar Ramadan sudah gantian sama Syawal, bulannya lebaran."
      Lalu sesampainya di tujuan, dia perhatikan rumahnya dengan
      seksama. Ada yang terasa hilang. "Wah, tega-teganya, puasa pergi
      tak meninggalkan sisanya buat saya. Sungguh amat keterlaluan."
LANTAS dihidupkannya televisi. Dia kangen dengan siaran yang
      menemaninya sahur tiap subuh. Di sebuah stasiun yang jarang
      ditontonnya, nampang menteri urusan lebaran dan pelancongan
      serta perniagaan, mengabarkan sebuah pengumuman, "Lebaran
      tahun ini diperpanjang. Dengan kebijakan pemerintah, dan demi
      ketenteraman rakyat, maka kami umumkan sebuah bonus lebaran.
      Dan rakyat miskin mendapat bantuan langsung tunai lebaran."
LALU, televisi menyiarkan pemenang sayembara pelancong teladan
      yang berbelanja paling kesetanan di sebuah pusat pelancongan atau
      sentral perniagaan. Dia lihat wajah yang mirip dirinya sedang
      mendorong beca belanjaan. "Selamat, Anda berhak atas hadiah
      utama, yaitu pergi berziarah ke disneyland bersama artis ibukota.
TANGANNYA digandeng seorang pengemis buta yang berperan
      sebagai pemandu wisata. Dia pun diajak berkenalan dan
      bersalaman dengan tokoh-tokoh pedagang kawakan. "Silakan.
      Berbelanjalah sampai pingsan. Sampai dompet Anda kewalahan."
      Kepadanya ditawarkan air zamzam asli dari amerika, peci
      bergengsi produksi singapura, kurma segar made in jepang,
      dendeng unta buatan cina dan kemeja model ustadz ibukota.
PULANG dari pasar ia sewa beca. Menyelamatkan belanjaannya.
      Ia lewati jalan-jalan kota yang suasananya sudah sepi. Tak ada
      arak-arakan jemaah takbiran, tak ada dak duk dak duk suara beduk.
      "Wah, saya keasyikan melancong ke kawasan perniagaan. Tak
      sadar Ramadan sudah gantian sama Syawal, bulannya lebaran."
      Lalu sesampainya di tujuan, dia perhatikan rumahnya dengan
      seksama. Ada yang terasa hilang. "Wah, tega-teganya, puasa pergi
      tak meninggalkan sisanya buat saya. Sungguh amat keterlaluan."
LANTAS dihidupkannya televisi. Dia kangen dengan siaran yang
      menemaninya sahur tiap subuh. Di sebuah stasiun yang jarang
      ditontonnya, nampang menteri urusan lebaran dan pelancongan
      serta perniagaan, mengabarkan sebuah pengumuman, "Lebaran
      tahun ini diperpanjang. Dengan kebijakan pemerintah, dan demi
      ketenteraman rakyat, maka kami umumkan sebuah bonus lebaran.
      Dan rakyat miskin mendapat bantuan langsung tunai lebaran."
LALU, televisi menyiarkan pemenang sayembara pelancong teladan
      yang berbelanja paling kesetanan di sebuah pusat pelancongan atau
      sentral perniagaan. Dia lihat wajah yang mirip dirinya sedang
      mendorong beca belanjaan. "Selamat, Anda berhak atas hadiah
      utama, yaitu pergi berziarah ke disneyland bersama artis ibukota.
Subscribe to:
Posts (Atom)